Jakarta – Bayangkan, Anda terlentang di meja operasi. Alih-alih dokter, di depan Anda justru terpampang tangan-tangan robot yang biasanya hanya Anda lihat di film fiksi ilmiah. Tangan-tangan tersebut dikendalikan oleh sekelompok dokter yang berada di ribuan kilometer dari meja operasi Anda. Walau terdengar seperti cerita pada film fiksi, dalam waktu relatif dekat, kondisi tersebut akan menjadi sebuah kelaziman dalam dunia kesehatan.
Kemunculan teknologi 5G dan cepatnya adaptasi masyarakat terhadap teknologi kesehatan digital akan menjadi pendorong utamanya. Dengan lolosnya hasil uji layak operasi dari Kominfo, maka Telkomsel resmi menggelar layanan 5G di Indonesia. Sebagaimana pendahulunya (4G), layanan 5G akan mengubah lanskap perekonomian.
Ketika kehadiran layanan 4G membuka gerbang untuk munculnya layanan (tele-health, tele-education, dll) berbasiskan video, dari Youtube hingga Zoom, maka kehadiran 5G diperkirakan akan memiliki dampak yang bahkan lebih besar. Salah satu sektor yang diperkirakan akan mengalami transformasi besar adalah jasa kesehatan.
Sudah menjadi pemahaman umum bahwa tantangan dalam pelayanan kesehatan di Indonesia adalah ketimpangan. Dengan penduduk yang berjumlah mencapai 270 juta, yang tersebar di puluhan ribu pulau, Indonesia baru memiliki 2.900 rumah sakit umum dan spesialis –sebagian besar di antaranya berada di wilayah perkotaan. Contohnya, Sulawesi Utara memiliki rasio dokter umum terhadap jumlah penduduk (1:100.000) sebesar 1:37, sedangkan provinsi tetangganya, Sulawesi Barat hanya memiliki rasio 1:12.
Angin Segar
Terbatasnya infrastruktur kesehatan, terutama di wilayah perdesaan menjadi tantangan tersendiri. Tidak hanya sulitnya mencari SDM yang dapat ditempatkan di fasilitas kesehatan, tetapi juga biaya untuk membangun fasilitas kesehatan juga tidaklah sedikit. Oleh sebab itu, kehadiran teknologi kesehatan digital (digital health tech) dapat menjadi angin segar bagi dunia jasa kesehatan Indonesia.
Berdasarkan OECD (2020), digital health terbagi ke dalam lima kluster besar, yaitu tele-health (monitor, pencegahan, pengobatan), assisted living (sensor/robot), mobile health, e-prescribing, data driven (prediksi, otomatisasi), dan electronic health record.
Kehadiran teknologi digital pada dasarnya mengurangi problematika informasi asimetris pada layanan kesehatan. Bagi pasien teknologi digital membuat informasi, baik mengenai kondisi badan maupun opsi pelayanan kesehatan menjadi lebih sempurna, hingga mendorong partisipasi pasien dalam menjaga kesehatan (self-care skills). Di Indonesia, tele-health menjadi salah satu layanan yang sedang berkembang pesat.
Sedangkan bagi penyedia jasa kesehatan, kehadiran teknologi digital tidak hanya mendorong efisiensi dalam pelayanan, tetapi juga membantu penyedia jasa mengalokasikan sumber daya yang sesuai dengan kebutuhan. Secara umum, kehadiran teknologi kesehatan dapat membuka akses kesehatan (tele-health), meningkatkan outcome kesehatan, menciptakan layanan yang lebih personal (people-centred), serta berpotensi menurunkan biaya kesehatan.
Melambungnya pengeluaran kesehatan menjadi fenomena global saat ini. Rata-rata global pengeluaran kesehatan telah mencapai 10% dari pendapatan nasional. Fenomena serupa terjadi di Indonesia –penyelenggaraan kesehatan masih jauh dari efisien, karena masih fokus pada sisi kuratif, bukan preventif. Diperkirakan anggaran pemerintah untuk kuratif mencapai hampir 70%, serta 84% anggaran JKN habis untuk pasien rumah sakit. Adanya teknologi digital dapat mendorong layanan kesehatan yang lebih fokus pada sisi preventif.
Sektor kesehatan diperkirakan akan menerima keuntungan sangat besar dari adanya jaringan 5G. PWC (2020) memperkirakan bahwa adanya teknologi 5G dapat menambah nilai sektor jasa kesehatan hingga tahun 2030 hingga USD 530 miliar. Teknologi 5G membuka gerbang tidak hanya untuk terciptanya berbagai layanan baru untuk bidang kesehatan, tetapi juga mengoptimalkan berbagai proses layanan telah ada.
Komunikasi real time antara pasien-dokter, semakin efektifnya telemedicine, operasi jarak jauh, hingga transportasi obat adalah salah bentuk implementasi dari teknologi 5G untuk layanan kesehatan. Semakin baiknya komunikasi antara dokter-pasien mendorong efisiensi pelayanan, menghasilkan outcome kesehatan yang lebih tinggi, hingga pada akhirnya dapat menurunkan waktu rawat yang dibutuhkan.
Pembenahan Kebijakan
Dalam jangka pendek, guna mempersiapkan ekosistem digital health yang mapan, pemerintah harus melakukan pembenahan kebijakan. Menurut saya terdapat dua tantangan besar untuk mendorong eksosistem health-tech. Pertama, mendorong interoperability; kedua, mengatasi hambatan aturan.
Pertama, interoperability menjadi kunci dalam mendorong terciptanya ekosistem health-tech yang baik. Secara sederhana, mekanisme interoperability, satu sistem kesehatan dapat terkoneksi (berkomunikasi) dengan sistem kesehatan lain, sehingga pemilik data (pasien) dapat mengakses dan memindahkan datanya dari satu pengendali data (seperti rumah sakit) ke yang lain.
Bayangkan apabila data kesehatan antara rumah sakit, asuransi, apotik, klinik, laboratorium, hingga puskesmas terhubung, maka pemantauan kesehatan akan menjadi lebih mudah. Seorang pasien pun dapat dengan mudah memindahkan catatan kesehatannya dari satu tempat ke tempat lain. Hal ini tentu dapat mendorong efisiensi pelayanan kesehatan.
Interoperability masih menjadi isu besar saat ini, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Data kesehatan masih sangat tersegmentasi, dipegang oleh masing-masing pengendali data. Estonia menjadi negara pertama di Uni Eropa yang menerapkan person-centered untuk data kesehatan. Pasien memiliki satu portal tempat seluruh data kesehatan, dari data diagnostic, hasil lab, hingga resep dapat diakses dengan mudah. Semenjak tahun 2009, seluruh penyedia jasa kesehatan berkewajiban mengunggah data pasien ke portal tersebut. Pasien bisa melihat siapa saja yang mengakses data kesehatannya, dan bahkan memiliki hak untuk merestriksi akses datanya.
Kedua, pembenahan aturan. Berikutnya adalah aturan terkait sektor kesehatan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.303/2020, telemedicine dibatasi hanya pada kondisi (emergensi) tertentu. Lebih lanjut, berdasarkan Peraturan Konsil Kedokteran 74/2020, dokter tidak diperbolehkan melakukan telemedicine apabila tidak melewati fasilitas kesehatan terlebih dahulu. Hal ini tentu akan sangat membatasi kemampuan dari digital health itu sendiri.
Sumber: detik.com
COMMENTS