Salah satu profesi yang banyak dicita-citakan anak kecil yakni bisa menjadi seorang dokter. Butuh jalan panjang untuk bisa menjadi seorang dokter. Setelah mendapat gelar dokter, sebagian mahasiswa Fakultas Kedokteran akan menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).
Ada banyak spesialisasi di dunia kedokteran. Nah salah satunya adalah Kedokteran Okupasi. Apa sih Okupasi itu? Bagaimana prospek kerjanya dibanding spesialis kedokteran yang lainnya?
Merangkum laman Kagama.co, alumni Universitas Gadjah Mada ( UGM) Yogyakarta dr. Anna Nasriawati mengatakan, sebagian orang masih belum memahami bidang pekerjaan ini.
dr. Anna menerangkan, Kedokteran Okupasi adalah kedokteran klinis yang berfokus pada identifikasi dan pengelolaan risiko kesehatan yang mungkin dihadapi seseorang di tempat kerjanya.
Kedokteran okupasi dan tugasnya
Profesi ini juga berkaitan langsung dengan manajerial dan kegiatan di lapangan.
“Selama bekerja sebagai dokter okupasi, saya pernah terlibat dalam kegiatan walk through survey di site proyeksi konstruksi BUMN. Di sana saya melakukan asesmen risiko untuk setiap pekerjaan dalam proyek tersebut,” papar dr. Anna seperti dikutip dari laman Kagama.co, Minggu (28/2/2021).
Tugas seseorang yang berprofesi di bidang Kedokteran Okupasi ini juga turut mengalami perubahan di masa pandemi Covid-19. Anna mengungkapkan, di masa pandemi ia melakukan pengelolaan in house clinic perusahaan terkait pengendalian Covid-19 di tempat kerja.
Fokus kerja dokter Okupasi ada beberapa hal. Seperti pencegahan, evaluasi, diagnosis, pengobatan, dan rehabilitasi masalah kesehatan yang mungkin dialami di tempat kerja.
Meski belum semua orang tahu, ternyata dokter okupasi punya prospek kerja yang terbuka lebar.
Pada umumnya, dokter okupasi bisa bekerja di:
- HSE Perusahaan
- klinik perusahaan
- BUMN
- rumah sakit
- occupational health clinic
- konsultan dan masih banyak lagi
Jenjang pendidikan menjadi dokter okupasi
Untuk mewujudkan mimpinya, setelah lulus dari Fakultas Kedokteran UGM tahun 2004, dr. Anna kemudian menempuh program studi Magister Kedokteran Kerja (MKK) di Universitas Indonesia (UI). Kemudian dilanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi di PPDS UI.
“Sampai saat ini program MKK dan PPDS hanya ada di UI,” imbuh dr. Anna.
Ada 3 jalur untuk masuk PPDS Okupasi. Antara lain jalur reguler (dokter umum), jalur Magister Kedokteran Kerja (dokter yang sudah berijazah MKK) dan jalur khusus Migas (dokter yang bekerja di perusahaan minyak dan gas).
Sedangkan lama pendidikan yang harus ditempuh untuk MKK adalah empat semester, sedangkan reguler memakan waktu tujuh semester.
“Dalam persiapan PPDS, seseorang harus memenuhi syarat TOEFL minimal 450, sertifikat HIPERKES, surat izin langsung dari atasan bagi yang sudah bekerja,” ungkap dr. Anna.
Selama menempuh pendidikan Kedokteran Okupasi, selain kuliah para mahasiswanya juga akan disibukkan dengan praktikum pemeriksaan lingkungan kerja, toksikologi, dan matrikulasi.
Selain itu, dokter juga akan menjalankan kewajiban magang di salah satu stase.
Anna menjelaskan, stase ini dibagi ke beberapa level. Mulai dari stase klinik, stase informal, stase menengah, stase industri besar, stase Keselamatan Kesehatan Kerja Rumah Sakit (K3RS), dan stase mandiri.
Saat bertugas di stase informal, dokter memberikan pelatihan stretching pada pekerja formal konveksi, pelayanan medical check up.
Peluang kerja dokter okupasi sangat besar
Sementara saat berada di stase K3R, sebelum melakukan simulasi dokter melakukan table top exercise manajemen bencana di rumah sakit.
Selain itu juga melakukan pemeriksaan indoor air quality untuk kenyamanan kerja tenaga medis dan kesehatan.
“Jadi sebetulnya peluang kerja okupasi di rumah sakit sangat besar. Di Indonesia, jumlah dokter okupasi baru 200 orang. Padahal jumlah rumah sakit di Indonesia jumlahnya sampai ribuan,” tutup dr. Anna.
COMMENTS