Reportase Diskusi Outlook 2019: SDM Kesehatan (Khusus Dokter)

PKMK – Yogya. Pada Kamis (17/1/2019) PKMK menyelenggarakan diskusi outlook terkait ketersediaan dokter di daerah. Sejumlah pembicara dan pembahas mengisi sesi kali ini, baik secara langsung maupun webinar. Tema yang diangkat kali ini ialah masa depan dokter umum di era JKN: bagaimana kesempatan bekerja untuk dokter umum?


Sesi 1

Sesi ini dibuka oleh Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH., M.Kes., MAS dengan paparan ] latar belakang pemilihan isu dokter umum, dokter spesialis, dokter gigi, dokter gigi spesialis adalah karena profesi ini masih memiliki masalah mendasar dari sisi ketersediaan. Penyelenggaraan outlook kali ini sedikit berbeda dari yang sebelumnya, yaitu dikemas dalam acara talk show yang memungkinkan dialog interaktif antar pembicara dan pembahas serta peserta. Penyampaian momen penting RPJMN yang mewarnai tahun ini dan realitas dunia kesehatan 2018 (over producing for GPs, isu kualitas, distribusi, isu multitasking dan dual job, menyisakan empat pertanyaan kunci pada 2019, yaitu:

  1. Apakah isu supply side readiness dapat diselesaikan dalam tahun politik ini? (Menyelaraskan jumlah dan jenis SDMK dengan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan);
  2. Bagaimana masa depan dokter umum di Indonesia?
  3. Bagaimana pengembangan pelayanan spesialistik di daerah “less favourable”
  4. Apakah peran sistem pendukung seperti Sistem Informasi dan Telemedicine dalam mengatasi isu supply side readiness ini?

Hadir dalam talkshow ini, perwakilan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan dr. Iwan Budhiharto (Sekjen Perhimpunan Pengusaha Klinik Indonesia) di Common Room Gedung Litbang PKMK FK UGM. Sedangkan Kepala Badan PPSDM bergabung melalui webinar. Dalam sesi ini, ketegasan dan kejelasan dalam pengaturan jumlah produksi tenaga kesehatan, terutama dokter, harus segera ditangani dan ditopang dengan sistem pendistribusian dokter umum dan dokter spesialis ke daerah yang medannya sulit namun berperan besar dalam memberikan layanan kesehatan. Jaminan yang lebih rasional dengan mempertimbangkan medan, kesejahteraan dokter, keamanan, support incident/kecelakaan kerja selama penempatan perlu penanganan segera.

Peraturan terkait yang telah ada yaitu dari Menpan dan Permenkes, namun masih perlu dikaji ulang terkait besaran dana reward dan berapakah kemampuan dari setiap individunya. Hadirnya berbagai unsur di dalam talkshow ini memperkaya wawasan dan konfirmasi terkait simpang siurnya informasi yang berkembang. Sehingga tergambarkan dengan cukup jelas oleh dokter kondisi yang akan dihadapi pada masa mendatang. Salah satunya adalah dimana JKN akan menciptakan mekanisme seleksi alam untuk distribusi dokter di Indonesia, dengan pertimbangan pengusaha masih memiliki minat tinggi untuk berinvestasi di dunia kesehatan. Aspek moralitas dan komersial juga sempat disinggung di acara ini pada kacamata pengusaha. Muncul kekhawatiran seorang dokter kemudian menjadi aset komersil dari pengusaha. Isu lainnya adalah kondisi yang tidak kunjung diperbaiki untuk kesejahteraan dokter sudah memunculkan trend candaan perbandingan profesi dokter dengan petugas parkir serta diversifikasi pendanaan. Dimana menurut dr. Bambang perwakilan IDI, ini sudah harus dilakukan dokter untuk bisa bertahan.


Sesi 2

Pada sesi kedua outlook tersebut, Dr. dr Dwi Handono Sulityo memaparkan materi tentang “Penyebaran Dokter Spesialis pasca dibatalkannya Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS): Menelaah Sistem Kontrak dan Task Shifting”. Dr Dwi menyampaikan situasi yang terjadi di Indonesia akibat pembatalan WKDS berpotensi untuk menurunkan ketersediaan dokter spesialis di daerah sulit dan kurang diminati. Pemerintah sudah harus memikirkan beberapa opsi/alternatif kebijakan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pemerintah diminta berfokus pada daerah kuadran IV (APBD kecil dan daya beli masyarakat rendah), karena daerah tersebut secara situasi sangat bergantung pada pemerintah pusat. Apabila kita melihat dari prespektif dokter spesialis berdasarkan rational choice dan self-integrated goals, peran pemerintah sangat diperlukan untuk daerah dengan rational choice yang rendah. Dr Dwi juga menyampaikan beberapa opsi solusi yang dapat didiskusikan bersama,1. Dengan memberlakukan sister hospital (RS yang lebih besar membantu mengirimkan tenaga spesialis dan memperbaiki sistem rumah sakit yang lebih kecil di daerah yang kurang diminati, 2. Soldier fortune (Opsi ini mengibaratkan dokter spesialis dengan sukarela namun dibayar tinggi untuk mengabdi pada daerah terpencil), 3. Task Shifting (Sebagian kompetensi dokter dan tugas dokter spesialis diberikan kepada dokter umum untuk wilayah tertentu), 4. Opsi terakhir ketika ketiga opsi tersebut tidak dapat dijalankan adalah perekrutan dokter spesialis dari negara lain (Dokter Asing).

Selanjutnya, paparan tersebut dibahas oleh pembicara dr Jon Calvin F Paat M. Kes. dr Jon berpendapat bahwa di Indonesia permasalahan dokter spesialis dinilai masih bersifat klasik yaitu masalah ketersediaan, distribusi, dan mutu layanan kesehatan. Permasalahan lainnya yang mengikuti adalah belanja pegawai pada beberapa daerah lebih dari 50 persen sehingga mekanisme perektrutan melalui kontrak BLUD. Dampak yang dikhawatirkan dari pembatalan WKDS adalah sejumlah daerah seperti kabupaten Supriori, dan Mambramo mengalami shut down atau mati suri. Kabupaten lain dengan populasi dan PAD yang kecil tentu akan mengalami kerugian yang sangat besar. Diikuti dampak lain yang mengikuti adalah adanya penurunan/ down grade tipe rumah sakit dari tipe C ke Tipe D dan tipe D ke rumah sakit pratama.

Papua memiliki konteks yang sangat unik dimana dari 29 kabupaten kota, daerah yang memiliki rumah sakit daerah adalah 16 kabupaten. Dengan konteks seperti ini, pemerintah Papua mengkhawatirkan kesulitan dalam pemenuhan dokter spesialis untuk daerah terpencil, sulit akses, dan APBD kecil. dr Jon juga menyarankan opsi task shifting sebagai solusi alternatif dengan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi seperti telah bekerja lebih dari 5 tahun insentif finansial tetap dan 70 persen dari insentif yang akan diberikan kepada dokter spesialis. Alternatif ini dinilai dapat menjamin ketersediaan dokter layanan primer di suatu daerah namun diperlukan beberapa regulasi yang secara kuat melindungi dokter layanan primer tersebut.

Terakhir dalam outlook tersebut, dr Maxi membahas pembatalan WKDS tersebut. dr Maxi berpendapat bahwa WKDS sampai saat ini masih berjalan. Tuntutan tersebut disinyalir berasal dari calon dokter spesialis yang akan melakukan WKDS. Poin - poin putusan MA yang berjumlah 6 poin tersebut adalah bersifat hoax, karena sampai saat ini putusan pembatalannya sudah ada namun bunyi pembatalannya seperti apa belum diketahui. dr Maxi menambahkan bahwa WKDS ini bukan untuk kepentingan kementerian kesehatan saja, tetapi harusnya ada kementerian lain seperti kementerian pendidikan tinggi dan juga pemerintah daerah.

Negara berkewajiban untuk bertindak ketika suatu daerah dinilai tidak mampu mengatasi masalah kesehatan, seperti kekurangan dokter spesialis yang dapat mengakibatkan kematian - kematian yang dapat dicegah. Data kementerian kesehatan menyebutkan bahwa sebanyak 2039 dokter spesialis sudah didistribusikan ke lebih dari 400 kab/kota dan sudah melengkapi 60 persen dari kebutuhan di RS tipe C dan D. Maxi menyatakan bahwa tidak ada satupun dari dokter spesialis yang telah menyelesaikan WKDS - nya menyatakan menyesal. Kementerian kesehatan sangat memperhatikan insentif secara finansial untuk dokter spesialis tersebut. dr Maxi juga berpendapat bahwa Task Shifting hanya akan membuat Indonesia mengalami kemunduran selama 30 tahun, dan berpendapat masih ada opsi lain yang dapat dipertimbangkan.

Reporter: Relmbuss Biljers Fanda (PKMK UGM)