Reportase Diskusi Online Forum Manajemen RS Pendidikan – FK
Insentif Residen di RS Pendidikan: Dilema Antara Residen sebagai Tenaga Kerja dan Beban Anggaran RS Pendidikan
Rabu, 10 Maret 2021
Telah dilaksanakan Diskusi Online Forum Manajemen RS Pendidikan – FK Seri 2 yang berjudul Insentif Residen di RS Pendidikan: Dilema Antara Residen sebagai Tenaga Kerja dan Beban Anggaran RS Pendidikan. Pembicara pada diskusi ini adalah dr. Diaz Novera, BMedSc(Hons) , seorang peneliti dan alumnus S2 MMR FKKMK UGM, dan Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D yang menjadi tenaga pendamping ahli UU Pendidikan Kedokteran 2013. Pembahas yang hadir adalah Dr. dr. Darwito, SH, Sp.B(K)Onk dan Drs. Siswo Suyanto, DEA, dengan Dr. dr. Ina Rosalina,Sp. A(K), M.Kes, M.HKes. sebagai moderator.
Diskusi ini dibuka dengan materi dari dr. Diaz tentang Scoping Study Pola Pemberian Insentif Residen di 8 Negara. Diaz memaparkan perbandingan pola pemberian insentif di Amerika Serikat, United Kingdom, Belanda, Australia, Jepang, Tiongkok, Singapura, dan Indonesia. System Pendidikan residen di Indonesia adalah university based, yang berarti status residen adalah pelajar universitas. Pola pemberian insentif tidak diketahui, dan rerata besaran insentif saat pandemi yaitu Rp. 12.500.000,00/bulan. Jam kerja dan waktu istirahat pun baru distandarisasi setelah pandemi. Model yang direkomendasikan di Indonesia adalah system semi hospital based dalam AHS, dan residen menjadi pekerja sementara dalam kontrak Perjanjian Kerja Waktu Terbatas (PKWT), dengan RS Pendidikan Utama/Jejaring sebagai pemberi kontrak. Rincian tentang status hukum, jam kerja, dan waktu istirahat harus tertera di dalam kontrak. Materi bisa diunduh disini.
Paparan selanjutnya oleh Prof Laksono yang membawakan tentang Insentif Residen : Dilema Antara Residen sebagai Tenaga Kerja dan Beban Anggaran RS Pendidikan. Reformasi Pendidikan residen dalam UU Pendidikan Kedokteran tahun 2013 adalah mahasiswa Pendidikan spesialis dan sub spesialis bukan mahasiswa biasa, dimana mempunyai hak termasuk insentif dan kewajiban sebagai pekerja dan system yang dianut adalah semi hospital based. UU ini belum dilaksanakan dengan baik, karena tidak banyak yang memperjuangkan. Pada masa pandemic COVID-19 ini, didapatkan momentum baru yaitu pemberian insentif residen secara nasional. Perlu diingat bahwa insentif di masa COVID-19 ini merupakan hazard pay, dimana ada kemungkinan Pasca Pandemik Covid19, Hazard Pay untuk Residen akan dihapus. Momentum pengakuan residen sebagai tenaga kerja ini perlu dijaga. Prof. Laksono menjelaskan bahwa dalam struktur pembayaran residen sebaiknya ada insentif atau pun gaji dan hazard pay (tambahan). Insentif residen bisa menjadi beban bagi RS apabila penerimaan residen tidak berdasarkan kebutuhan tenaga di RS Pendidikan/jaringan. Insentif residen tidak menjadi beban apabila penerimaan residen diubah sesuai kebutuhan SDM di RS Pendidikan utama/satelit dan adanya ketersediaan anggaran untuk membayar. Selengkapnya, materi bisa diunduh disini.
Pembahasan oleh dr. Darwito dimulai dari dasar hukum penerimaan residen, dimana ada ketidaksesuaian antara FK dan RS Pendidikan. Penerimaan residen dilakukan oleh FK, sedangkan pendidikannya dilakukan di RS Pendidikan. Ada hal yang belum terpecahkan yaitu biaya Pendidikan, gaji dosen, dan biaya sarana prasarana yang dibebankan RS Pendidikan. Sumber dana RS Pendidikan adalah dari APBN, pelayanan, dan hibah. Alokasi belanja RS adalah 56% untuk operasional, 44% untuk pegawai (40% untuk remunerasi dan 4% untuk pengembangan SDM). Alokasi 4% ini yang bisa dimanfaatkan untuk residen. Dr. Darwito menyarankan untuk ada diskusi dari Kemenkes, Kemenkeu, Kemendikbud, Irjen, dan BPK untuk pengaturan pengelolaan Keuangan di FK dan RS Pendidikan. Materi bisa diunduh disini.
Bapak Siswo menjelaskan tentang BLU dan perbedaannya dengan kementrian Lembaga pada umumnya, yaitu otonomi yang lebih besar dan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan dan personalianya. Dimana RS Pendidikan sebagai RS vertical dianggap sebagai kementerian lembaga yang tidak memiliki fleksibilitas itu, karena nomenklaturnya tertutup. Saran dari Bapak Siswo adalah perlu memperjelas status residen agar para stakeholder memiliki persepsi yang sama. Materi dapat diunduh disini.
Diskusi pada sesi ini dibuka dengan menjawab pertanyaan dari peserta terutama tentang PKWT. Sedangkan dari RSUD Dr. Soetomo memberi tanggapan bahwa mereka sudah memberi insentif baseline dan sesuai kinerja pada PPDS sejak 2021. Hal ini dimungkinkan karena RSUD Soetomo merupakan BLU, namun memang problemnya adalah terlalu banyak residen, yaitu sebanyak 1.800 orang, sehingga insentif yang diterima juga tidak bisa terlalu banyak. Sedangkan dari RSCM, memberikan pengalaman pemberian insentif residen menjadi temuan BPK karena tidak ada anggaran untuk itu, sehingga diminta untuk dihentikan. Dan menurut direktur RSCM, system PKWT diperlukan kredensial, berarti ada penapisan 2 kali dari program studi dan dari RS.
Pada akhir diskusi, disepakati bahwa perlu diskusi lebih mendalam tentang pemberian insentif pada residen.
Video rekaman
Reporter : Srimurni Rarasati
COMMENTS