Review Jurnal; Doctor – patient communication in Southeast Asia: a different culture?

Penelitian di negara barat telah menunjukkan bahwa komunikasi terbuka dan efektif antara dokter-pasien dapat memfasilitasi pelayanan kesehatan yang optimal. Kesamaan pemahaman  dapat dicapai dokter pasien apabila kedua pihak terlibat dalam bertukar informasi secara aktif selama konsultasi.

Namun di negara-negara Asia Tenggara, terdapat kesenjangan antara gaya komunikasi yang diharapkan dan yang terjadi di lapangan, dimana komunikasi bersifat paternalistik atau cenderung satu arah, dengan peran dokter yang dominan (Claramita et al. 2011). Fenomena ini mencerminkan adanya “superioritas” pada pasien dalam konteks konsultasi, atau adanya celah “education gap” yang jauh antar dokter pasien. Faktor- faktor yang menggarisbawahi  kejadian ini sudah pernah diteliti: beban kerja dokter yang tinggi, ketidaksiapan pasien terhadap gaya komunikasi, dan kurangnya pendidikan komunikasi. Namun juga ada peran budaya yang melatarbelakangi kejadian ini.

Penelitian ini membahas akar masalah dari peran budaya terhadap interaksi dokter pasien dan menunjukkan solusi penyusunan model komunikasi yang dirancang khusus untuk diterapkan pada pendidikan kedokteran.

SELENGKAPNYAnext


Pentingnya Penerapan Pendidikan Kesehatan Global dalam Pendidikan Kedokteran

Sustainable Development Goals (SDGs) atau sering disebut Global Goals merupakan sebuah panggilan universal untuk mengentaskan kemiskinan, melindungi planet, dan memastikan semua orang dapat menikmati perdamaian dan kemakmuran. SDGs disusun menyusul keberhasilan ambisi anggota negara-negara dalam PBB dalam program Millennium Development Goals yang berakhir pada 2015. SDG’s melingkupi area pengembangan baru seperti perubahan iklim, ketidakmerataan ekonomi, perdamaian dan keadilan, yang mana masing-masing area mempunyai keterkaitan satu sama lain dan keberhasilan satu area dapat menunjang hal yang sama pada area lainnya.

Topik 3. Ideologi Dibalik UU Pendidikan Kedokteran

Tanggapan dan Analisis Saya

UU Pendidikan Kedokteran yang diinisasi oleh DPR dan dimotori oleh anggota Fraksi PDI-Perjuangan periode itu (Heri Akhmadi, Dedi Gumilar) serta fraksi Demokrat dan Golkar mempunyai ideologi yang ingin meningkatkan peran pemerintah dalam pendidikan kedokteran berdasarkan prinsip Mutu, Keadilan, dan tata kelola pemerintahan yang baik. UU Pendidikan Kedokteran tidak ingin menyerahkan pendidikan kedokteran ke mekanisme pasar terlalu banyak.

Dengan demikian pernyataan IDI di bawah ini (yang merujuk ke dunia internasional) tidak sesuai dengan semangat menyusun UU Pendidikan Kedokteran waktu itu dan kondisi saat ini.

Ini pernyataan di dokumen IDI (halaman 4) 

“Namun secara internasional, pendidikan tinggi dianggap ‘tidak wajib’ dibiayai oleh negara, karena lulusan pendidikan tinggi memiliki ‘economy return’. Yang wajib dibiayai oleh pemerintah adalah pendidikan dasar dan menengah. Dengan adanya ‘otonomi perguruan tinggi’, perguruan tinggi diharuskan menggali sumber dana dari berbagai sumber untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan tinggi”.

Akibatnya biaya pendidikan dokter menjadi kian mahal, dan menyebabkan kesempatan menjadi dokter hanya dimiliki oleh orang yang mempunyai uang dan berpengaruh terhadap proses seleksi.

Analisis saya

Tim IDI belum melihat sejarah penyusunan UU Pendidikan Kedokteran dan memperhatikan ideologi yang dipergunakan. Para pemrakarsa UU Pendidikan Kedokteran ini adalah dari Fraksi PDI-Perjuangan, Fraksi Demokrat, dan Fraksi Golkar yang didukung banyak fraksi lainnya. Jelas tersurat di dalam pasal-pasal UU Pendidikan Kedokteran, bahwa fungsi negara semakin diperkuat. Penguatan fungsi negara ini untuk membatasi jumlah lembaga pendidikan kedokteran agar bermutu, meningkatkan subsidi pemerintah untuk pendidikan kedokteran, memberikan efek sipil dalam pendidikan kedokteran, memberikan kebijakan afirmatif untuk memberi kesempatan bagi calon mahasiswa tidak mampu namun berprestasi dan dari luar Jawa untuk mendapat pendidikan kedokteran.

Topik 2. UU Pendidikan Kedokteran dan meningkatkan mutu lembaga pendidikan kedokteran

Dokumen pernyataan mengenai Revisi UU Pendidikan Kedokteran (01 Maret 2018, halaman 4) menyatakan:
“Pada awal 2000, Indonesia memiliki 33 Fakultas Kedokteran. Pada tahun 2018 ini, terdapat 83 Fakultas Kedokteran dengan 35 Fakultas Kedokteran Negeri dan 48 Fakultas Kedokteran Swasta”.

Analisis saya:
Apa peran UU Pendidikan Kedokteran dalam hal ini? Salah satu tujuan utama UU Pendidikan Kedokteran untuk mencegah bertambahnya perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan kedokteran dengan menggunakan pendekatan Program Studi. Pada rentang tahun 2000 hingga 2010 terdapatpertambahan jumlah perguruan tinggi dengan pendidikan kedokteran dari 33 menjadi 64. Dari 64 tersebut, 23 tidak terakreditasi, dan 10 terakreditasi C (Sumber : Direktori SK Hasil Akreditasi Program Studi – 22/ 08/ 2010 (www.ban-pt.depdiknas.go.id))
Terlihat dari kurun waktu tersebut terjadi penambahan jumlah universitas yang menyelenggarakan pendidikan kedokteran dengan mutu buruk. Akibatnya dapat dirasakan oleh bangsa Indonesia saat ini.

Mengapa terjadi perkembanga seperti itu? Sebelum UU Pendidikan Kedokteran diterbitkan, sangat mudah untuk membuat dan menyelenggarakan pendidikan kedokteran. Sebuah universitas cukup melengkapi syarat sebagai sebuah Prodi Kedokteran yang dapat dilakukan di fakultas MIPA, fakultas kesehatan, dan lain-lain. Akibatnya terjadi banyak perndidikan kedokteran yang terakreditasi C atau tidak terakreditasi.

UU Pendidikan Kedokteran memperberat proses melakukan pendidikan kedokteran dan mensyaratkan agar pendidikan kedokteran harus langsung menjadi Fakultas Kedokteran dengan seluruh perlengkapan dan syaratnya. Hal ini merupakan prinsip dari penegakan mutu sejak dini.

Harapan saya:
Proses revisi UU Pendidikan Kedokteran diharapkan tidak mengurangi syarat untuk pelaksanaan pendidikan kedokteran di universitas. Pengurangan syarat akan otomatis menurunkan mutu pendidikan kedokteran.

Topik 1: Revisi UU perlu ada bukti pelaksanaan

Dokumen pernyataan mengenai Revisi UU Pendidikan Kedokteran (01 Maret 2018, halaman 1) menyatakan:
“Undang-undang adalah fondasi bagi perubahan mendasar bagi sebuah sistem dan kebijakan. Pada kenyataannya, Undang-Undang Pendidikan Kedokteran 2013 belum dapat menjawab persoalan mendasar dari kebutuhan pelayanan kedokteran, juga belum mampu menjawab tuntutan globalisasi di dunia kedokteran”.

Analisis saya:
Pernyataan di atas masih terlalu dini, mengingat masih ada pasal-pasal di UU Pendidikan Kedokteran yang belum berjalan efektif. Sebagai gambaran, pasal mengenai dokter layanan primer (disebutkan sebagai obyek revisi UU Pendidikan Kedokteran) belum pernah dijalankan karena mengalami berbagai masalah hukum, antara lain menjadi pokok sengketa dalam Yudisial Review di MK sampai dengan lambatnya Peraturan Pemerintah diterbitkan. Dengan demikian, revisi UU dalam hal topik dokter layanan primer perlu bukti untuk menentukan apakah pendidikan dokter layanan primer bertentangan dengan tujuan bangsa Indonesia.

Harapan saya:
Diperlukan 3 - 5 tahun ke depan untuk melaksanakan amanah UU Pendidikan Kedokteran dalam hal dokter layanan primer agar ada bukti empirik. Jika tidak ada bukti empirik, maka tidak ada perbedaan antara revisi UU dengan Isi Yudicial Review di MK . Sebagai catatan MK menolak YR yang diajukan oleh PDUI.