Minggu 4: 7 - 11 April 2014

Usulan untuk Residen sebagai DPJP dan Kompensasinya

Penanggung Jawab: Sri Mulatsih dan Laksono Trisnantoro


pengantar

Pengantar

Tidak terasa kita sudah sampai Minggu 4  Program Pengembangan Residen dalam rangka PPE Dekan Fakultas Kedokteran. Minggu ini merupakan minggu terakhir sebelum masuk ke pertemuan penutupan pada tanggal 16 April 2014.

Minggu ini akan dipergunakan untuk menyusun kerangka kebijakan mengenai manajemen residen di lembaga pendidikan tinggi dan di rumah sakit pendidikan. Akan dilakukan beberapa kegiatan untuk membahas tujuan ini. Namun sebelumnya mari kita review kegiatan minggu lalu.

catatanCatatan kegiatan minggu lalu:
Minggu lalu ada tiga tujuan yang kita capai yaitu: (1) Memahami posisi hukum residen dalam kasus pidana dan perdata (2) Memahami makna DPJP untuk residen; dan (3)  Memahami situasi yang terjadi di rumah sakit pendidikan dan fakultas kedokteran masing-masing.

Setelah mencermati Isi Seminar tanggal 6 dan 7 Maret 2014 terutama sesi yang terkait dengan Residen sebagai DPJP. Prof Herkutanto SH MLM, Dr. Agung Sutiyoso SpBO, dan Rimawati SH MH maka dilakukan Webinar dengan pemberi pemaparan yaitu:

Rimawati SH, M.Hum , Dosen Fakultas Hukum UGM.
Pembicara memulai presentasi dengan membahas kasus hukum dr.A di Manado yang merupakan residen. Rinciannya adalah sebagai berikut:
Kronologi kasus dr Ayu tahun 2010 :

  • Pasien meninggal pada bulan April tahun 2010 di RS Kandau Malalayang, Manado dan pada bulan itu juga keluarga menggugat ke PN Manado.
  • Pada  bulan Juni tahun 2010 keluar SP 3 oleh penyidik terhadap DPJP kasus tersebut dan menyatakan bahwa DPJP pasien tidak bersalah oleh karena dr Ayu dan tiga rekannya yang masih berstatus residen.
  • Pada Februari tahun 2011, dilakukan sidang MKEK yang menyatakan bahwa dr. A terbukti tidak melakukan malpraktik medis dan pada September tahun 2011 berdasarkan putusan tingkat 1 PN Manado menyatakan dr. A tidak bersalah.
  • Pada September 2012, MA mengabulkan permohonan kasasi dan membatalkan putusan PN Manado dengan hasil menyatakan dr. A dkk terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman pidana penjara masing-masing selama 10 bulan.
  • Pada bulan September 2013, dilakukan upaya PK oleh IDI dan MDKI untuk kasus dr.A. Pada Februari tahun 2014 putusan PK menyatakan dr.A dkk  tidak bersalah, kemudian diputus bebas dan membatalkan putusan kasasi MA sebelumnya.

Kasus ini menarik karena ada SP3 dari polisi untuk DPJP Pasien, SP3 ini memang tidak banyak diketahui. DPJP dalam kasus Dr. A ini seorang dosen senior yang tidak pernah diketahui namanya dalam sidang-sidang dr. A.  Hal ini menunjukkan bahwa memang sebenarnya ada risiko hukum sebagai DPJP dalam kaitannya dengan residen yang diawasinya. Untuk mengetahui uraian lebih lanjut silakan membaca dan melihat:

  • Powerpoint silahkan 
  • Video, silahkan 

Pada sesi ini juga hadir Dr. dr. Sri Mulatsih SpA(K), Dokter Spesialis Anak RSUP Dr. Sardjito dan aktif dalam penilailan akreditasi JCI untuk rumah sakit pendidikan utama (academic medical center). Berikut adalah jalannya diskusi webinar minggu ketiga.

 

diskusi-1Jalannya diskusi:

Dr Yulianto RSCM
Apakah residen bisa secara penuh menjadi DPJP? Jika residen bisa menjadi DPJP, apakah peserta didik akan berhak atas jasa/renumerasi dari jasa yang diberikan?
Sebagai  peserta didik mereka membayar kepada universitas sebagai PPDS, apakah universitas juga akan terkena pidana/perdata jika residen melakukan pelanggaran?

Tanggapan-tanggapan:
Rimawati, SH, M Hum

Dari aspek hukum, kewenangan yang dapat dilakukan residen adalah sesuai dengan surat atau sertifikat kompetensi yang diberikan dari kolegium. Dengan demikian residen sebagai DPJP memiliki tanggung jawab hukum adalah berdasarkan sejauh kompetensi residen tersebut.
Secara umum universitas dalam hal ini fakultas kedokteran apakah akan ikut terkena imbas hukum atau tidak, tergantung dari MOU yang dibuat antara FK-Dinkes-RS. Konsep MOU yang dibuat antar FK-Dinkes-RS adalah bentuk perlindungan hukum yang diberikan institusi terhadap Residen. Masing-masing institusi dalam hal ini FK, Dinkes dan RS memiliki hak dan kewajiban di dalam penyelenggaraan perlindungan hukum untuk residen. Jadi kalau terjadi suatu kasus hukum mal praktik medik yang dilakukan oleh residen maka akan dilihat kesalahannya pada sejauh mana tanggung jawab dari institusi sebagaimana tertuang dalam MOU. Bentuk pertanggungjawaban yang muncul disini adalah tanggung jawab perdata (tanggung renteng). Namun, secara umum semua tergantung dengan kewenangan kompetensi DPJP, yaitu clinical privilege yg dikeluarkan. Clinical privilege diberikan oleh direktur RS yang diberikan kepada residen berdasarkan rekomendasi dari komite medik. Clinical previledge ini merupakan kewenangan residen untuk melakukan tindakan medik dan harapannya akan mendapat jasa medis. Jika dokter spesialis DPJP mendelegasikan tanggung jawab kepada residen tanpa kebijakan tertulis, berarti tanggung jawab hukum tetap berada pada DPJP.
Jika supervisi mendelegasikan tanggung jawab kepada residen, berarti tetap di DPJP yang bertanggung jawab di mata hukum
 
Dr. dr. Sri Mulatsih, Sp.A(K)

Bisa tidaknya residen menjadi DPJP adalah tergantung dari kemadirian residen tersebut dalam menangani kasus. Permasalahan utama adalah bagaimana melakukan supervisi kepada residen yang menjadi DPJP tersebut. Dari kebijakan di RSUP Dr Sardjito yang terakhir, residen belum bisa menjadi DPJP, meskipun dalam prakteknya terutama di IGD dan unit lain banyak residen yg telah melakukan tugas selayaknya DPJP. Residen yang dianggap belum bisa menjadi DPJP adalah residen yunior dan madya, yang memang belum secara penuh bisa menjalankan kompetensi spesialistik. Sementara residen mandiri bisa dipertimbangkan melakukan fungsi menjadi DPJP terutama di RS yang tidak ada staf spesialisnya.
Seharusnya, jika residen yang sudah dalam tingkat mandiri maka sudah bisa menjadi DPJP karena dapat melakukan tugas secara penuh sesuai kompetensi spesialitik secara penuh. Jika akan ditugaskan penuh maka perlu dilakukan proses credentialing terlebih dahulu pada residen itu sebelum bertugas serta berhak menjadi DPJP.

Berdasarkan salah satu elemen standar Medical Professional Education (MPE) dalam penilaian survey JCI bahwa apabila rumah sakit mempekerjakan seorang residen di luar pendidikan untuk pelakukan pelayanan atau pekerjaan tertentu, maka kepada yang bersangkutan harus dilakukan credentialing, diberikan hak istimewa sesuai kompetensi klinisnya untuk melakukan tugas-tugas pelayanan. Selanjutnya residen tersebut harus mengikuti standar Staff Qualification and Education (SQE).

Tanggapan Prof. Laksono Trisnantoro

Residen mempunyai dua sisi: Satu sisi berada sebagai peserta didik di universitas dan membayar biaya pendidikan dan di sisi lain di RS Pendidikan yang pada kompetensi tertentu sudah ikut memberikan pelayanan kesehatan dan berhak dibayar oleh RS Pendidikan. Di RS yang jauh dari dosen pendidik maka residen diharapkan menjadi DPJP. Akan tetapi, di RS Pendidikan Utama menjadi pertanyaan. Kalau dokter spesialisnya tidak cukup, misal untuk jaga on-site di IGD, maka residen mandiri di IGD apakah mungkin menjadi DPJP. Silakan dikomentari.

diskusi-2Dr Rudi RS Moewardi

Kenapa DPJP tidak terkena tuntutan dalam kasus dr ayu padahal dr Ayu bukan sebagai DPJP?

Menanggapi pertanyaan Prof. Laksono, di RS Moewardi secara staf sudah cukup untuk menjadi DPJP, tapi jika dalam kasus emergensi seringnya yang berpartisipasi adalah residennya. Dari obsgin dan anak sudah ada DPJP yang jaga 24 jam di RS tetapi Anastesi belum bisa standby 24 jam

 

Rima, SH, M Hum

Tidak dihukumnya DPJP pada kasus dr. A adalah pada kasus tersebut terbitnya SP3 dari kepolisian Manado yang membebaskan DPJP. Dasar SP3 pada saat itu adalah karena prosedur yang dilakukan diluar jam prakteknya. Penyidik melihat korelasi tersebut sehingga mengeluarkan aturan khusus dan bukan melihat dari aturan umum mengenai penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh residen secara jelas diatur dalam UU PK, UU Kesehatan, UU RS dan PMK lainnya. Harusnya penyidik menggunakan cukup dasar pertimbangan dan alat bukti dalam penerbitan SP3 terhadap DPJP dr. A.

Dr. dr. Sri Mulatsih, Sp.A(K)

Secara de facto jika staf tidak bisa secara langsung menangani kasus, maka selaiknya residen mandiri bisa menjadi DPJP untuk mengatasi kasus tersebut. Dalam proses pendidikan, selama residen tersebut masih dalam supervisi DPJP, maka semua tanggung jawab pelayanan medis ada pada DPJP tersebut. Bukti tanggung jawab residen dan DPJP ini dituangkan dalam bentuk bukti catatan medis perawatan pasien dan bukti kehadiran dalam catatan medis tersebut berupa tanda tangan keduanya baik residen dan DPJP.

diskusi-3Pertanyaan dr A. Andyk Asmoro Sp.An RSSA Malang

Bagaimana realita di lapangan jika residen sebagai DPJP yang melakukan tugas sesuai kompetensinya bertanggung jawab terhadap hukum? DPJP untuk residen ini berlaku secara umum atau partial, misalnya kasus di ICU yang ditangani banyak dokter?

Rimawati, SH, M Hum
Tanggung jawab hukum residen adalah sejauh kompetensi yang dimilikinya. DPJP memiliki kewenangan untuk memberikan delegasi pada residen sesuai clinical privilege residen tersebut. Pemberian delegasi harus tertulis.
Apabila delegasi atau instruksi sudah dilakukan dalam bentuk tertulis dan tetap terjadi gugatan yang dilakukan oleh residen maka dalam hal ini akan dilihat dari kasus sejauh mana delegasi yang diberikan kepada Residen maka sejauh itu pula tanggung jawab hukum yang diberikan oleh DPJP. Delegasi atau instruksi harus dituliskan. Bila ada gugatan diluar tanggung jawab/kompetensi maka DPJP bisa dibebaskan dari tuntutan tersebut hal ini sesuai dengan Permenkes no. 2052 tahun 2011.

Dr. dr. Sri Mulatsih, Sp.A(K)
Residen yg menjadi DPJP sebaiknya yang sudah mandiri dan  sudah memiliki kompetensi seperti dokter spesialis dan bukan residen madya atau di bawahnya.  Sejauh mana menjadi DPJP utama atau DPJP kedua adalah tergantung kasus yg ditangani tersebut.

Tanggapan Prof Laksono
Apakah mungkin residen yang bertugas di IGD RS Pendidikan Utama menjadi DPJP? Misalkan di IGD dengan kasus emergensi  jika diharuskan konsul terlebih dahulu pastinya akan memperpanjang waktu penanganan pasien, apakah residen bisa menjadi DPJP?

Jawaban Dr Andyk Asmoro Sp.An RSSA Malang
Setiap semester residen ada level kompetensinya, termasuk di IGD. Level kompetensi bermacam-macam dari manajemen airway hingga tindakan kegawatan pasien, dan begitu seterusnya hingga level diatasnya. Jika residen dengan level 1, menangani pasien, dan ada masalah hukum. Apakah residen tersebut bertanggung jawab secara partial atau tetap menjadi tanggung jawab DPJP?

Jawaban Prof Laksono
Jika residen belum menjadi DPJP,  berarti yang bertanggung jawab adalah tetap supervisor. Hal ini yang menjadi tantangan teman-teman anastesi. Dengan banyaknya residen yang menangani sendiri di OK, kalau ada apa-apa maka tetap DPJP-nya dapat terkena tuntutan pidana atau perdata.

Rima, SH, M Hum
DPJP bertanggung jawab terhadap semua yang dilakukan residen meskipun residen tersebut sudah kompeten. Seharusnya ada kewenangan secara tertulis pada residen di IGD untuk melakukan tindakan life saving emergensi secara tepat dan cepat tanpa harus berkonsultasi ke staf dulu.

Dr Andyk Asmoro Sp.An RSSA Malang
Apakah kewenangan klinis diberikan pada residen dari kolegium atau komite medik?

Jawaban Dr. dr. Sri Mulatsih, Sp.A(K)
Pemberian kewenangan klinis adalah oleh KPS, jika ada perubahan kebijakan yang membolehkan residen menjadi DPJP, maka harus ada proses credentialing terlebih dahulu oleh komite medik.Jika residen masih dalam supervisi, dalam setiap tindakan dan pengambilan keputusan harus tertulis di Rekam Medis dengan 2 tanda tangan, yaitu residen dan DPJP.

Tanggapan Prof Laksono
Hal ini perlu pembahasan mendalam di setiap kolegium dan KPS untuk bisa mewujudkan adanya kewenangan residen menjadi DPJP dan juga berhak mendapat insentif terutama dari JKN dengan sistem gaji sesuai level kompetensi residen tersebut.  Tujuan Blended Learning ini salah satunya untuk memicu diskusi di kolegium/perhimpunan ahli dan di KPS-KPS.

diskusi-4Pertanyaan dr Rudi RS moewardi
Kenyataannya Di RS jejaring hanya ada satu dokter spesialis selaku DPJP utk 1 kabupaten, di luar jam kerja dokter tersebut apakah tanggung jawabnya dipegang DPJP atau residen itu? Bagaimana perlindungan hukumnya?

Rima, SH, M Hum
Secara hukum, DPJP bisa memberikan delegasi wewenang pada residen.  Hal yang mesti digarisbawahi dalam wewenang ini adalah harus dengan instruksi tertulis, misal pada kasus-kasus emergensi, sejauh apa kewenangan yang dberikan pada residen. Bentuk wewenang ini  bisa delegasi, mandat, atau atributif dan harus tertulis untuk perlindungan hukum.

Jawaban Dr. dr. Sri Mulatsih, Sp.A(K)
Yang terpenting dalam menghindari tuntutan adalah bagaimana melakukan komunikasi efektif untuk menghindariharm. Dalam proses pelayanan, setiap ada kasus yang DPJP tidak ada di tempat, bisa perawat atau residen dapat segera melaporkan ke DPJP via telp dan harus ada readback instruksi balik yang diterima baik oleh perawat/residen, dan semua itu harus tertulis di RM dan ditandatangani oleh residen atau perawat dan DPJP.

Tanggapan Dr Sudadi Sp.An RS Sardjito
Tidak semuanya DPJP harus stand by 24 jam karena ada sistem pendelegasian. Setiap kasus yang dihadapi residen dilaporkan ke staf dan staf akan memberikan instruksi kepada residen. Jika kasus yang ditemui sangat complicated, maka akan didelegasikan kepada senior atau jika perlu oleh staf sendiri.

Tanggapan Prof Laksono
Di RS Sardjito terlihat mulai ada spesialis yang stand by jaga on-site di IGD untuk penanganan kasus.  Hal ini juga dinilai  tim akreditasi JCI RS Akademik. Sangat diharapkan bahwa jangan sampai DPJP menanggung beban yang banyak dalam satu waktu, misalnya praktek di banyak tempat. Pertanyaan saya: Apakah jumlah spesialis anestesi cukup untuk jaga on-site 24 jam di RS Sardjito?

Jawaban Dr Sudadi Sp.An RS Sardjito
Di  DIY sudah ada  sekitar 50 ahli anastesi. Jika  dilihat dari jumlah, angka ini  sudah cukup untuk wilayah DIY. Di RS Sardjito sendiri sudah ada jaga onsite staf anastesi di IGD namun masalah dana yang masih menjadi kendala.

Diskusi di akhiri sampai pembahasan ini karena waktu terbatas.

Analisis Diskusi


Ada beberapa isu dalam diskusi yang dapat dianalisis:

  • Beban berat DPJP.
    Dokter DPJP bebannya berat, dalam kasus Dr. A ada SP3 dari Polisi untuk DPJP. Dalam kasus Perdata masih ada kemungkinan gugatan tanggung renteng.  Semakin banyak pasien yang ditangani seorang DPJP, dan semakin banyak pasien yang ditangani residen maka semakin besar tanggung-jawabnya DPJP.  Adanya fakta bahwa DPJP tidak on-site dan mendelegasikan ke residen tanpa kebijakan tertulis mempunyai potensi menjadi  permasalahan hukum.  Dalam hal ini, perlu ada manajemen risiko yang baik. Apa yang dinyatakan dr Sudadi bahwa jumlah Spesialis Anestesi sudah cukup di DIY perlu diteliti dengan cermat untuk menghindari risiko buruk.
  • Apakah mungkin Residen menjadi DPJP?
    Para peserta diskusi (juga sejak minggu lalu) setuju bahwa Residen mandiri yang bekerja jauh dari RS Pendidikan Utama (misal dalam kontrak kerja Sister Hospital) dan tidak ada spesialis yang sama bidangnya  seharusnya sudah mendapat predikat DPJP. Akan tetapi residen di RS Pendidikan Utama berbeda penanganannya karena banyak spesialis yang dapat menjadi DPJP.  Residen mandiri di RS Pendidikan Utama dapat menjadi DPJP apabila memang kekurangan tenaga spesialis. Penunjukan Residen sebagai DPJP merupakan salah satu cara untuk mengurangi beban. Sebagai gambaran jika dalam operasi tidak terjadi pendampingan on-site oleh dosen/dokter pendidik klinis yang DPJP, sebenarnya hal ini  berisiko.
  • Residen yang tidak menjadi DPJP namun sudah memberikan pelayanan sesuai UU Pendidikan Kedokteran seharusnya diberi insentif.  Insentif ini diberikan berjenjang berupa semacam gaji bulanan sesuai dengan tingkat kompetensinya. Hal ini merupakan implikasi dari UU Pendidikan Kedokteran dan perlu diatur kebijakannya secara tertulis oleh RS Pendidikan dan fakultas kedokteran.
  • Situasi mengenai Residen sebagai DPJP di RS Pendidikan Utama dan di RS Jaringan masih ada perdebatan.  Diharapkan perlu ada penelitian operasional mengenai hal ini. Namun yang patut dicatat bahwa diperlukan para pemimpin RS Pendidikan dan Dekan serta klinisi yang perhatian pada pengembangan manajemen residen. Tanpa ada perhatian pada manajemen residen, usaha peningkatan mutu pelayanan dan keselamatan pasien di RS Pendidikan akan sulit mencapai tujuannya.

Bagaimana masa depan situasi manajemen residen?

Setelah melakukan pengamatan dalam waktu satu tahun terakhir ini, masa depan manajemen Residen tergantung dari pelaksanaan UU Pendidikan Kedokteran sebagai kebijakan publik. Dalam UU Pendidikan Kedokteran jelas  maknanya bahwa residen (disebut sebagai  Mahasiswa dengan pemahaman sebagai peserta didik yang mengikuti Pendidikan Kedokteran) adalah tenaga medik yang bekerja di RS Pendidikan dan mempunyai hak serta kewajiban. Jadi residen bukan mahasiswa biasa. Permasalahan yang muncul adalah:

  • Bagaimana kebijakan di level Fakultas Kedokteran dan RS Pendidikan ?
  • Bagaimana kebijakan di Perhimpunan Ahli dan Kolegium ?

Apakah kebijakan-kebijakan di berbagai lembaga tersebut akan mengikuti UU Pendidikan Kedokteran?
Sebagai catatan: Kebijakan-kebijakan ini yang terkait dengan UU Pendidikan Kedokteran dan juga menjadi hal yang terkait dengan akreditasi JCI rumah sakit pendidikan perlu diperhatikan, antara lain:

    1. Bagaimana hubungan antara FK dengan RS Pendidikan Utama/Jaringan dalam manajemen residen?
    2. Bagaimana proses credentialing dan clinical privilege untuk residen?
    3. Dalam credentialing apakah mungkin ada predikat DPJP untuk residen?
    4. Bagaimana pembayaran untuk residen di RS Pendidikan? Apakah digaji bulanan atau fee-for-service? Darimana sumber dananya? Apakah dari dana klaim INA CBG yang berasal dari BPJS?

Perumusan dan pelaksanaan kebijakan UU Pendidikan Kedokteran masih belum tentu dikerjakan oleh Kolegium/Perhimpunan ahli dan RS Pendidikan serta Fakultas Kedokteran.  Dalam hal ini masih ada ketidakpastian.

Oleh karena itu ada berbagai Skenario ke depan:

Skenario 1.
UU Pendidikan Kedokteran dapat berjalan dan ada berbagai kebijakan di perhimpunan ahli, dan di lembaga pendidikan serta RS Pendidikan.

Skenario 2:
Di sisi ekstrim lainnya, ada kemungkinan UU Pendidikan
kedokteran tidak diikuti dan tidak dijalankan. Perhimpunan profesi, fakultas kedokteran, dan rumahsakit pendidikan tidak menyusun kebijakan baru pasca disahkannya UU Pendidikan Kedokteran.

Kedua skenario tersebut mempunyai berbagai implikasi.
Jika UU Pendidikan Kedokteran terlaksana dalam hal manajemen residen (Skenario 1), memang diperlukan banyak perubahan antara lain:

  • perubahan kultural, 
  • perubahan hukum,
  • perubahan prosedur
  • dan berbagai hal lainnya yang perlu dipikirkan dan disusun dengan detil.

Di sinilah pembelajaran dari negara lain sangat penting untuk terjadinya perubahan yang sangat radikal ini.

Jika Skenario 2 yang berjalan dimana UU Pendidikan Kedokteran mengenai manajemen residen tidak dijalankan, implikasinya adalah:

  • Mutu dan keselamatan pasien di RS Pendidikan menjadi sulit ada perbaikan;
  • Jaminan Kesehatan Nasional akan kesulitan dalam melakukan kegiatannya karena kekurangan spesialis;
  • Ada kemungkinan akan terjadi lebih banyak kasus tuntutan perdata, ataupun pidana yang melibatkan DPJP;
  • Indonesia akan dikenal sebagai negara yang “aneh” dalam manajemen residen. Disebut aneh karena berbeda dengan negara-negara lain yang lebih maju dan mempunyai standar yang jelas.

Catatan akhir: Perlu penelitian operasional
Untuk melihat kecenderungan Skenario mana yang akan terjadi,  diharapkan ada peneliti ataupun mahasiswa S2 kebijakan dan manajemen pelayanan kesehatan dan rumahsakit yang tertarik untuk menelitinya. Atau diharapkan RS Pendidikan atau Perhimpunan Ahli dapat meneliti agar masalah pengembangan residen dapat dilakukan dengan lebih baik lagi, dan masalah tuntutan hukum dapat dihindari.

Tujuan Minggu 4


tujuan

 Berdasarkan latar belakang dan hasil di diskusi-diskusi sebelumnya maka tujuan kegiatan di minggu 4 adalah:

  1. Memahami lebih lanjut aplikasi kebijakan negara dalam Manajemen Residen
  2. Memahami Kebijakan Kolegium
  3. Memahami Kebijakan Level Rumahsakit dan Fakultas Kedokteran

 

Kegiatan yang dilakukan Minggu ini:


keyboardKegiatan 1:
Mencermati dan membahas Hasil Diskusi Minggu 3. Bagaimana pendapat  Kelompok Kerja mengenai aplikasi UU Pendidikan Kedokteran dalam hal manajemern residen. Skenario mana yang perlu diusahakan?

Kegiatan 2:
Kelompok Kerja melakukan analisis situasi kebijakan di kolegium/perhimpunan ahli. Apa yang terjadi dan bagaimana perkiraan untuk kebijakan di masa mendatang.
Kegiatan 3:
Kelompok Kerja 1 diharapkan menguraikan situasi manajemen residen di fakultas kedokteran masing-masing.

Tugas yang dikumpulkan:

  1. Kelompok Kerja anda diharapkan mencocokkan dengan pasal-pasal tentang residen di UU Pendidikan Kedokteran (sebagai kebijakan nasional) dengan situasi yang ada di tempat anda bekerja. Apa saja yang sudah sesuai dan apa saja yang belum sesuai?
  2. Uraikan rencana  kebijakan mengenai Residen di berbagai Kolegium yang anda ketahui?
  3. Bagaimana dengan rencana kebijakan terkait dengan manajemen residen fakultas kedokteran anda dan RS Pendidikan di masa sekarang dan mendatang.

Sebagai catatan:

Dekan fakultas kedokteran Anda diharapkan dapat mendapat hasil dari kegiatan Kelompok Kerja ini. Mohon Anda kirimkan hasil diskusi Kelompok Kerja 1 tentang BL Residen Minggu 4 ini ke Dekan Anda.

Pengiriman tugas:


kotak posSetelah menuliskan jawaban atas pertanyaan tersebut, silakan kirim email ke This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.  cc This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. 
dan fasilitator Anda.
Jawaban silakan di-attach dengan kode file:
Pokja1_M4_Residen_xxx

(xxx, nama pengirim dan asal)

 


Apa yang akan dikerjakan pada kegiatan mendatang?


time

Minggu Depan tanggal 16 April 2014

Diskusi Tatap Muka dan Penutupan Blended Learning Residen

Luangkan waktu Anda dan tandai tanggalnya untuk menghadiri acara tersebut. Silakan untuk menyimak acaranya

 

Rima, SH, M Hum

Secara hukum, DPJP bisa memberikan delegasi wewenang pada residen.  Yang mesti digarisbawahi dalam wewenang ini adalah harus dengan instruksi tertulis , misal pada kasus-kasus emergensi, sejauh apa kewenangan yang dberikan pada residen. Bentuk wewenang ini  bisa delegasi, mandat, atau atributif dan  harus tertulis untuk perlindungan hukum.

 

Jawaban Dr. dr. Sri Mulatsih, Sp.A(K)

Yang terpenting dalam menghindari tuntutan adalah bagaimana melakukan komunikasi efektif untuk menghindari harm pada pasien. Dalam proses pelayanan, setiap ada kasus yang DPJP-nya tidak ada di tempat, maka perawat atau residen bisa segera melaporkan ke DPJP via telp dan harus ada proses feedback readback instruksi balik yg diterima baik oleh perawat/resdienresiden,  dan semua itu harus tertulis di RM dan ditandatangani oleh  residen/ perawat dan DPJP sesuai tanggal konsultasi.

 

Tanggapan Dr Sudadi Sp.An RS Sardjito

Tidak semuanya DPJP harus stand by 24 jam karena ada sistem pendelegasian. Setiap kasus yang dihadapi residen dilaporkan ke staf dan staf akan memberikan instruksi kepada residen. Jika kasus yang ditemui sangat complicated, maka akan  didelegasikan kepada senior atau jika perlu oleh staf sendiri.

 

Tanggapan Prof Laksono

Di RS Sarjito terlihat mulai ada spesialis yang stand by jaga on-site di IGD utk penanganan kasus.  Hal ini juga dinilai  tin akreditasi JCI RS Akademik. Sangat diharapkan bahwa jangan sampai DPJP menanggung beban yg banyak dalam satu waktu, misalnya praktek di banyak tempat. Pertanyaan saya: Apakah jumlah spesialis anestesi cukup untuk jaga on-site 24 jam di RS Sardjito?

 

Jawaban Dr Sudadi Sp.An RS Sardjito

Di  DIY sudah ada  sekitar 50 ahli anastesi. Jika  dilihat dari jumlah , angka ini  sudah cukup untuk wilayah DIY. Di RS Sardjito sendiri sudah ada jaga onsite staf anastesi di IGD namun masalah dana yang masih menjadi kendala.

 

Karena waktu terbatas, diskusi di akhiri pada titik ini.