Candy Crush: is it a model for online courses?

http://www.mbu.edu/online/wp-content/uploads/2011/01/blogging-336376a.jpg

Permainan di smartphone (mobile game) seringkali menyebabkan kecanduan para pemainnya, siang malam bermain demi menyelesaikan suatu misi, salah satunya adalah permainan Candy Crush, suatu permainan tile-matching puzzle berbentuk permen yang populer dimainkan anak muda, bahkan ibu rumah tangga. Konsep permainan ini pemain diharuskan menyelesaikan misi tertentu di setiap levelnya. Ada 1,825 level yang harus ditempuh pemain untuk mencapai puncak permainan. Pemain tidak bisa menuju level selanjutnya, jika belum menyelesaikan permainan di level sebelumnya. Sederhana tapi berefek candu.

Peneliti ibu dan anak, Evangeline dan Maria Varoniz, dari Ohio’s University of Akron, berpendapat bahwa banyak fitur di Candy Crush dapat diadaptasi sebagai desain program online course oleh para penyusun kurikulum. Makalah ini dipublikasikan di International Journal of Information and Learning Technology.

Dosen sekarang mungkin harus berkompetisi dengan Candy Crush dan game mobile  lainnya untuk mendapatkan perhatian mahasiswanya. Tapi artikel terbaru berpendapat bahwa, jauh  dari komplain tentang tile-matching puzzle, akademisi seharusnya dapat memanfaatkan daya tarik dan efek kecanduan dari permainan ini untuk pengembangan online course. Faktanya, bahwa kepatuhan peserta mengikuti online course dirasa masih kurang.

Pembuat game Candy Crush, menyajikan konten game yang mudah diidentifikasi dan menarik, tersusun ringkas, dan terdapat tujuan yang jelas di setiap levelnya. Desain ini dapat ditiru bagi pengembang online course sehingga peserta dibuat tertarik dan  tidak bosan dengan tatap muka (interface)online course.

Fitur lain yang dapat ditiru adalah para pemain game hanya diijinkan mengakses level tertentu hanya jika dia sudah menyelesaikan level sebelumnya. Fitur ini jika diterapkan maka peserta diijinkan mengakses pembelajaran selanjutnya hanya jika dia telah  menyelesaikan tugas dan pembelajaran di tingkat itu, sehingga dosen dapat mengevaluasi dan memastikan kemajuan pembelajaran setiap peserta.

Kedua peneliti ini juga merekomendasikan untuk mengadaptasi fitur Shuffles pada Candy Crush, yakni pemain dapat mengulang kembali misi sesuai kehendak, supaya tidak terhenti saja pada level yang tidak bisa diselesaikannya, pemberian bonus ketika melakukan performa yang baik, dan pengenalan ketrampilan secara pelan-pelan pada level yang berbeda-beda. Hal ini untuk mencegah pemain merasa terbebani. .

Dalam artikelnya, “Deconstructing Candy Crush: what instructional design can learn from game design”,menyarankan beberapa fitur lain yang dapat diaplikasikan ke online course. Penulis mengatakan bahwa sistemnya dapat dibuat dengan mengijinkan peserta melakukan strategi yang berbeda untuk menyelesaikan misi/tugas, menawarkan peserta beberapa pilihan aktifitas pembelajaran, mengkombinaskan aktifitas yang mudah dan sulit,sehingga memberikan sensasi kepesertaan yang aktif.

Maria Varonis pada Times Higher Education mengatakan bahwa fenomena virus kecanduan Candy Crush para pemainnya, dapat dimanfaatkan untuk tujuan akademik, memberikan pengalaman belajar yang menarik, menyenangkan, jauh lebih berhasil.  “Penyusun kurikulum sebaiknya mengembangkan kurikulum dengan cara yang sama desainer mengembangkan game”, kata Maria. Meskipun tujuan game dan pembelajaran berbeda, akademisi sebaiknya membuka diri untuk peluang metode pembelajaran yang lebih sukses  dan out of the box.

Source : https://www.timeshighereducation.co.uk/news/candy-crush-it-model-online-courses

Membantu mengatasi masalah depresi, cemas dan stres pada mahasiswa.

http://cdn.klimg.com/merdeka.com/i/w/news/2013/05/29/197439/670x335/stres-bisa-picu-gaya-hidup-sehat-benarkah.jpg

Mungkinkah mencegah masalah kesehatan mental pada mahasiswa perguruan tinggi? Jawabannya adalah “ya”, temuan ini berdasarkan hasil penelitian tim psikolog dari Loyola University Chicago yang melakukan review sistematik pada 103 intervensi universal. Review ini melibatkan lebih dari 10.000 mahasiswa tahun kedua dan keempat pada jenjang program sarjana dan pascasarjana. Temuan ini telah diterbitkan pada May 2015 issue of Prevention Science, dipublikasikan oleh Springer.

Hasil penelitian  menunjukkan bahwa intervensi dengan cara prevensi universal yang mana program tersebut menargetkan mahasiswa secara umum, bukan hanya mahasiswa yang berisiko atau yang telah mempunyai masalah kesehatan mental-efektif secara signifikan menurunkan kejadian yang berhubungan dengan stres, gangguan kecemasan dan depresi. Program tersebut juga membantu tidak hanya pada kemampuan sosial-emosional, persepsi-diri, dan hubungan interpersonal, namun juga pencapaian akademik mereka. Bagaimanapun, program tersebut memiliki perbedaan dalam tingkat keefektifan.

Temuan ini mempunyai implikasi penting karena stres, gangguan kecemasan dan depresi adalah masalah penyesuaian diri yang paling sering ditemui pada mahasiswa. Lebih jauh lagi, masalah ini dapat mengganggu performa akademik dan kemampuan mengingat mahasiswa. Sebaliknya, mengembangkan sifat psikososial yang baik, diantaranya kemampuan adaptasi sosial dan emosional, persepsi diri yang positif dan hubungan interpersonal yang suportif, menunjukkan  hubungan yang baik ke kesehatan mental dan performa akademik serta kemampuan mengingat.

Penulis mendiskusikan nilai penting dari program pelatihan ketrampilan dengan fokus pencegahan masalah kesehatan mental dan aplikasinya di kondisi pendidikan tinggi. Mereka menyimpulkan bahwa program yang efektif untuk mencegah stres emosional dan mengembangkan aspek psikososial perlu digunakan lebih luas lagi.

Sumber :

http://www.sciencedaily.com

Onsite Training of Doctors, Midwives and Nurses in Obstetric Emergencies, Zimbabwe

Meningkatkan pelayanan maternal merupakan prioritas dunia, namun masih banyak fasilitas kesehatan di negara dengan pendapatan rendah yang tidak mampu menangani komplikasi obstetrik dengan adekuat. Beberapa tenaga kesehatan mengeluhkan pelatihan yang kurang menjadi rintangan terbesar dalam mencegah kematian maternal. Pelatihan untuk kegawatdaruratan obstetri dapat menjadi solusi bagi masalah tersebut, namun pelatihan tidak selalu terbukti efektif. Beberapa program pelatihan tidak memiliki efek klinis sama sekali ataupun berhubungan dengan peningkatan morbiditas perinatal. Di negara berpendapatan rendah, beberapa studi menunjukkan bahwa adanya peningkatan ilmu pengetahuan atau keterampilan seletah pelatihan, namun gagal dalam mendemonstrasikan luaran klinis yang lebih baik, sedangkan intervensi yang lain gagal dalam mendemonstrasikan keterampilan yang lebih baik.

Di negara berpendapatan tinggi, pelatihan kegawatdaruratan obstetri yang efektif dilselenggarakan dalam keadaan klinis, melibatkan tenaga kesehatan yang relevan dalam jumlah yang besar, serta mengimplementasikan alat berbasis praktik seperti kotak peralatan kegawatdaruratan.

Pada tahun 2011, pertemuan review mortalitas maternal lokal diadakan di RS Pusat Mpilo dan merekomendasikan bahwa semua tenaga kesehatan maternal harus menerima pelatihan kegawatdaruratan obstetri. Pelatihan Multi-Professional Obstetri Praktis/ Practical Obstetric Multi-Professional Training (PROMPT) adlaah program yang dikembangkan oleh bidan, ahli obstetri dan ahli anastesi yang terdiri dari: (i) pelatihan dan pengembangan keterampilan berbasis bukti, (ii) pelatihan kerja sama dalam kondisi klinis, dan (iii) koleksi dari pengujian alat lokal, checklist, dan teknik standar dalam obstetri.

Selain pelatihan, dilakukan pula perubahan sistem lokal termasuk: pengenalan pada papan persalinan, kotak kegawatdaruratan, tabel observasi pengawasan dengan kode warna, dan papan pedoman maternal.

Perubahan dan pelatihan ini berhubungan dengan menurunnya mortalitas maternal sebayak 34%, dari 67 kematian maternal per 9078 kelahiran (0.74%) di tahun 2011, dibandingkan dengan 48 kematian maternal per 9884 kelahiran (0.49%) di tahun 2014.

Selengkapnya

WHO Guideline: Transforming and scaling up health professionals’ education and training

http://media.suara.com/thumbnail/650x365/images/2014/05/19/dokter.jpg?watermark=true

Isu tentang kekurangan tenaga kesehatan profesional merupakan isu yang lama dan merugikan bagi negara dimana jutaan masyarakat tidak memiliki akses ke pelayanan kesehatan, terutama layanan kesehatan primer. Hal in merupakan tantangan terbesar untuk mencapai Universal Health Coverage. Jika tenaga kesehatan yang kompeten tidak tersedia dalam jumlah yang adekuat dan tidak terdistribusi merata, masyarakat tidak akan mendapatkan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan mereka.

WHO mengestimasikan diperkirakan  2,4 juta dokter, perawat, dan bidan yang dibutuhkan secara global. SDM kesehatan merupakan salah satu tantangan yang harus diatasi untuk mencapai akses pelayanan kesehatan dengan kualitas baik. Namun, lebih banyak memproduksi tenaga kesehatan saja tidak cukup, dibutuhkan tenaga kesehatan yang kompeten untuk memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat. Pendidikan kesehatan di mayoritas negara, baik kaya maupun miskin, masih terisolasi terhadap kebutuhan pelayanan kesehatan dan tidak dapat beradaptasi dengan perubahan profil masyarakat yang cepat.  Pendidikan kesehtan masih lebih terfokus pada pendidikan berbasis rumah sakit dan tidak mempersiapkan tenaga kesehatan untuk kerjasama tim dan kepemimpinan, yang merupakan kemampuan penting untuk meningkatkan kesehatan masa kini.

Tak diragukan lagi, kini dibutuhkan lebih banyak tenaga kesehatan yang kompeten den termotivasi untuk mengabdi di masyarakat. Transformasi pendidikan kesehatan harus dilaksanakan untuk menjawab tantangan tersebut. Transformasi ini dapat diraih melalui pemimpin yang kompeten dan berdedikasi pada kebutuhan kesehatan serta tujuan dari sistem pelayanan kesehatan. Guideline WHO : Transforming and scaling up health professionals’ education and training merupakan salah satu kontribusi untuk menjawab tantangan ini.

Guideline ini mengidentifikasi 5 topik untuk diperhatikan dan dilakukan oleh pembuat kebijakan :

  1. Institusi pendidikan dan pelatihan

  2. Akreditasi dan regulasi

  3. Pendanaan dan sustainibilitas

  4. Monitoring, implementasi, dan evaluasi

  5. Pemerintahan dan perencanaan

Selengkapnya