Rangkaian Seminar Residen

logo-residen

Seminar Reformasi Pendidikan
Residen Spesialis dan Subspesialis

 

Pertemuan 1

Yogyakarta - Kamis, 15 Oktober 2015 

tujuan-icon REPORTASE PERTEMUAN

Pada tahun 2015 ini, tidak ada perubahan signifikan pada FK yang bisa menyelenggarakan pendidikan spesilias dan subspesialis. Hal ini karena, menurut UU Pendidikan kedokteran yang diperbolehkan menyelenggarakan pendidikan speslialisasi adalah FK dengan akreditasi A.

Dengan melihat kenyataan yang ada saat ini, situasi pendidikan dokter spesialis dan sub spesialis menjadi salah satu faktor tidak tercapainya tujuan kebijakan JKN. Tentunya, diperlukan skenario untuk masa mendatang.

skenario-residen

Skenario terburuk yang mungkin terjadi dengan gambaran di atas adalah :

  1. kesenjangan antar daerah semakin meningkat
  2. kebijakan RS Rujukan Nasional, Propinsi dan Regional akan gagal. Selain itu, pasien juga gagal untuk ditangani di daerah masing – masing karena kekurangan tenaga spesialis dan peralatan medic. Pasien tentu akan mengunjungi lokasi maju seperti Jakarta dan hanya pasien berpenghasilan tinggi yang dapat dirujuk.
  3. Meningkatkan jumlah pasien di daerah maju akan semakin sulit diatasi serta membutuhkan waktu yang lama. Pasien – pasien yang membutuhkan pelayanan primer dan tertier bahkan mampu ke luar negeri.
  4. Hal ini menyebabkan mutu pelayanan dalam negeri akan memburuk, terutama dalam penyediaan teamwork yang baik.

Melihat skema di atas, diperlukan strategi untuk mencegah terjadinya skenario buruk. Strategi yang mungkin bisa dilakukan adalah :

  1. penambahan RS dan fasilitas kesehatan
  2. perbaikan jumlah dan distribusi spesialis dan sub spesialis

Dengan demikian, diperlukan strategi integrasi pendidikan spesialis menjadi bagian dari system pelayanan kesehatan. Selama ini tidak ada hubungan antara tempat pendidikan spesialis dan sub spesialis dengan perkembangan pelayanan kesehatan. Integrasi inilah yang diperlukan untuk mencapai koordinasi yang mulus dan dekat antara berbagai kelompok organisasi dan sestem. Integrasi ke dua system ini mencakup, antara lain :

  1. pemahaman akan nilai – nilai dan prinsip yang melandasi pendidikan spesialis dan sub spesialis dalam hubungannya dengan pelayanan kesehatan; → residen dan fellow bukan mahasiswa biasa. Berdasarkan UU Pendidikan Kedokteran No. 20 tahun 2013, mahasiswa pendidikan spesialis dan sub spesialis harus sebagai bukan mahasiswa biasa. Mereka berhak mempunyai hak termasuk insentif dan kewajiban sebagai seorang pekerja.
  2. perencanaan bersama termasuk perencanaan keuangan → residen perlu diberi clinical priviledge sesuai dengan kompetensi mereka yang sudah ditentukan oleh Pengelola Program Studi spesialis dan sub spesialis berdasarkan jenjang proses pendidikan. Residen diberi insentif dengan mekanisme gajian sesuai dengan kompetensinya sehingga perlu ada kontrak dan kejelasan stasus DPJP perorangan berdasarkan kompetensi dan profesionalisme.
  3. pelaksanaan → residen dan fellow harus menjadi bagian tidak terpisahkan dari SDM Kesehatan yang bekerja di RS. Saat ini yang terjadi adalah residen masuk ke RS Pendidikan Utama tidak berdasarkan kebutuhan pelayanan kesehatan. Seharusnya residen masuk ke RS Pendidikan Utama dan Jaringan berdasarkan kebutuhan pelayanan kesehatan.
  4. Integrasi dalam penggunaan dana BPJS Kesehatan → diperlukan aturan yang jelas antara hubungan BPJS Kesehatan dengan residen. Dana klaim INA CBGs harus diatur sehingga sebagian dapat dipergunakan untuk membayar para residen dan fellow di RS Pendidikan dan RS Jaringan Pendidikan. Residen perlu masuk sebagai bagian dari pembayaran untuk tenaga kesehatan.

Oleh karena itu, diperlukan reformasi yang mencakup :

  1. penguatan lembaga pendidikan spesialis dan sub spesialis
  2. penambahan RS sebagai tempat pendidikan
  3. Dukungan dari Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi untuk jaringan telekomunikasi dan telematika.

Tentunya visi ini hanya akan bisa tercapai apabila dilakukan oleh para pimpinan FK dan Direksi RS Pendidikan Utama dan Jaringan, Kaprodi – kaprodi, Kolegium serta pejabat di Kementerian terkait yang reformis dan visioner.

agenda AGENDA PERTEMUAN

Waktu

Kegiatan

14.30 – 15.00 WIB

Presentasi :

Visi dan Misi Pendidikan Residen (PPDS1 dan PPDS2) di masa mendatang;

Pembicara: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D

pdf-icon-kecil Materi    pdf-icon-kecil Video

Berbagai hambatan yang dapat menggagalkan tercapainya visi dan misi tersebut;

Pembicara: dr. Ova Emilia, Sp.OG, M.Med.Ed, Ph.D

pdf-icon-kecil Video

Perubahan Kultural, manajemen perubahan dalam konteks reformasi dan skenarion perubahan.

Moderator:

Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes.

15.00 – 15.30

Diskusi dan Tanya Jawab

pdf-icon-kecil Video

15.30

Penutup

 

resume-icon KESIMPULAN

Pertemuan di UGM ini merupakan pertemuan internal. Kita kekurangan subspesialis, dan pendidikan residen harus dikelola mumpung pejabat kementerian pendidikan tinggi baru, Kita akan masuk ke berbagai pihak untuk melakukan reformasi ini. Tentunya pertemuan – pertemuan ke depan adalah menjaring masukan – masukan yang lebih banyak untuk memberikan rekomendasi yang kuat ke pada tingkat pusat.

 

 

Reportase Diskusi: Reformasi Pendidikan Spesialis & Subspesialis (Malang)

logo-residen

Hasil Diskusi
Seminar Reformasi Pendidikan Residen

Hotel Regency Park - Malang, 31 Oktober 2015

 

pembicara-pembahas2

tujuan-icon TUJUAN PERTEMUAN

Fakta menunjukkan bahwa jumlah spesialis dan sub-spesialis masih kurang dan belum terdistribusi dengan baik. Situasi ini dapat menghambat tercapainya tujuan kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional khususnya dalam indikator pemerataan. Di samping itu ada kecenderungan pemisahan antara sistem pendidikan kedokteran dengan sistem pelayanan kesehatan. Diskusi ini berusaha menjawab pertanyaan penting:

  1. Bagaimana  respon lembaga dan unit-unit pendidikan spesialis dan subpesialis menghadapi kenyataan ini?
  2. Apakah pendidikan untuk spesialis dan sub-spesialis perlu melakukan reformasi? Bagaimana caranya?

agenda AGENDA PERTEMUAN

Waktu

Kegiatan

Pembicara / Pembahas

08.00 – 09.30 WIB

Registrasi dan Check Koneksi Webinar

 

09.30 – 09.35 WIB

Pembukaan

MC

09.35 – 09.40 WIB

Pengantar

Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D

09.40 – 10.00 WIB

Pembicara 1:

Topik:

Kebutuhan dan Penyebaran Spesialis serta Subspesialis di dan Situasi Pendidikan Kedokteran Spesialis dan Sub Spesialis di Indonesia

 

Pembicara:

Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes, Dipl PH

pdf-icon-kecil Materi

 

10.00 – 10.30

 

 

 

 

 

Pembicara 2:

Topik

Skenario di masa mendatang dan Visi Reformasi Pendidikan bagi Spesialis dan Sub Spesialis untuk peningkatan keadilan dan mutu pelayanan kesehatan

Pembicara:

Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D

pdf-icon-kecil Materi

Break

 

 

10.30  - 12.00

Para pembahas akan melakukan pembahasan sesuai dengan arahan dari moderator.

Pembahas :

  • Dr. dr. Sri Mulatsih, Sp.AK
    RSUP dr. Sardijto**)
  • dr. Sumariyono, SpKR
    R
    S Cipto Mangunkusumo**)
  • dr. Eko Ari Setijono M, Sp.S
    FK Universitas Brawijaya*)
  • Prof. Sardjono SpOG
    FK Universitas Islam Negeri*)
  • dr. Rahyussalim, SpOT(K)
    FK Universitas Indonesia**)

Moderator : dr. Heri Widyawati, M.Kes (DIKTI)

Catatan :

*) pembahas hadir langsung di Malang

**) pembahas mengikuti melalui webinar

10.40 – 12.00 WIB

Diskusi

 

12.00 – 13.00 WIB

Penutup dan Makan Siang

 

 

resume-icon KESIMPULAN

Kesimpulan yang diambil dari pertemuan:

  1. Para pembahas dan peserta menyatakan persetujuannya bahwa perlu ada Reformasi Pendidikan Spesialis dan Sub-spesialis terutama di era JKN saat ini.
  2. Residen dan fellow diharapkan menjadi tenaga kerja untuk memberi pelayanan dalam era JKN yang membutuhkan spesialis dan sub-spesialis;
  3. Kompetensi residen dan fellow menjadi hal penting untuk dipertimbangkan dalam pemberian hak (termasuk insentif sesuai UU Pendidikan Kedokteran) dan kewajiban sebagai pekerja yang masih harus belajar.
  4. Penerimaan Residen oleh Fakultas Kedokteran perlu dilakukan bersama dengan RS Pendidikan. Di samping itu, RS pendidikan diharapkan dapat merencanakan jumlah residen yang dibutuhkan untuk memberikan pelayanan.
  5. Menindaklanjuti diskusi mendatang, akan dibentuk Masyarakat Praktisi Reformasi Pendidikan Spesialis dan Sub-spesialis di yang membahas mengenai bagaimana reformasi ini akan berjalan.
  6. Selanjutnya akan dilakukan berbagai diskusi / kegiatan pada masa mendatang dalam di dalam Masyarakat Praktisi yang keterangannya dapat di klik disini

Hasil Diskusi Pertemuan Pertama Reformasi Pendidikan Residen

Hasil Diskusi Pertemuan Pertama

Reformasi Pendidikan Residen

Yogyakarta, 15 Oktober 2015

Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional sudah berjalan dua tahun sejak tahun 2014. Namun sepanjang perjalanan terdapat berbagai hal yang mengkhawatirkan dalam kebijakan JKN. Ada kemungkinan gagal mencapai tujuan karena masalah supply pelayanan kesehatan berdasarkan keadilan sosial yang diamanahkan oleh UU SJSN di tahun 2014. Ada dua faktor utama yang tidak pasti dalam skenario ini yaitu :

  1. ketersediaan fasilitas kesehatan,
  2. ketersediaan dokter, khususnya spesialis dan sub spesialis.

Dalam pelayanan kesehatan, terdapat kelebihan jumlah faskes dan SDM kesehatan di daerah tertentu, namun juga ada kekurangan di daerah tertentu. Diperlukan kebijakan dimana pendidikan klinis spesialis jangan disamakan seperti pendidikan S2 dan S3. Keadaan spesialis dan sub spesialis saat ini adalah sebagai berikut:

Jumlah dan Distribusi :

  1. Spesialis -> jumlah dinilai cukup, namun distribusi tidak merata
  2. Sub spesialis -> tidak ada data nasional yang jelas

Tempat pendidikan :

  1. Spesialis -> tidak ada penambahan FK dengan akreditasi A
  2. Sub spesialis ->  tidak ada data

Sejauh ini, kebijakan JKN tidak berdampak pada pengembangan spesialis dan subspesialis. Hal ini terjadi karena system pelayanan kesehatan masih terpisah dari system pendidikan kedokteran.

Bagaimana dengan perkembangan sejak tahun 2013?

Visi-residen-2015-Terbaru Page 05

Visi-residen-2015-Terbaru Page 06

Saat ini, data yang ada menunjukkan :

Visi-residen-2015-Terbaru Page 08

Visi-residen-2015-Terbaru Page 09

Visi-residen-2015-Terbaru Page 10

Di sisi lain, perkembangan FK yang ada di Indonesia, cukup stagnan dalam menyelenggarakan pendidikan spesialis.

Visi-residen-2015-Terbaru Page 12

Pada tahun 2015 ini, tidak ada perubahan signifikan pada FK yang bisa menyelenggarakan pendidikan spesilias dan subspesialis. Hal ini karena, menurut UU Pendidikan kedokteran yang diperbolehkan menyelenggarakan pendidikan speslialisasi adalah FK dengan akreditasi A.

Dengan melihat kenyataan yang ada saat ini, situasi pendidikan dokter spesialis dan sub spesialis menjadi salah satu faktor tidak tercapainya tujuan kebijakan JKN. Tentunya, diperlukan skenario untuk masa mendatang.

skenario

Skenario terburuk yang mungkin terjadi dengan gambaran di atas adalah :

  1. kesenjangan antar daerah semakin meningkat
  2. kebijakan RS Rujukan Nasional, Propinsi dan Regional akan gagal. Selain itu, pasien juga gagal untuk ditangani di daerah masing – masing karena kekurangan tenaga spesialis dan peralatan medic. Pasien tentu akan mengunjungi lokasi maju seperti Jakarta dan hanya pasien berpenghasilan tinggi yang dapat dirujuk.
  3. Meningkatkan jumlah pasien di daerah maju akan semakin sulit diatasi serta membutuhkan waktu yang lama. Pasien – pasien yang membutuhkan pelayanan primer dan tertier bahkan mampu ke luar negeri.
  4. Hal ini menyebabkan mutu pelayanan dalam negeri akan memburuk, terutama dalam penyediaan teamwork yang baik.

Melihat skema di atas, diperlukan strategi untuk mencegah terjadinya skenario buruk. Strategi yang mungkin bisa dilakukan adalah :

  1. penambahan RS dan fasilitas kesehatan
  2. perbaikan jumlah dan distribusi spesialis dan sub spesialis

Dengan demikian, diperlukan strategi integrasi pendidikan spesialis menjadi bagian dari system pelayanan kesehatan. Selama ini tidak ada hubungan antara tempat pendidikan spesialis dan sub spesialis dengan perkembangan pelayanan kesehatan. Integrasi inilah yang diperlukan untuk mencapai koordinasi yang mulus dan dekat antara berbagai kelompok organisasi dan sestem. Integrasi ke dua system ini mencakup, antara lain :

  1. pemahaman akan nilai – nilai dan prinsip yang melandasi pendidikan spesialis dan sub spesialis dalam hubungannya dengan pelayanan kesehatan; à residen dan fellow bukan mahasiswa biasa. Berdasarkan UU Pendidikan Kedokteran No. 20 tahun 2013, mahasiswa pendidikan spesialis dan sub spesialis harus sebagai bukan mahasiswa biasa. Mereka berhak mempunyai hak termasuk insentif dan kewajiban sebagai seorang pekerja.
  2. perencanaan bersama termasuk perencanaan keuangan à residen perlu diberi clinical priviledge sesuai dengan kompetensi mereka yang sudah ditentukan oleh Pengelola Program Studi spesialis dan sub spesialis berdasarkan jenjang proses pendidikan. Residen diberi insentif dengan mekanisme gajian sesuai dengan kompetensinya sehingga perlu ada kontrak dan kejelasan stasus DPJP perorangan berdasarkan kompetensi dan profesionalisme.
  3. pelaksanaan à residen dan fellow harus menjadi bagian tidak terpisahkan dari SDM Kesehatan yang bekerja di RS. Saat ini yang terjadi adalah residen masuk ke RS Pendidikan Utama tidak berdasarkan kebutuhan pelayanan kesehatan. Seharusnya residen masuk ke RS Pendidikan Utama dan Jaringan berdasarkan kebutuhan pelayanan kesehatan.
  4. Integrasi dalam penggunaan dana BPJS Kesehatan à diperlukan aturan yang jelas antara hubungan BPJS Kesehatan dengan residen. Dana klaim INA CBGs harus diatur sehingga sebagian dapat dipergunakan untuk membayar para residen dan fellow di RS Pendidikan dan RS Jaringan Pendidikan. Residen perlu masuk sebagai bagian dari pembayaran untuk tenaga kesehatan.

Hal ini dilihat kembali pada profesi kedokteran yang merupakan profesi kesejahteraan dasar dan wajib bagi pemerintah, bukan tanggungjawab satu stakeholder semata. Konsep kawalan pemerintah harus dari hulu – hilir, mulai dari seleksi dimana keperluan dibuka lebih banyak atau tidak FK di suatu daerah didasarkan pada kebutuhan di daerah tersebut.

Dari diskusi AIPKI, memang ada salah satu pokja yang membahas pendidikan dokter spesialis, dan tidak bisa memisahkan dokter dengan dokter spesialis karena merupakan continuum.

Di sisi lain, keingingan untuk membuka FK dengan pendidikan spesialis itu sudah banyak. Namun, sekarang pemerintah sangat selektif. Dengan 74 FK yang ada saat ini, masih banyak yang bermasalah dalam arti kualitas pendidikan tersebut. Universitas dan pemerintah bersama – sama perlu meningkatkan menyelesaikan permasalahan di univ seperti ijin dibekukan, dan lainnya. Untuk problem di hilir, jangan hanya melihat jumlah tapi juga distribusinya, mulai dari monitoring dan evaluasi.

Berkaitan dengan MEA, bagaimana menyikapi pendidikan spesialis dan sub spesialis dan mencukupi kebutuhan di 34 propinsi yang sangat bervariasi. Di dalam pertemuan AIPKI kita menterjemahkan UU Dikdok, dan menyetujui model pengampuan, misal FK yang akreditasi B, menjadi wahana dan mendapatkan pengampuan dari yang sudah terakreditasi A, untuk mendorong jumlah yang bisa direkrut agar tumbuh center - center yang baru.

Kemudian kita perlu berhati – hati dalam meningkatkan proses integrasi yang diusulkan tadi. Melakukan pemetaan kebutuhan, dikirim sebagai pembelajaran sekaligus meningkatkan pelayanan di RS. Peran sebagai teamwork harus ditekankan, residen tidak bekerja sendiri, harus dalam bentuk tim, mulai dari perawat atau bidan, sehingga jelas kompetensi dan kewenangannya.

Sebetulnya dalam UU kita sudah menjelaskan mengenai kompetensi dan bisa diklasifikasi menjadi reward yang bisa diuangkan. Belum ada aturan yagn eksplisit ttg aturan tersebut, walaupun di Kementerian Kesehatan ada remunerasi by name. atau usulannya adalah renumerasi by team, sehingga indikatornya adalah team work. Gagasan - gagasan tersebut bukan hal yang muskil, oleh karena itu kita perlu duduk bersama agar pendidikan itu bisa berjalan dengan baik dan sesuai kebutuhan.

Oleh karena itu, diperlukan reformasi yang mencakup :

  1. penguatan lembaga pendidikan spesialis dan sub spesialis
  2. penambahan RS sebagai tempat pendidikan
  3. Dukungan dari Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi untuk jaringan telekomunikasi dan telematika.

Tentunya visi ini hanya akan bisa tercapai apabila dilakukan oleh para pimpinan FK dan Direksi RS Pendidikan Utama dan Jaringan, Kaprodi – kaprodi, Kolegium serta pejabat di Kementerian terkait yang reformis dan visioner.

Pertemuan di UGM ini merupakan pertemuan internal. Kita kekurangan subspesialis, dan pendidikan residen harus dikelola mumpung pejabat kementerian pendidikan tinggi baru, Kita akan masuk ke berbagai pihak untuk melakukan reformasi ini. Tentunya pertemuan – pertemuan ke depan adalah menjaring masukan – masukan yang lebih banyak untuk memberikan rekomendasi yang kuat ke pada tingkat pusat.

Sesi 4 ASM Hari 1

Sesi 4. Strategi implementasi:Pengembangan Unit Pengiriman Residen di RS Pendidikan/FK, Prof. dr. Laksono Trisnantoro MSc PhD


Sesi ini disampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc PhD dengan moderatordr. Andreasta Meliala, MKes. Kesimpulan dalam seminar hari ini yaitu, residen dibutuhkan untuk penyeimbangan tenaga kesehatan. Kemudian, pertanyaan kritisnya yaitu: Bagaimana kebutuhan nakes dapat dipenuhi dan berjalan? Perlu dilakukan pendekatan berbasis demand dan supply?

Demand: bukan hanya pengiriman akan tetapi juga ada kerja tim, dan ada spesifikasi kontrak jelas serta ada dana supervisi. Pemerintah pusat bisa membiayai daerah dengan fiskal rendah atau bisa dana berasal dari donor atau BPJS. Sedangkan untuk daerah dengan kemampuan fiskal tinggi antara lain, Riau, Jakarta, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Bali dan Bangka Belitung, diberikan kewenangan terkait demand ini.

Supply salah satunya ialah adanya unit pengiriman residen di RS Pendidikan dan FK atau lembaga swasta. Supplier-nya harus memiliki tenaga yang handal, memiliki aturan hukum yang jelas, dan sebagainya.

Hanya DKI dan DIY yang tidak mengajukan permohonan penambahan residen. Jika melihat hal tersebut, maka demand-nya sangat banyak. Maka, kita harus memetakan lagi wilayah persebaran residen, misalnya di NTT, NTB dan daerah lain. Maka, komitmen harus dibentuk kembali. RSD Sanglah sudah oke dalam komitmen ini, namun RSD Sanglah belum memiliki unit pengiriman residen ini.

Pengalaman di RSCM, jika menilik program residen, maka pelayanan kesehatan di daerah rural dianggap sebagai kebutuhan bukan kewajiban. Prinsip barat ke timur dan sebaliknya, kontribusi akan lebih banyak.

dr. Andre, Unit RS bisa diintegrasikan untuk penempatan residen sehingga pelayanan sustain dan pelayanan berganti-ganti.

Dr. Kirana menambahkan darimana dana untuk visitasi residen, apakah dari dana pendidikan atau dari dana lain? PPSDM sudah melakukan kontrak FK-FKG sesuai tarif pendidikan masing-masing. Tarif ini harus sesuai dengan SK Rektor.

dr. Supomo menyampaikan dana untuk visitasi residen ke daerah berasal dari pengelola, RKAT Fakultas dari Prodi KPS atau dana penunjang, dengan dana itu cukup dan residen merasa sangat didukung FK.

Prof. Laksono menambahkan banyak yang mempertanyakan bagaimana jika penugasan residen ini dibuat satu paket dan satu tim, jadi lengkap dari obsgyn, anestesi dan lain-lain?

Dr. Kirana menjelaskan bahwa PPDS periode 2009-2014 dan sesuai RPJMN akan ditutup pada Oktober 2014, minimum 2018/2018 harus ada anggaran untuk PPDS. Sejauh ini Kemenkes masih menganggarkan. Ada pula perubahan unit cost-transport untuk penugasan khusus, riset dan lain-lain.  Dana yang sifatnya koordinatif yaitu ada forum FK, FKG dan Dinkes misalnya Natuna dan UI, sangat mungkin diformalkan kerjasamanya. Mana yang menjadi prioritas, bagaimana MoU-nya, tingkat kelulusan seleksi akademik PPDS rendah, kami kembangkan e-laerning. Selain itu,  Kemkes juga mengadakan registrasi online. Baru dua kali rekuitmen dan ada heregistrasi. Namun, sayangnya Ropeg masih individual karena tidak dimulai dalam tim dari awal.

Perwakilan dari RSU Dr.  Syaiful Anwar, menyampaikan berapa jumlah spesialis yang dibutuhkan. Distribusi akan mudah jika ada program yang mendorong pemerataan. Bagaimana perencanaannya, siapa yang dididik? Kita pilih dokter yang mau dididik dan ditempatkan di daerah, dan pemandu tetap di kolegium.

Perwakilan dari RS Dr. Sutomo, saat ini kami masih bergerak sendiri-sendiri. Namun sejak kami bergabung lima tahun dalam sister hospital dan gabung menjadi satu tim. Program ini sebaiknya kontinyu sehingga tidak terputus. Kurikulum anestesi-pengiriman anestesi sudah masuk ke kurikulum akan tetap prodi yang lain belum didesain.

RSD Dr Moewardi, Solo, kami tertarik untuk menjadi suppliers dalam penugasan residen ini.

Kesimpulannya ialah untuk agenda esok, lebih mengkonkritkan-RS dan FK.  Ada kelompok yang menerima daerah tertentu (FK-nya). Contoh di Thailand: ada medical tourism dimana RS di Bangkok memanggil dokternya untuk menangani ini.  Harus banyak perhitungan mendetail untuk persebaran dokter spesialis dan masa depannya. Esok: bagaimana dukungan pada unit pengiriman residen ini ?

Sesi 2 ASM Hari 1

Sesi 2. Perlindungan hukum bagi residen dan residen sebagai Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP)

 


Sesi ini dimoderatori oleh Dr.dr.Sri Mulatsih SpA(K) dari RSUP Dr. Sardjito. Panelis pertama ialah Prof. Dr. dr. Herkutanto, Sp.F, SH, LL.M – Ketua Komite Keselamatan Pasien. Prof Herkutanto menyampaikan ‘Perlindungan Hukum bagi Residen dan residen sebagai Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP): Pembahasan dari aspek Keselamatan Pasien. Mana yang lebih penting? Access to healthcare vs quality of heathcare.

 

Mutu bukan sekedar kenyamanan, apakah ketika pembiayaan meningkat, mutu meningkat? Proteksi residen dari tindakan hukum dan proteksi masyarakat, mana yang lebih penting? Pendidikan kedokteran salah satu prinsipnya adalah apprenticeship (Magang) dimana hal tersebut sudah berlangsung sejak lama. Dan yang diajarkan tidak hanya aspek kognitif saja tetapi juga aspek afektif-nya. Afektif disini termasuk dalam hal etika terutama pinsip maleficence dan autonomy. Hal inilah yang dibahas terkait residen sebagai DPJP dengan patient safety sebagai pusatnya.

Karakteristik DPJP (dari aspek etik) yang harus dipenuhi, antara lain; setiap pasien harus ada DPJP-nya, DPJP pembuat keputusan medis, jika kasus merupakan kasus yang kompleks harus ada 1 DPJP yang menjadi leadernya dan DPJP adalah dokter yang paling kompeten dalam RS tersebut. UU Praktik Kedokteran Pasal 50 Hak dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktek kedokteran: memperoleh perlindungan hukum sepanjang melakukan tindakan sesuai standar operasional prosedur. UU RS Pasal 29: Masyarakat diproteksi dari dokter yang tidak kompeten. Bentuk proteksi pasien: hanya yang benar-benar kompeten yang diberikan clinical privilege di RS dan perkuat komite medisnya. Di sinilah harus ada sistem penapisan yang baik yang mampu memastikan bahwa residen yang akan dikirim dan menjadi DPJP ini sudah lengkap secara legal-administratif dan secara tingkat kompetensi.

Setting RS Pendidikan utama pasti mewakili dokter spesialis dan pendidikan terjadi saat dokter memberikan pelayanan. Sementara, setting RS Jejaring ialah tidak memiliki dokter spesialis dan pendidikan terjadi saat PPDS memberikan pelayanan.

Kesimpulan yang dapat diambil diantaranya residen sebagai DPJP patut didukung. Namun harus menempatkan patient safety sebagai pusatnya. Prinsip tak ada rotan akar berguna tidak sesuai di tataran sekunder. Proteksi terhadap pasien hanya dapat terjadi jika RS mempunyai sistem penapisan yang baik dalam penerimaan residen.

Perlindungan Hukum bagi Residen dan Residen sebagai Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP): Pembahasan dari Aspek Hukum. Panleis yang kedua ialah Rimawati, M. Hum dari Fakultas Hukum UGM.

Residen memiliki legal standing sesuai Pasal 19 (2) UU No. 20 Tahun 2013 tentang Dikdok dan PMK No. 2052 Tahun 2011.

Asas lex spesialis dan lex generalist: aspek khusus mengesampingkAn umum Permenkes 252 tahun 2009: Pasal 23, nakes dan residen sepanjang memiliki ijin praktek dan masih mahasiswa, UU 22 Tahun 2004 wajib memiliki SIP untuk dokter dan dokter gigi. Demi keselamatan pasien, dokter bisa melanggar hukum-dokter Ayu-perdata-pidana-administrasi. Sepanjang residen masih memiliki ijin, SIP bisa diberikan oleh Kadinkes lokasi residen mengabdi.

Dokter pendidik klinis bertanggung jawab pada peserta didiknya. Kewenangan bisa diperoleh dengan beberapa cara: pertama, kewenangan atributif: ada pemberian wewenang, bisa dilakukan pejabat yang menerima kewenangan. Atributif tidak bersifat distribusi kewenangan. Delegasi: bersifat dari pejabat lama ke pejabat baru dan bisa menghapus pemberi delegasi. Sementara, mandat bersifat penugasan. Hal ini perlu diatur melalui Permenkes yang lebih spesifik.

Ciri pendelegasian meliputi: sudah dikuasai si penerima wewenang, tetap di bawah pengawasan pemberi pelimpahan, tetap bertanggung jawab sepanjang sesuai yang diberikan, residen berdasarkan kompetensinya, tindakan yang dilimpahkan tidak termasuk dalam tindakan klinis dan tindakan tidak berlangsung terus-menerus. Syarat subjektif yang harus ada yaitu kesepakatan dari RS ke daerah tertentu. Syarat objektif yaitu ada hal yang diperkenankan dan sejalan dengah syarat hukum.

Perjanjian terapeutik (kesepakatan):

Seharusnya RS menanggung nakes yang bekerja jika ada kasus yang terjadi. Perlindungan hukum : nakes memiliki SIP dan STR (dokter). Jika terjadi kasus perdata, ditanggung bersama. Medis: masih terlindungi dari SIP dan STR tersebut.

Panelis ketiga memaparkan tentang‘Perlindungan Hukum bagi Residen dan Residen sebagai Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP): Pembahasan dari Aspek Pengawasan RS (Dr. Agung Sutiyoso-Perwakilan dari Kemkes untuk Badan Pengawas Rumah Sakit/BPRS).

BPRS ini merupakan tim yang terdiri atas lima elemen, yaitu dari Kemkes, perwakilan dari masyarakat, IDI, PPNI dan PERSI merupakan empat anggota lain yang tergabung dalam BPRS. UU tentang RS: pembina dan pengawas ialah pemerintah dan Pemda. Organisasi profesi, perumahsakitan dan ormas ke depannya dapat sebagai pengawas RS juga. Selama ini, aktivitas kami yaitu menyoroti audit medik dan teknis RS.

Secara eksternal, BPRS ada di pusat dan secara internal wajib dibentuk BPRS Daerah di tingkat provinsi. Aturannya, jika lebih dari 10 RS dalam satu provinsi, maka harus membentuk BPRSP. Selain BPRS ini, badan wajib yang harus dimiliki masing-masing RS ialah Dewan Pengawas RS.

Dasar BPRS yaitu UUD 45 terkait kesehatan yang merupakan hak masyarakat. Sementara, dalam akses dan pelayanannya, masyarakat bisa mengeluhkan layanan melalui media cetak dan elektronik. Hak dan perlindungan pasien, residen mendapat perlindungan hukum dalam berpraktik, DPJP sesuai kompetensi masing-masing, pembinaan dan pengawasan melalui stakeholder. Aspek lain yang harus diperhatikan ialah kesejahteraan dan keamanan residen. Kemudian, diikuti pemenuhan tenaga di daerah terpencil.

Diskusi:

Residen di RSUP Dr. Sardjito, menyatakan RSD belum tentu memiliki standar operasional prosedur-misalnya alat berbeda sehingga harus berimprovisasi. Ada mekanisme residen sebagai DPJP yang memiliki tanggung jawab secara hukum, apakah ada mekanisme kontrol? Pengawasan? Sehingga lebih terlindungi. Perlu visitasi berkala secara berkelanjutan.

Prof Herkutanto menjelaskan, STR khusus untuk RS diberikan oleh direktur jika residen ini sudah melalui tahap kredensialing terkait apa saja yang bisa dilakukan dan tidak bisa melakukan apa? Rimawati, menambahkan UU Praktek Kedokteran tidak perlu diubah. Jika kita cermati, dalam UU Dikdok jika ada pasal yang diubah, butuh waktu yang lama. Kita gunakan lex spesialist yaitu pasal 19 ayat 1 UU Praktik Kedokteran, tinggal di-follow up dengan Permenkesnya. FK bisa memberikan sertifikat kompetensi untuk melindungi residen dan juga dari Dinkes, lalu diikuti hak khusus atau clinical priviledge.

Prof. Laksono menambahkan, residen harus yang sudah memiliki kompetensi jika akan dijadikan DPJP. Residen bukan siswa tapi pekerja khusus, bahkan di AS, residen digaji. Maka, kompetensinya harus baik dan teruji.

Kesimpulannya,saat akan diberikan clinical priviledge, semuanya harus jelas terkait aspek legal-administratif dan level kompetensinya. Dengan begitu proteksi untuk pasien dan residen akan berjalan.