MK Tegaskan Pidana Kedokteran untuk Lindungi Pasien

Category: Berita Nasional Written by Super User Hits: 4246

Akhirnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi Pasal 66 ayat (3) UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang diajukan sejumlah dokter muda yang tergabung dalam Dokter Indonesia Bersatu (DIB). Dalam kesimpulannya, Mahkamah berpendapat pengujian konstitusionalitas Pasal 66 ayat (3) UU Praktik Kedokteran tidak beralasan menurut hukum.
 
“Menyatakan menolak permhonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Majelis MK, Arief Hidayat saat membacakan putusan bernomor 14/PUU-XII/2014 di ruang sidang MK, Senin (20/4).
 
Sebelumnya, empat orang dokter yakni  Eva Sridiana, Agung Sapta Adi, Yadi Permana, dan Irwan Kreshnanamurti mempersoalkan Pasal 66 ayat (3) UU Praktik Kedokteran. Para pemohon memandang luasnya ruang lingkup tindak pidana dalam pasal itu secara tak langsung memberi ancaman ketakutan bagi dokter saat memberikan pelayanan medis. Sebab, seolah seluruh tindakan dokter berpotensi tindak pidana.
 
Seperti yang dialami dokter Dewa Ayu Sasiary Prawari, dokter Hendry Simanjuntak, dan dokter Hendy Siagian yang dijatuhi pidana selama 10 bulan melalui putusan MA No. 90/PID.B/2011/PN MDO. Gara-gara kasus ini dokter melakukan mogok. Para dokter ini pada akhirnya memang dibebaskan (putusan MA No. 79PK/Pid/2013), tetapi tetap tak menghilangkan potensi pidana terhadap dokter.
 
Para pemohon meminta Pasal 66 ayat (3) harus dimaknai dugaan tindak pidana hanya tindakan kedokteran yang mengandung unsur kesengajaan atau kelalaian berat yang telah dinyatakan terbukti dalam sidang MKDKI sebelumnya.
 
Mahkamah menganggapketentuan pelaporan secara pidana atau gugatan perdata tetap diperlukan untuk melindungi hak-hak pasien dan pemangku kepentingan dari tindakan dokter/dokter gigi di luar cakupan disiplin profesi kedokteran. “Ini melindungi hak pasien manakala tindakan dokter/dokter gigi yang dinyatakan MKDKI melanggar disiplin profesi kedokteran ternyata menimbulkan kerugian pada pasien,” ujar Hakim Konstitusi Muhammad Alim saat membacakan pertimbangannya.
 
Proses pidana atau gugatan perdata secara kontekstual dinilai tidak memiliki makna lain selain menjadikan ilmu kedokteran, khususnya kode etik dan disiplin profesi kedokteran sebagai rujukan melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang. Antara lain, mendengarkan pendapat atau keahlian dari pihak-pihak yang memiliki kompetensi di bidang kedokteran.
 
Ketika ilmu kedokteran menjadi rujukan mengadili dokter/dokter gigi yang diduga melakukan malpraktik, menurut Mahkamah telah membatasi risiko yang harus ditanggung dokter/dokter gigi dari pelaporan pidana atau gugatan perdata. Artinya, proses pengadilan yang demikian akan tertutup kemungkinan dijatuhkannya sanksi pidana dan/atau perdata kepada dokter atau dokter gigi yang tindakan medisnya oleh MKDKI telah dinyatakan sesuai atau tidak melanggar disiplin profesi kedokteran.
 
“Dalam konteks ini, ketakutan dokter dan/atau dokter gigi akan dikenai sanksi pidana dan/atau sanksi perdata jika melakukan tindakan kedokteran yang menimbulkan praktik defensive medicine di kalangan medis, tidak berdasar dan tidak lagi memiliki relevansi untuk dipertimbangkan lebih lanjut.”
 
“Mahkamah berpandangan keberadaan etika profesi, disiplin profesi, dan norma hukum, yang masing-masing mengancamkan sanksi tertentu, bukan merupakan penjatuhan sanksi ganda bagi satu perbuatan. Jikalau dijatuhkan sanksi etika, sanksi disiplin, dan sanksi hukum, hal itu bukanlah sanksi ganda karena masing-masing memiliki dimensi berbeda,” tegasnya.
 
Ditemui usai persidangan, salah satu perwakilan DIB Agung Saptahadi menyadari putusan yang dijatuhkan MK bersifat final dan mengikat. Namun, menurutnya dengan adanya putusan MK ini dokter tetap memiliki ketakutan mengambil tindakan medis karena tetap bisa dibawa dalam ranah pidana. Padahal, belum tentu kesalahan itu merupakan bentuk kesengajaan dan diluar disiplin profesi kedokteran.
 
“Ketika dokter melakukan kesalahan dan diancam pidana, itu sama saja dengan mereka sebenarnya tidak melakukan kesalahan, tetapi ada resiko komplikasi medis yang diterima pasien maka tetap bisa dikenakan Pasal KUHP. UU ini sebenarnya baik, tetapi kalau jadi multitafsir akan menimbulkan masalah juga,” keluh Agung usai persidangan.
 
Seharusnya, kata Agung, jika dokter dianggap tidak bersalah melanggar etik profesi oleh MKDKI, semestinya tidak ada pelanggaran hukum. “Dengan adanya putusan ini, seolah MKDKI seakan-akan tidak berguna ketika dikatakan tidak ada pelanggaran profesi, tetapi secara hukum tetap dikenakan Pasal KUHP,” tegasnya.

sumber: hukum-online