Hasil Diskusi Pertemuan Pertama

Reformasi Pendidikan Residen

Yogyakarta, 15 Oktober 2015

Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional sudah berjalan dua tahun sejak tahun 2014. Namun sepanjang perjalanan terdapat berbagai hal yang mengkhawatirkan dalam kebijakan JKN. Ada kemungkinan gagal mencapai tujuan karena masalah supply pelayanan kesehatan berdasarkan keadilan sosial yang diamanahkan oleh UU SJSN di tahun 2014. Ada dua faktor utama yang tidak pasti dalam skenario ini yaitu :

  1. ketersediaan fasilitas kesehatan,
  2. ketersediaan dokter, khususnya spesialis dan sub spesialis.

Dalam pelayanan kesehatan, terdapat kelebihan jumlah faskes dan SDM kesehatan di daerah tertentu, namun juga ada kekurangan di daerah tertentu. Diperlukan kebijakan dimana pendidikan klinis spesialis jangan disamakan seperti pendidikan S2 dan S3. Keadaan spesialis dan sub spesialis saat ini adalah sebagai berikut:

Jumlah dan Distribusi :

  1. Spesialis -> jumlah dinilai cukup, namun distribusi tidak merata
  2. Sub spesialis -> tidak ada data nasional yang jelas

Tempat pendidikan :

  1. Spesialis -> tidak ada penambahan FK dengan akreditasi A
  2. Sub spesialis ->  tidak ada data

Sejauh ini, kebijakan JKN tidak berdampak pada pengembangan spesialis dan subspesialis. Hal ini terjadi karena system pelayanan kesehatan masih terpisah dari system pendidikan kedokteran.

Bagaimana dengan perkembangan sejak tahun 2013?

Visi-residen-2015-Terbaru Page 05

Visi-residen-2015-Terbaru Page 06

Saat ini, data yang ada menunjukkan :

Visi-residen-2015-Terbaru Page 08

Visi-residen-2015-Terbaru Page 09

Visi-residen-2015-Terbaru Page 10

Di sisi lain, perkembangan FK yang ada di Indonesia, cukup stagnan dalam menyelenggarakan pendidikan spesialis.

Visi-residen-2015-Terbaru Page 12

Pada tahun 2015 ini, tidak ada perubahan signifikan pada FK yang bisa menyelenggarakan pendidikan spesilias dan subspesialis. Hal ini karena, menurut UU Pendidikan kedokteran yang diperbolehkan menyelenggarakan pendidikan speslialisasi adalah FK dengan akreditasi A.

Dengan melihat kenyataan yang ada saat ini, situasi pendidikan dokter spesialis dan sub spesialis menjadi salah satu faktor tidak tercapainya tujuan kebijakan JKN. Tentunya, diperlukan skenario untuk masa mendatang.

skenario

Skenario terburuk yang mungkin terjadi dengan gambaran di atas adalah :

  1. kesenjangan antar daerah semakin meningkat
  2. kebijakan RS Rujukan Nasional, Propinsi dan Regional akan gagal. Selain itu, pasien juga gagal untuk ditangani di daerah masing – masing karena kekurangan tenaga spesialis dan peralatan medic. Pasien tentu akan mengunjungi lokasi maju seperti Jakarta dan hanya pasien berpenghasilan tinggi yang dapat dirujuk.
  3. Meningkatkan jumlah pasien di daerah maju akan semakin sulit diatasi serta membutuhkan waktu yang lama. Pasien – pasien yang membutuhkan pelayanan primer dan tertier bahkan mampu ke luar negeri.
  4. Hal ini menyebabkan mutu pelayanan dalam negeri akan memburuk, terutama dalam penyediaan teamwork yang baik.

Melihat skema di atas, diperlukan strategi untuk mencegah terjadinya skenario buruk. Strategi yang mungkin bisa dilakukan adalah :

  1. penambahan RS dan fasilitas kesehatan
  2. perbaikan jumlah dan distribusi spesialis dan sub spesialis

Dengan demikian, diperlukan strategi integrasi pendidikan spesialis menjadi bagian dari system pelayanan kesehatan. Selama ini tidak ada hubungan antara tempat pendidikan spesialis dan sub spesialis dengan perkembangan pelayanan kesehatan. Integrasi inilah yang diperlukan untuk mencapai koordinasi yang mulus dan dekat antara berbagai kelompok organisasi dan sestem. Integrasi ke dua system ini mencakup, antara lain :

  1. pemahaman akan nilai – nilai dan prinsip yang melandasi pendidikan spesialis dan sub spesialis dalam hubungannya dengan pelayanan kesehatan; à residen dan fellow bukan mahasiswa biasa. Berdasarkan UU Pendidikan Kedokteran No. 20 tahun 2013, mahasiswa pendidikan spesialis dan sub spesialis harus sebagai bukan mahasiswa biasa. Mereka berhak mempunyai hak termasuk insentif dan kewajiban sebagai seorang pekerja.
  2. perencanaan bersama termasuk perencanaan keuangan à residen perlu diberi clinical priviledge sesuai dengan kompetensi mereka yang sudah ditentukan oleh Pengelola Program Studi spesialis dan sub spesialis berdasarkan jenjang proses pendidikan. Residen diberi insentif dengan mekanisme gajian sesuai dengan kompetensinya sehingga perlu ada kontrak dan kejelasan stasus DPJP perorangan berdasarkan kompetensi dan profesionalisme.
  3. pelaksanaan à residen dan fellow harus menjadi bagian tidak terpisahkan dari SDM Kesehatan yang bekerja di RS. Saat ini yang terjadi adalah residen masuk ke RS Pendidikan Utama tidak berdasarkan kebutuhan pelayanan kesehatan. Seharusnya residen masuk ke RS Pendidikan Utama dan Jaringan berdasarkan kebutuhan pelayanan kesehatan.
  4. Integrasi dalam penggunaan dana BPJS Kesehatan à diperlukan aturan yang jelas antara hubungan BPJS Kesehatan dengan residen. Dana klaim INA CBGs harus diatur sehingga sebagian dapat dipergunakan untuk membayar para residen dan fellow di RS Pendidikan dan RS Jaringan Pendidikan. Residen perlu masuk sebagai bagian dari pembayaran untuk tenaga kesehatan.

Hal ini dilihat kembali pada profesi kedokteran yang merupakan profesi kesejahteraan dasar dan wajib bagi pemerintah, bukan tanggungjawab satu stakeholder semata. Konsep kawalan pemerintah harus dari hulu – hilir, mulai dari seleksi dimana keperluan dibuka lebih banyak atau tidak FK di suatu daerah didasarkan pada kebutuhan di daerah tersebut.

Dari diskusi AIPKI, memang ada salah satu pokja yang membahas pendidikan dokter spesialis, dan tidak bisa memisahkan dokter dengan dokter spesialis karena merupakan continuum.

Di sisi lain, keingingan untuk membuka FK dengan pendidikan spesialis itu sudah banyak. Namun, sekarang pemerintah sangat selektif. Dengan 74 FK yang ada saat ini, masih banyak yang bermasalah dalam arti kualitas pendidikan tersebut. Universitas dan pemerintah bersama – sama perlu meningkatkan menyelesaikan permasalahan di univ seperti ijin dibekukan, dan lainnya. Untuk problem di hilir, jangan hanya melihat jumlah tapi juga distribusinya, mulai dari monitoring dan evaluasi.

Berkaitan dengan MEA, bagaimana menyikapi pendidikan spesialis dan sub spesialis dan mencukupi kebutuhan di 34 propinsi yang sangat bervariasi. Di dalam pertemuan AIPKI kita menterjemahkan UU Dikdok, dan menyetujui model pengampuan, misal FK yang akreditasi B, menjadi wahana dan mendapatkan pengampuan dari yang sudah terakreditasi A, untuk mendorong jumlah yang bisa direkrut agar tumbuh center - center yang baru.

Kemudian kita perlu berhati – hati dalam meningkatkan proses integrasi yang diusulkan tadi. Melakukan pemetaan kebutuhan, dikirim sebagai pembelajaran sekaligus meningkatkan pelayanan di RS. Peran sebagai teamwork harus ditekankan, residen tidak bekerja sendiri, harus dalam bentuk tim, mulai dari perawat atau bidan, sehingga jelas kompetensi dan kewenangannya.

Sebetulnya dalam UU kita sudah menjelaskan mengenai kompetensi dan bisa diklasifikasi menjadi reward yang bisa diuangkan. Belum ada aturan yagn eksplisit ttg aturan tersebut, walaupun di Kementerian Kesehatan ada remunerasi by name. atau usulannya adalah renumerasi by team, sehingga indikatornya adalah team work. Gagasan - gagasan tersebut bukan hal yang muskil, oleh karena itu kita perlu duduk bersama agar pendidikan itu bisa berjalan dengan baik dan sesuai kebutuhan.

Oleh karena itu, diperlukan reformasi yang mencakup :

  1. penguatan lembaga pendidikan spesialis dan sub spesialis
  2. penambahan RS sebagai tempat pendidikan
  3. Dukungan dari Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi untuk jaringan telekomunikasi dan telematika.

Tentunya visi ini hanya akan bisa tercapai apabila dilakukan oleh para pimpinan FK dan Direksi RS Pendidikan Utama dan Jaringan, Kaprodi – kaprodi, Kolegium serta pejabat di Kementerian terkait yang reformis dan visioner.

Pertemuan di UGM ini merupakan pertemuan internal. Kita kekurangan subspesialis, dan pendidikan residen harus dikelola mumpung pejabat kementerian pendidikan tinggi baru, Kita akan masuk ke berbagai pihak untuk melakukan reformasi ini. Tentunya pertemuan – pertemuan ke depan adalah menjaring masukan – masukan yang lebih banyak untuk memberikan rekomendasi yang kuat ke pada tingkat pusat.