Gratifikasi Mengancam Profesi Kedokteran

http://cdn-2.tstatic.net/tribunnews/foto/images/preview/giri-suprapdiono-calon-pimpinan-kpk_20150825_214310.jpg

Jakarta – Tenaga medis dokter rawan terjerat praktek gratifikasi. Umumnya pemberi gratifikasi adalah perusahaan farmasi. Modusnya beragam, seperti pemberian pelatihan gratis, kompensasi hingga bingkisan bernilai ratusan juta rupiah. Tujuannya demi memuluskan penjualan obat.

 
Direktur Gratifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Giri Suprapdiono, menilai meskipun tidak mempengaruhi independensi dokter, strategi pemasaran obat yang mengandung unsur gratifkasi mudah sekali dideteksi. Karena, lanjutnya, penggunaan obat-obatan menyentuh langsung masyarakat sehingga rentan untuk dilaporkan.
 
“Kedua, barang diterima. Setelah itu dicek ke KPK, apa pernah dilaporkan atau belum. Kalau belum, alat bukti sudah dua, masuk penjara dia,” ujar Giri ketika diskusi bertajuk Etika Pemasaran dan Prinsip Anti-Gratifikasi di Sektor Kesehatan, Selasa (15/12).
 
Giri menyarankan kepada para dokter agar menghindari pemberian apa pun dari pihak perusahaan obat yang, seperti cinderamata, di luar kewajaran. Kalaupun tidak bisa ditolak, segera melapor ke KPK. “Soalnya bakal ribet nanti. Kalau mau ikut training juga, usahakan pakai uang sendiri saja,” kata Giri.
 
Berdasarkan kajian KPK, penyebab utama munculnya praktek gratifikasi di dunia kedokteran karena upah dokter yang masih rendah. Menurutnya, pendapatan kebanyakan dokter di Indonesia hanya berkisar 10 juta per bulan. Sementara, UU Kesehatan menuntut agar dokter meningkatkan kompetensinya dengan mengikuti konferensi dan pelatihan.
 
“Tapi pemerintah nggak mampu menyediakan, sehingga praktek gratifikasi terjadi, dan kebutuhan pendidikan diselenggarakan oleh pengusaha obat. Di sanalah mulai muncul. Apalagi, kurangnya transparansi fasilitas kesehatan,” ujarnya.
 
Agar praktek gratifikasi dokter dapat dicegah, Giri bersolusi agar Kementerian Kesehatan dan Kementerian Kuangan mengkaji upah dokter.
 
Lalu bagaimana dengan dokter swasta yang menerima gratifikasi? Menurut Giri situasi ini menjadi kesenjangan di dunia kedokteran. Umumnya dokter berstatus pegawai negeri merasa didiskriminasi.

Giri menjanjikan dalam waktu dekat, sanksi gratifikasi pada dokter swasta juga akan diberlakukan sama seperti dokter PNS. Menurutnya, setiap profesi yang berfungsi untuk melayani publik dapat dikenakan sanksi pidana pasal 92 KUHP.
 
Sementara, Direktur Eksekutif  International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) Parulian Simanjuntak, mengklarifikasi praktek pemberian gratifikasi dari perusahaan obat. Menurutnya keduapuluh empat anggota perusahaan obat yang bernaung di IPMG, selalu memasarkan obat secara etis berdasarkan Permenkes Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pengendalian Gratifikasi.
 
Parulian menegaskan bahwa penerapan etika pemasaran anggota IPMG selalu mengacu pada Code of Marketing Parctices for Pharmaceutical Products sebagai pedoman bagi anggota asosiasi. Kode etik internal tersebut memuat tentang komitmen tidak memberi gratifikasi dan menjaga kualitas obat-obatan bagi pasien.

Ketua Majelis Kode Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI), Prijo Sidipratomo menyayangkan adanya dokter yang menerima gratifikasi. Padahal kode etik IDI yang memuat tentang larangan suap dan gratifikasi sudah diterbitkan sejak tahun 2012.

Salah satu penyebab, menurut Prijo, karena IDI masih sulit mengawasi ratusan ribu anggota yang tersebar di seluruh Indonesia.

sumber: GATRAnews