Sesi 1: Workshop Pengembangan Dukungan untuk Tim Residen

sesi-1-7

Workshop Pengembangan Dukungan untuk Tim Residen oleh Unit Pengiriman Residen di RS Pendidikan/Fakultas Kedokteran telah diselenggarakan pada Jum’at (7/3/2014) Ruang Senat Lt. 2, Gedung KPTU Fakultas Kedokteran UGM. Acara diawali dengan review hasil Seminar Penggunaan Residen sebagai Tenaga Medik pada hari sebelumnya. Residen dibutuhkan-kekurangan residen di daerah statis, aspek patient safety harus diperhatikan dan pendayagunaan residen-harus ada penugasan residen khusus Penugasan khusus sesuai aturan hukum, yaitu Permenkes 9 Tahun 2013 dan Permenkes 53 tahun 2013. Namun, program ini memiliki beberapa kelemahan, diantaranya: tidak ada pembekalan, tidak ada dana visitasi konsulen, ditugaskan dalam tim dan tidak ada dana asessment awal. Dukungan sarana prasarana yang bisa diberikan: keamanan, insentif lebih banyak dibandingkan PNS biasa, peralatan medis yang lengkap, dan sebagainya. Review tersebut disampaikan oleh Dr. dr. Dwi Handono Sulistyo, Mkes. Dr. Dwi sekaligus sebagai moderator sesi 1 acara tersebut.

Materi pertama disampaikan oleh dr. Wiryawan Manusubroto, SpBS (K) dari Bedah Saraf FK UGM/RSUP dr. Sardjito. dr. Wiryawan memaparkan tentang ‘Program Pelayanan Bedah Saraf di Papua dan Papua Barat’. Hal yang masih menjadi masalah ialah SDM kesehatan yang terbatas, kebutuhan kesehatan dasar yang belum dipahami dengan baik oleh masyarakat dan belum tersedianya sumber daya penunjang.

Pengembangan penugasan residen meliputi dua aspek, yaitu bagaimana fungsi residen bedah syaraf sampai bisa digunakan dengan baik di RS Blok Dua Jayapura dan didukung unit pengiriman residen. Hal yang utama ialah bagaimana residen syaraf dari FK UGM berfungsi optimal di RSD Binaan. Grand design penugasan ini untuk pedoman umum yang bisa disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi. Kendala: birokrasi, politik, keamanan. Hal lain yang ditekankan ialah, “Cognitabmanu mella caltu”-belajar bedah demi masyarakat.

dr. Ishandono Dachlan, Sp.BP atau Team Leader Nias FK UGM sebagai panelis kedua menyampaikan tentang ‘Pengembangan Residen Multispesialis’. Wilayah yang didampingi FK UGM ialah Nias dan Nias Selatan. Gempa bumi tahun 2005, RSU Gunung Sitoli rusak parah. Badan rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh dan Nias mencanangkan program spesialisasi dokter di Nias melalui capacity building. Jadi, fokus yang dikejar ialah kesinambungan pelayanan kesehatan di Nias dan mengisi kekosongan tenaga medis disana.

Maka, tim dari FK UGM menyiapkan RS melalui penyusunan SOP medis untuk pelayanan medik spesialis residen. tim ini sampai berkoordinasi dan melakukan assesment-dengan menghadap ke bupati serta direktur RS. Nias merupakan daerah yang termasuk dalam daerah yang terpencil, perbatasan dan kepulauan. Sehingga, FK UGM dapat dengan jelas bekerjasama dengan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi, Pemda Nias dan FK UGM dalam penugasan tersebut (program percepatan pelayanan kesehatan).

            Tujuan program ini untuk penyusunan protap RS Gunung Sitoli, melakukan pelayanan medik spesialistis oleh supporting staff dan memberikan ketrampilan medis untuk nakes disana. Aktivitas pokok yang dilakukan ialah koordinasi dan assesment kebutuhan, pemberian pelayanan medis dan monev.

            Sehingga, proses administratifnya ialah SK dari Ropeg Kemenkes, surat kompetensi dari KPS, surat tugas dari Dekan dan Kadinkes kabupaten menerbitkan SIP. Hambatan dalam penugasan ini ialah, jarak, komitmen, kesinambungan, sarana prasarana dan dana. Training untuk residen dan perawat, yaitu kursus gawat darurat dan general emergency life support (GELS). Peluangnya ialah Kemenkes program percepatan pelayanan kesehatan, tri dharma perguruan tinggi, Pemda dan RSD yang terpanggil.

           Poin yang dapat ditarik ialah di Nias telah terjadi pola komprehensif: delapan residen yang dikirim ke Nias-subtitusi menunggu putra daerah disekolahkan. Ketika program sekolah selesai, residen dari UGM bisa digantikan. Saat ini, sudah ditangani putra daerah.

Diskusi:

           dr. Endro Basuki menanyakan, seminar ini sangat penting, pelayanan yang merata, model di Papua: banyak evaluasi. DPJP apakah boleh residen? Kekuatan hukumnya seperti apa? DPJP itu mendapat hak dan kewajibannya. Adakah aspek hukum yang aman dan sedikit memaksa? Jika tidak banyak bekerja, ketrampilan dan kompetensinya akan turun. Waktu itu residen bukan DPJP, hanya pelaksana. Namun, jika sekarang berangkat sebagai DPJP apakah sama?

Dr. Dwi mencoba menjawab, ada empat lapisan yang ada dasar hukumnya-STR, SIP Residen, surat KPS, clinical appointment dari Direktur RS. FK dan RS Pendidikan harus siap membantu dalam hal hukum untuk residen. menurut Prof, Herkutanto, ‘Jangan mengirimkan residen yang tidak kompeten.’ Karena dapat membahayakan pasien dan residen. Asuransi keselamatan dan asuransi personal, tambahan untuk dasar hukum residen dari dr. Wiryawan M.

dr. Ishandono menambahkan, DTPK wajib untuk PPDS bekerja enam bulan, yang tidak meneriima beasiswa hanya wajib bekerja tiga bulan. Apakah mereka memberi pelayanan? Atau juga dengan pendidikan? Jika hanya pelayanan, sayang waktunya. Maka, ada unsur pendidikan namun tetap ada pengawasan.

Pertanyaan dari perwakilan residen laki-laki:

           Jika saya menjadi DPJP, saya akan lebih mantap dan lebih dewasa. Karena disitu akan terlatih mentalnya dalam melayani masayarakat. Namun, kami perlu dibekali hukum karena ada administrasi yang melindungi kita. Secara psikis, kita akan lebih mantap karena hak dan kewajibannya melekat. Perwakilan residen perempuan menyatakan hal yang harus ditegaskan ialah harus ada kesiapan aspek hukumnya.

dr. Lusy dari RS Harapan Kita menanyakan, sister hospital yang kami lakukan bersama Unpad dan RSAB Herkit Kefamenanu (obsgyn dan anestesi, PPDS Obsgyn-konsultasi online-chatting, skype dengan yang terkait. PPDS sebagai DPJP? Jika ada konsultasi dengan yang lebih senior maka apa yang harus dilakukan?. Residen sebagai DPJP, kemampuan seorang dokter yang kemampuannya paling tinggi. Aspek huku, terlindungi dengan empat elemen. Jika dipermasalahkan pidana, jika tidak terbukti maka SP3-pengentian penyelidikan. SDM, fasilitas harus ada kontinuitasnya. Bantuan dari direktur RS harus baik.

Putu Eka Andayani, Mkes memberikan pengalamannya di Nias, tidak ada rekam medis yang lengkap, maka tidak akan ada di dalam sistem. Lalu tidak bisa diklaim. Maka, tidak bisa diklaim asuransi-Jamkes, Askes dan lain-lain. Banyak rekam medis yang tidak sesuai dengan perawat dan co-ass. Hal ini bisa merugikan perawat dan hal ini harus kita sadari bersama. Dari sisi manajemen RS, tenaga yang harus dikirim, harus terlatih. Catatan yang tidak lengkap dan data yang belum diolah maka harus ada SOP-nya.

           Poin berikutnya, harus residen yang kompeten yang dikirim, harus dicari pintu masuk yang sesuai.

           dr. Yuli dari AIPMNH menyampaikan program sister hospital tidak akan terputus, asal masuk skema pembiayaan Juli-Desember 2014.