Pakar FKUI Bicara Sekolah Tatap Muka di Tengah Pandemi, Apa yang Diperlukan?

Pakar FKUI Bicara Sekolah Tatap Muka di Tengah Pandemi, Apa yang Diperlukan?

Jakarta – Rencana sekolah tatap muka terbatas pada Juli 2021 menjadi perhatian para pakar dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Kebijakan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud-Ristek) Nadiem Makarim tersebut sebelumnya diumumkannya dalam acara virtual yang disiarkan langsung di kanal YouTube Kemendikbud, pada Rabu, 2 Juni 2021.

Beberapa pakar dari FKUI menjelaskan bahwa jika sekolah tatap muka segera akan dilakukan, maka harus ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Menurut Dekan FKUI Ari Fahrial Syam, untuk sekolah tatap muka banyak yang perlu diperhatikan dan perlu peraturan yang ketat.

“Kecuali kalau guru sudah divaksin mungkin akan mengurangi, apa lagi kalau siswanya juga sudah divaksin. Karena angka kita turun juga karena adanya vaksinasi,” ujar dia dalam cara virtual Temu Media FKUI Peduli Covid-19, Jumat, 4 Juni 2021.

Sementara, ketua divisi pulmonologi intervensional dan gawat napas departemen pulmonologi FKUI, Menaldi Rasmin, mengatakan saat ini sebetulnya masih belum diketahui seberapa besar kejadian mutasi varian baru Covid-19, sehingga perlu dipertimbangkan jika ingin menggelar sekolah tatap muka kembali. Menurutnya, untuk orang-orang perkantoran sepertinya masih bisa karena bisa diatur.

Sementara, anak-anak sekolah yang dalam kategori remaja biasanya agak sulit diatur, karena bermain sudah menjadi bagian dari pergi ke sekolah. Catatannya adalah bahwa pada anak tidak begitu banyak terdengar yang sakit kalau tidak punya komorbid, tapi kalau melihat orang tua yang sakit, banyak kasus tertular dari anak.

Menurut Menaldi, kalaupun sekolah tatap muka mau dilakukan, harus dengan pengaturan ketat terutama untuk semua tingkatan sekolah, mulai dari PAUD, TK, SD, SMP, SMA, sampai pendidikan tinggi. Sebaliknya pada pendidikan tinggi ada juga yang tidak mungkin terus-terusan daring dan perlu tatap muka, salah satunya di pendidikan kedokteran, namun tetap dengan protokol kesehatan ketat.

“Dan jika kita belum pernah punya peta yang tegas tentang varian Covid-19 baru lebih baik daring harus kita pilih,” tutur Menaldi yang juga hadir di acara tersebut.

Ardi Findyartini, ketua departemen pendidikan kedokteran FKUI, mengatakan kampusnya telah menerapkan praktik yang baik dalam mengupayakan pembelajaran tatap muka. “Dengan tetap menerapkan protokol yang melindungi mahasiswa dan dosen, sehingga kegiatan praktik terus berjalan,” katanya.

Menurut Titin—sapaan Ardi Findyartini—yang perlu diperhatikan adalah tidak hanya masalah upaya mencegah penularan, tapi kemampuan peserta didik dalam beradaptasi. Dalam penelitian terkait dengan kesehatan siswa, ketangguhan peserta didik dalam beradaptasi masing-masing di tengah pandemi seperti sekarang relevan jika dikaitkan dengan usia peserta didik.

Selain masalah kemampuan yang diharapkan terkait pembelajarannya, ternyata ada aspek lain, yaitu sarana prasarana, kebutuhan untuk tumbuh, berkembang, dan berinteraksi yang ternyata justru akan menjadi pekerjaan rumah besar. “Tidak hanya untuk institusi pendidikan, tapi juga orang tua di rumah,” tutur Titin.

Selain itu, institusi pendidikan juga perlu memperhatikan bagaimana perubahan peserta didik saat upaya pembelajaran online dilakukan, karena proses bimbingan akademik sangat dibutuhkan. Kondisi seperti sekarang, Titin berujar, sulit untuk semua pihak. Meskipun pembelajaran tetap diupayakan, tapi harus pula memeriksa bagaimana kondisi peserta didiknya.

“Usulnya sih memang berbagai protokol kesehatan tetap berjalan tapi ada additional support juga yang harus kita sediakan saat mengupayakan proses pembelajaran di berbagai level itu berjalan dalam kondisi pandemi sekarang,” kata Titin yang meraih gelar PhD dari University of Melbourne, Australia.

Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Konsultan FKUI, Kristiana Siste, juga membeberkan penelitiannya mengenai kecemasan dan gangguan jiwa terhadap orang dewasa dan remaja di tengah pandemi Covid-19. Berdasarkan penelitiannya, satu dari lima orang dewasa, termasuk dewasa muda atau mahasiswa mengalami kecemasan.

Pada saat mereka mengalami kecemasan, Siste berujar, sebenarnya kesehatan mental mereka tidak bagus, dan akan tercermin dalam perilaku sehari-hari, termasuk kecemasan pada saat ingin melakukan kegiatan offline. “Bahkan bisa mengalami burn out karena kecemasan yang sangat tinggi,” tutur dia.

Untuk menguranginya, menurut Siste yang juga ketua departemen pskiatri FKUI itu, dukungan psikologisnya juga harus bagus. Dia menyarankan agar deteksi dini infeksi Covid-19 dilakukan sesegera mungkin pada saat anak sekolah atau mahasiswa ini melakukan kegiatan belajar tatap muka. “Sehingga intervensi juga bisa segera dilakukan.”


Sumber: https://tekno.tempo.co/read/1469159/pakar-fkui-bicara-sekolah-tatap-muka-di-tengah-pandemi-apa-yang-diperlukan/full&view=ok

COMMENTS