Sesi 2. Perlindungan hukum bagi residen dan residen sebagai Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP)

 


Sesi ini dimoderatori oleh Dr.dr.Sri Mulatsih SpA(K) dari RSUP Dr. Sardjito. Panelis pertama ialah Prof. Dr. dr. Herkutanto, Sp.F, SH, LL.M – Ketua Komite Keselamatan Pasien. Prof Herkutanto menyampaikan ‘Perlindungan Hukum bagi Residen dan residen sebagai Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP): Pembahasan dari aspek Keselamatan Pasien. Mana yang lebih penting? Access to healthcare vs quality of heathcare.

 

Mutu bukan sekedar kenyamanan, apakah ketika pembiayaan meningkat, mutu meningkat? Proteksi residen dari tindakan hukum dan proteksi masyarakat, mana yang lebih penting? Pendidikan kedokteran salah satu prinsipnya adalah apprenticeship (Magang) dimana hal tersebut sudah berlangsung sejak lama. Dan yang diajarkan tidak hanya aspek kognitif saja tetapi juga aspek afektif-nya. Afektif disini termasuk dalam hal etika terutama pinsip maleficence dan autonomy. Hal inilah yang dibahas terkait residen sebagai DPJP dengan patient safety sebagai pusatnya.

Karakteristik DPJP (dari aspek etik) yang harus dipenuhi, antara lain; setiap pasien harus ada DPJP-nya, DPJP pembuat keputusan medis, jika kasus merupakan kasus yang kompleks harus ada 1 DPJP yang menjadi leadernya dan DPJP adalah dokter yang paling kompeten dalam RS tersebut. UU Praktik Kedokteran Pasal 50 Hak dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktek kedokteran: memperoleh perlindungan hukum sepanjang melakukan tindakan sesuai standar operasional prosedur. UU RS Pasal 29: Masyarakat diproteksi dari dokter yang tidak kompeten. Bentuk proteksi pasien: hanya yang benar-benar kompeten yang diberikan clinical privilege di RS dan perkuat komite medisnya. Di sinilah harus ada sistem penapisan yang baik yang mampu memastikan bahwa residen yang akan dikirim dan menjadi DPJP ini sudah lengkap secara legal-administratif dan secara tingkat kompetensi.

Setting RS Pendidikan utama pasti mewakili dokter spesialis dan pendidikan terjadi saat dokter memberikan pelayanan. Sementara, setting RS Jejaring ialah tidak memiliki dokter spesialis dan pendidikan terjadi saat PPDS memberikan pelayanan.

Kesimpulan yang dapat diambil diantaranya residen sebagai DPJP patut didukung. Namun harus menempatkan patient safety sebagai pusatnya. Prinsip tak ada rotan akar berguna tidak sesuai di tataran sekunder. Proteksi terhadap pasien hanya dapat terjadi jika RS mempunyai sistem penapisan yang baik dalam penerimaan residen.

Perlindungan Hukum bagi Residen dan Residen sebagai Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP): Pembahasan dari Aspek Hukum. Panleis yang kedua ialah Rimawati, M. Hum dari Fakultas Hukum UGM.

Residen memiliki legal standing sesuai Pasal 19 (2) UU No. 20 Tahun 2013 tentang Dikdok dan PMK No. 2052 Tahun 2011.

Asas lex spesialis dan lex generalist: aspek khusus mengesampingkAn umum Permenkes 252 tahun 2009: Pasal 23, nakes dan residen sepanjang memiliki ijin praktek dan masih mahasiswa, UU 22 Tahun 2004 wajib memiliki SIP untuk dokter dan dokter gigi. Demi keselamatan pasien, dokter bisa melanggar hukum-dokter Ayu-perdata-pidana-administrasi. Sepanjang residen masih memiliki ijin, SIP bisa diberikan oleh Kadinkes lokasi residen mengabdi.

Dokter pendidik klinis bertanggung jawab pada peserta didiknya. Kewenangan bisa diperoleh dengan beberapa cara: pertama, kewenangan atributif: ada pemberian wewenang, bisa dilakukan pejabat yang menerima kewenangan. Atributif tidak bersifat distribusi kewenangan. Delegasi: bersifat dari pejabat lama ke pejabat baru dan bisa menghapus pemberi delegasi. Sementara, mandat bersifat penugasan. Hal ini perlu diatur melalui Permenkes yang lebih spesifik.

Ciri pendelegasian meliputi: sudah dikuasai si penerima wewenang, tetap di bawah pengawasan pemberi pelimpahan, tetap bertanggung jawab sepanjang sesuai yang diberikan, residen berdasarkan kompetensinya, tindakan yang dilimpahkan tidak termasuk dalam tindakan klinis dan tindakan tidak berlangsung terus-menerus. Syarat subjektif yang harus ada yaitu kesepakatan dari RS ke daerah tertentu. Syarat objektif yaitu ada hal yang diperkenankan dan sejalan dengah syarat hukum.

Perjanjian terapeutik (kesepakatan):

Seharusnya RS menanggung nakes yang bekerja jika ada kasus yang terjadi. Perlindungan hukum : nakes memiliki SIP dan STR (dokter). Jika terjadi kasus perdata, ditanggung bersama. Medis: masih terlindungi dari SIP dan STR tersebut.

Panelis ketiga memaparkan tentang‘Perlindungan Hukum bagi Residen dan Residen sebagai Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP): Pembahasan dari Aspek Pengawasan RS (Dr. Agung Sutiyoso-Perwakilan dari Kemkes untuk Badan Pengawas Rumah Sakit/BPRS).

BPRS ini merupakan tim yang terdiri atas lima elemen, yaitu dari Kemkes, perwakilan dari masyarakat, IDI, PPNI dan PERSI merupakan empat anggota lain yang tergabung dalam BPRS. UU tentang RS: pembina dan pengawas ialah pemerintah dan Pemda. Organisasi profesi, perumahsakitan dan ormas ke depannya dapat sebagai pengawas RS juga. Selama ini, aktivitas kami yaitu menyoroti audit medik dan teknis RS.

Secara eksternal, BPRS ada di pusat dan secara internal wajib dibentuk BPRS Daerah di tingkat provinsi. Aturannya, jika lebih dari 10 RS dalam satu provinsi, maka harus membentuk BPRSP. Selain BPRS ini, badan wajib yang harus dimiliki masing-masing RS ialah Dewan Pengawas RS.

Dasar BPRS yaitu UUD 45 terkait kesehatan yang merupakan hak masyarakat. Sementara, dalam akses dan pelayanannya, masyarakat bisa mengeluhkan layanan melalui media cetak dan elektronik. Hak dan perlindungan pasien, residen mendapat perlindungan hukum dalam berpraktik, DPJP sesuai kompetensi masing-masing, pembinaan dan pengawasan melalui stakeholder. Aspek lain yang harus diperhatikan ialah kesejahteraan dan keamanan residen. Kemudian, diikuti pemenuhan tenaga di daerah terpencil.

Diskusi:

Residen di RSUP Dr. Sardjito, menyatakan RSD belum tentu memiliki standar operasional prosedur-misalnya alat berbeda sehingga harus berimprovisasi. Ada mekanisme residen sebagai DPJP yang memiliki tanggung jawab secara hukum, apakah ada mekanisme kontrol? Pengawasan? Sehingga lebih terlindungi. Perlu visitasi berkala secara berkelanjutan.

Prof Herkutanto menjelaskan, STR khusus untuk RS diberikan oleh direktur jika residen ini sudah melalui tahap kredensialing terkait apa saja yang bisa dilakukan dan tidak bisa melakukan apa? Rimawati, menambahkan UU Praktek Kedokteran tidak perlu diubah. Jika kita cermati, dalam UU Dikdok jika ada pasal yang diubah, butuh waktu yang lama. Kita gunakan lex spesialist yaitu pasal 19 ayat 1 UU Praktik Kedokteran, tinggal di-follow up dengan Permenkesnya. FK bisa memberikan sertifikat kompetensi untuk melindungi residen dan juga dari Dinkes, lalu diikuti hak khusus atau clinical priviledge.

Prof. Laksono menambahkan, residen harus yang sudah memiliki kompetensi jika akan dijadikan DPJP. Residen bukan siswa tapi pekerja khusus, bahkan di AS, residen digaji. Maka, kompetensinya harus baik dan teruji.

Kesimpulannya,saat akan diberikan clinical priviledge, semuanya harus jelas terkait aspek legal-administratif dan level kompetensinya. Dengan begitu proteksi untuk pasien dan residen akan berjalan.