Teknologi Endoskopi Perlu Kemampuan Mumpuni bagi Dokter Indonesia

Foto : istimewa
Seorang dokter tengah memeriksa bagian dalam pasien dengan menggunakan peralatan endoskopi.


Penyakit saluran cerna kini menjadi salah satu penyakit yang diderita banyak orang. Mereka umumnya menderita penyakit maag, batu kandung empedu, penyakit pankreas dan saluran empedu, penyakit saluran cerna, penyakit usus halus, dan lain-lain. Untuk mendiagnosanya, dokter biasanya dibantu dengan peralatan endoskopi.

Endoskopi merupakan salah satu peralatan kedokteran untuk memin­dai atau meneropong kelainan atau penyakit pada organ-organ pencernaan. Peralatan ini dilengkapi dengan kamera mikro yang dihubungkan dengan komputer.

Masalahnya, jumlah tenaga dokter yang dapat mengerjakan endoskopi relatif masih terbatas. Di Indonesia, diperkirakan seki­tar 600 dokter saja. Dari jumlah tersebut, kurang dari 50 dokter spesialis penyakit dalam yang memiliki kemampuan mengguna­kan peralatan endoskopi yang lebih modern. Itu pun sebagian besar terpusat di beberapa kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Medan, Makassar, Manado, dan Surabaya.

“Kemampuan para dokter endoskopi di Indonesia sebenar­nya cukup mahir dan mampu bersaing dengan dokter-dokter dari negara-negara lain. Sebab, mereka telah menempuh pendidikan di sejumlah perguruan tinggi di luar negeri. Namun, dengan kemajuan peralatan endoskopi belakan­gan ini, para dokter endoskopi Indonesia perlu terus mengasah pengetahuannya, sehingga men­jadi lebih mahir,” ujar Ari Fahrial

Syam, Ketua Umum Perhimpunan Endoskopi Gastrointestinal Indo­nesia (PEGI) di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Atas dasar itulah PEGI menggelar workshop endoskopi. Workshop ini merupakan bagian dari kalender acara outreach the Asia Pacific Society for Digestive Endoscopy (APSDE) tahunan yang kali ini diadakan di Jakarta. Sebanyak 40 dokter endoskopi diundang untuk memperdalam ilmunya.

Workshop tersebut mengha­dirkan beberapa ahli endoskopi dari Jepang, yakni Prof Seigo Kitano (President Asia Pacific Society of Digestive Endos­copy-APSDE), dan Prof Hisao Tajiri (Presi­dent Japanese Gastroenterological Endoscopy Society-JGES).

Selain itu, ada ahli endoskopi yang memberikan kuliah tamu, yaitu Profesor Kazuhisa Oka­moto dan Profesor Mitsuhiro Kidadari dari Fakultas Kedokteran Universitas Kitasato, dan Profe­sor Eiji megaki dari Departemen Gastroenterologi, Kobe University School of Medicine.

Tim ahli dari Jepang itu menga­jari para dokter spesialis penyakit dalam di sesi hands on dengan cara yang benar. Diharapkan dengan pelatihan tersebut para dokter spesialis penyakit dalam yang terlibat dalam sesi pelatihan ini mampu melakukan tindakan endoskopi tingkat lanjut (advanced endoscopy).

Dokter Ari mengatakan untuk kawasan Asia, Vietnam dan Indo­nesia mendapatkan kesempatan pelatihan langsung (hands on) dari para ahli endoskopi saluran cerna dari Jepang. “Untuk pelatihan di Jakarta dipimpin tim dari Kobe University School of Medicine,” ujarnya.

Tentu saja course itu diselenggarakan dengan mem­berikan manfaat kepada pe­serta. “Course tersebut diselenggarakan dengan tujuan agar para peserta dapat meningkat­kan kemampuan menggunakan endoskopi, sehingga dapat menegakkan diagnosa secara lebih akurat,” tuturnya.

Dokter yang ikut di acara terse­but berasal dari berbagai daerah, sehingga terjadi pemerataan pela­yanan kesehatan. “Pasien tak perlu ke Jakarta untuk memeriksakan penyakit sistem pencernaannya,” imbuh Ari.  san/R-1

Belum Merata

Sebenarnya, peralatan teknologi endoskopi yang terdapat di Indonesia sudah maju. Beberapa rumah sakit sudah memiliki ERCP (Endoscopic Retro­grade Cholangio Pancreatography), endoskopi ultrasound, entroskopi untuk melihat usus halus, dan intra ductal ultrasound untuk memindai batu empedu. Ada juga manometri untuk meneropong tekanan dalam lambung dan kerongkongan yang biasa terjadi pada penderita penya­kit maag dan GERD (Gastroesopha­geal Reflux Disease).

Tetapi tidak semua rumah sakit memiliki fasilitas tersebut. Misal­nya peralatan untuk ERCP dimiliki RS Cipto Mangunkusumo (Jakarta) dan RS Kariadi (Semarang), dan rumah sakit swasta di Bandung dan Surabaya. “Ada dokter endoskopi di suatu rumah sakit tetapi rumah sakit itu tidak memiliki peralatan endoskopi canggih,” ujarnya.

Sementara itu, Hisao Tajiri mengatakan bahwa pelatihan endoskopi saluran cerna tingkat lanjut yang diberikan tim ahli dari Jepang merupakan bentuk dukungan bagi PEGI. “Pelatihan hands on ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dokter spesialis penyakit dalam terkait advanced endoscopy di regional, termasuk Indonesia,” ujarnya.

Menurut Tajiri, di Jepang terda­pat sekitar 30.000 ahli endoskopi. Adapun jumlah penduduk Jepang sekitar 127 juta jiwa (data 2016). Bandingkan dengan Indonesia yang berpenduduk 280 juta tapi ha­nya memiliki 600 dokter endoskopi.

Sedangkan Seigo Kitano mengatakan saat ini terdapat 20 negara yang menjadi anggota APSDE. “Indonesia merupakan salah satu negara yang penting dan menjadi prioritas pelatihan endoskopi sa­luran cerna tingkat lanjut, karena jumlah populasi yang besar, namun dokter yang menguasai advanced endoscopy masih terbilang sedikit,” katanya.

Ari menyinggung, di Indonesia angka kejadian kanker saluran cerna (misal kanker pankreas dan kanker kolorektal) terus mening­kat jumlahnya. Peningkatan kasus kejadian kanker itu, antara lain, disebabkan gaya hidup masyarakat, misalnya suka mengonsumsi maka­nan berlemak, kurang makan sayur/ serat, kurang gerak, juga obesitas.

Kasus lain yang juga banyak terdapat di masyarakat adalah meningkatnya kejadian batu di saluran empedu. “Nah, dengan pelatihan endoskopi saluran cerna tingkat lanjut, maka dokter di Indo­nesia memiliki kemampuan untuk mengeluarkan batu dari saluran empedu atau mengambil sampel jaringan di pankreas,” ujarnya.

Di Indonesia, angka kejadian kanker kolorektal terbilang tinggi. Ini berbeda dengan di Jepang. Di Jepang, lanjut Hisao Tajiri, kasus yang paling banyak adalah kanker lambung. Selain karena pola makan yang salah, juga disebabkan bakteri Helicobacter pylori (H. Pylori).

H. Pylori kini juga menjadi per­hatian peneliti Indonesia. Dokter Ari yang memimpin studi tersebut menemukan ada beberapa faktor yang menyebabkan kuman ini bisa tumbuh di daerah lain, tapi tidak di tempat lain. Selama 3 tahun, PEGI, khususnya kelompok studi H. Pylori Indonesia, melakukan studi di 20 RS di Indonesia.

Dari hasil penelitian terhadap 1.100 pasien, Dokter Ari bersama Prof Yoshio Yamaoka dari Univer­sitas Iota, Jepang. Menemukan prevalensi H pylori di Indonesia sebesar 22,1 persen. Satu dari 5 pasien dispepsia (sakit maag) berpotensi mengalami infeksi bakteri tadi. “Suku bangsa dan sumber air menjadi salah satu faktor risiko infeksi kuman itu,” katanya.


Sumber: http://www.koran-jakarta.com/teknologi-endoskopi-perlu-kemampuan-mumpuni-bagi-dokter-indonesia/