Hits: 8219
Seminar Penggunaan Residen sebagai Tenaga Medik untuk Menyeimbangkan Tenaga kesehatan di Daerah Sulit dalam Era Jaminan Kesehatan Nasional

sesi1-ok

Pengantar dr. Andre

Jaminan Kesehatan Nasiona (JKN) yang sudah dimulai sejak 1 Januari 2014 bertujuan untuk mencapai universal coverage dalam pelayanan kesehatan. Salah satu aspek pentingnya adalah ketersediaan dokter dan dokter spesialis, yang di Indonesia masih menjadi permasalahan. Meskipun setiap tahun selalu ada perbaikan akan tetapi masih belum bisa memenuhi kebutuhan terutama untuk daerah-derah sulit dan terpencil. Jika dikelompokkan, wilayah Indonesia bisa dibagi menjadi tiga kelompok besar dalam hal ketersediaan dan kemungkinan intervensi yaitu daerah dengan jumlah yang diatas rata-rata (berlaku sistem pasar), daerah dengan distribusi yang bisa diintervensi dengan kebijakan-kebijakan, dan ada daerah dengan distribusi statis yang apapun intervensinya akan sulit untuk tercapai ketersediaanya. Daerah terakhir ini termasuk daerah terpencil dan kurang diminati.

Bicara tentang BPJS akan berkaitan erat dengan tingkat utilitas penggunaan dana tersebut. Semakin lengkap suatu daerah maka tingkat utilitasnya semakin tinggi dan sebaliknya. Utilitasi JKN ini sangat bergantung pada ketersediaan fasilitas dan SDM. Ini akan sangat menjadi pertimbangan untuk menentukan scenario selanjutnya dimana kita berharap tahun 2019, universal coverage ini bisa tercapai. Ada beberapa konsep yang sudah diterapkan di beberapa negara dan di Indonesia sendiri terkait pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan. Misalnya program flying doctor, mobile team, konsep redeployment dan special assignment. Di Indonesia sendiri sudah ada program beasiswa dokter spesialis (PPDSBK) dan sister hospital (redeployment berbasis rumah sakit)

Residen sebagai tenaga medik sudah beberapa tahun terakhir ini menjadi solusi pemenuhan kebutuhan tenaga dokter spesialis di daerah-daerah terpencil. Namun belum ada sistem yang jelas terutama terkait aspek kompetensi, aspek legal-administrasi, dan aspek profesional (dukungan fasilitas).  Masalah kemungkinan residen menjadi DPJP dan masalah insentif juga harus diatur dengan sistem yang jelas.

Sambutan Dekan

Penggunaan residen ini memang sejak dulu sudah kita lakukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan di daerah sulit. Namun memang belum ada konsep yang jelas baik terkait perlindungan hukum, konsep insentif dan lainnya. Kadang maksud baik kalau tanpa ada sistem yang mengaturnya justru bisa merugikan kita.

Paparan Dr. Kirana Pritasari, MQIH (Kepala Pustanserdik BPPSDM)

Sejak tahun 2008, Badan PPSDM sudah melaksanakan program bantuan beasiswa untuk dokter spesialis dan dokter gigi spesialis.  Hal ini diatur dalam Permenkes No.53 tahun 2013. Dan BPPDSM sudah membuat MoU dengan 14 FK dan 4 FKG terkait program ini. Program bantuan beasiswa ini juga diterapkan untuk tenaga kesehatan yang lain.

                Sejak tahun 2008 hingga 2013 ada 5153 bantuan pendidikan DSP/DGSP, terutama untuk spesialis yang sangat dibutuhkan dasar dan empat penunjang. Hingga tahun 2013 sudah ada 805 yang telah lulus, dan akan ada tambahan sejumlah 300-an yang akan segera lulus. Saat ini, Badan PPSDM sudah mulai antisipasi terkait bagaimana sistem penugasan tetapnya setelah mereka lulus, untuk menghindari maldistribusi.

Institusi pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan spesialis terutama untuk 4 besar dan 4 penunjang, akan sangat bisa untuk dilakukan pengiriman dalam tim. Mekanisme yang selama ini berjalan adalah data pemetaan dari PPSDM dikombinasi dengan permintaan dari daerah dan data residen dari FK yang telah memenuhi ketentuan penugasan khusus. Penugasan khusus ini juga ada hak dan kewajibannya termasuk insentif dan sarana pendukung lainnya serta kewajiban dalam pelayanan.

Sejak tahun 2012, program penugasan khusus ini dipegang oleh PPSDM.  Pelaksanaan penugasan khusus ini bersifat tim dengan distribusi yang bervariatif termasuk spesialisasinya. Tidak hanya untuk spesialisasi yang sangat dibutuhkan tetapi juga bidang-bidang lain jika ada yang mengajukan dan bersedia untuk penugasan khusus ini.

Dari hasi monitoring program ini, ada peningkatatan akses pelayanan di RS yang ada penugasan khusus, ada peningkatan jumlah pasien, menimbulkan motivasi RS Daerah untuk melengkapi sarana dan prasarana. Namun yang menjadi PR kita bersama bahwa kalau hanya enam bulan dan tidak ada kelanjutannya maka program yang sudah terintis akan berhenti.

Permasalahan yang muncul adalah belum adanya kesepakatan terkait waktu penugasan khusus (terkait dengan kompetensi), RS Daerah  menolak karena merasa residen yang dikirim belum memenuhi kompeteni yang diharapkan, beberapa jenis spesialisasi yang kurang dibutuhkan di daerah, belum ada pengaturan pemberian insentif dari daerah (karena bersifat tidak wajib dan berbeda-beda), komitmen pemda terkait pemenuhan sarana dan prasarana, keberadaan residen yang tidak berkelanjutan (penjadwalan), monitoring dan supervisi dari FK yang belum dilakukan di banyak pusat pendidikan, dan masalah koordinasi dalam penugasan antara pusat-propinsi-kabupaten.

Jadi jika disimpulkan, secara konsep pemanfaatan residen untuk memenuhi kekurangan tenaga medik di daerah sulit sudah ada. Namun masih perlu banyak perbaikan dalam hal manajemen pengorganisasiannya.

Dr Bambang Sardjono MPH (Staf Ahli Menkes Bidang Peningkatakan Kpasitas Kelembagaan dan Desentralisasi, Penanggunggung-jawab Safe Papua)

Jika membicarakan Papua, terutama permasalahan kesehatannya, saat ini ada beberapa isu penting di Papua, yaitu belum ditetapkannya Kadinkes Prov Papua sejak November 2013, Unit Percepatan Pembangunan Kesehatan Papua (UP2KP), UU No. 1/2001 tentang otonomi khusus (Otsus) Papua dinilai gagal dan adanya temuan BPK di Papua dan Papua Barat, belum jelasnya dana otsus untuk kesehatan (untuk provinsi 20%, kabupaten/kota 80%), masalah kemananan,adanya distrust terhadap tenaga kesehatan, dialog berbagai elemen masyarakat yang mempengaruhi situasi dan kondisi politik di Papua, dan akan adanya daerah otonom baru (DOB- diperkirakan akan ada lagi 30 kabupaten baru).

Di Papua, karena kurangnya SDM kesehatan, mengakibatkan banyak rumah sakit yang mangkrak dan tidak berjalan. Ilustrasi : Kab Pegunungan Arfak (Pap.Barat), pemekaran sejak November 2013 dengan jumlah populasi 33.000, 10 distrik, lima puskesmas, dua dokter umum, dan 28 tenaga kesehatan lainnya. Kabupaten tersebut ingin membangun RS? Apakah ini memungkinkan?.

Masalah yang muncul adalah adanya kecenderungan membangun RS, banyak puskesmas yang tidak ada dokter umumnya, merasa bukan orang Indonesia (karena merasa belum ada pelayanan kesehatan yang masuk di daerah-daerah), belum laiknya RS, ada beberapa kepala dinas kesehatan yang bukan orang kesehatan, dan antar daerah berlomba memikat dokter spesialis tanpa memikirkan sarana dan prasarana pendukungnya.

Saat ini yang sedang dilakukan adalah pengembangan rumah sakit di kabupaten-kabupaten pemekaran, termasuk  di dalamnya RS bergerak dan klinik pratama secara bertahap. Prioritas terutama terkait pelayanan kesehatan dasar. Rekomendasi kami adalah perlu dirumuskannya sistem kesehatan daerah yang baik, perlunya peningkatan kompetensi dan peranan gubernur dalam pengembangan pelayanan kesehatan ini.

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD

Judul: Penugasan residen melalui pendekatan tim di Nias dan NTT: Mengapa menjadi salah satu cara untuk menyeimbangkan jumlah dokter spesialis di Indonesia? Mengapa penting mengembangkan tenaga medik di daerah sulit.

Program sister hospital yang didanai oleh AusAid ini sudah berjalan hampir lima tahun di NTT. Dalam program ini, pengiriman residen  sudah dilakukan di 11 rumah sakit, dan banyak dokter yang dari NTT yang dibiayai untuk masuk PPDS.

Kita akan membandingkan kondisi NTT dengan DIY. Dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini ada potensi bahwa hanya daerah-daerah dengan fasilitas yang lengkap yang merasakan manfaat JKN melalui BPJS Kesehatan ini. Sedangkan daerah-daerah yang masih kurang fasilitasnya, tentu tingkat utilisasinya rendah.

Ada dua skenario jika melihat konsep JKN ini, yaitu

Skenario 1: optimis, sesuai dengan peta jalan yang disusun oleh pemerintah. Dimana kita berharap tahun 2019 semua daerah baik daerah kota maupun daerah terpencil akan bersama-sama mencapai UC.

Skenario 2: pesimis, ada kemungkinan untuk gagal, justru semakin lebar gap-nya karena adanya kegagalan pemenuhan SDM, fasilitas, pendanaan, dan risiko munculnya fraud. Jadi dana BPJS hanya dinikmati oleh daerah tertentu. Gap ini akan bisa semakin lebar jika tidak segera ditangani dan akibatnya Universal Coverage tak akan tercapai.

Jika kita bandingkan data-data yang ada terkait ketersediaan SDM dan sarana-prasarana antara NTT dan DIY, maka secara umum NTT masih jauh tertinggal.  Dampak langsung yang bisa kita lihat adalah bahwa NTT masuk regional V yang tidak mempunyai kemampuan pelayanan medik seperti di DIY. Dengan melihat kenyataan bahwa BPJS ini sifatnya “siapa cepat dapat siapa lengkap dapat”, maka kecenderungannya terjadi perbedaan yang besar dalam hal diagnosis dan prosedur yang berpengaruh pada jumlah klaim dan utilisasi, penerima manfaat pelayanan komprehensif dengan sistem JKN.

Bagaimana kedepannya? Hipotesis pelaksanaan JKN adalah adanya peningkatan jumlah fasilitas dan SDM secara merata. Hipotesis itu baru bisa terwujud jika ada investasi baik dari pemerintah ataupun swasta untuk mencapai pemerataan tersebut. Namun, ada kemungkinan bahwa investasi ini akan kembali terfokus pada daerah-daerah urban seperti DIY. Terutama untuk pihak-pihak swasta yang jelas arahnya adalah profit.

Ketidakpastian yang muncul adalah masyarakat di NTT tidak dapat menggunakan prosedur yang ada di INA-CBG terutama yang mahal-mahal, dana Kompensasi (UU SJSN pasal 23) belum jelas, portabilitas untuk masyarakat NTT yang menikmati pelayanan kesehatan di Jakarta (Jawa) adalah masyarakat NTT yang mempunyai kemampuan finansial.

Gap akan semakin lebar jika permasalahan dan tantangan tersebut tidak segera diatasi dengan kinvestasi-investasi. Jika kita bercerita tentang scenario terburuk maka yang terjadi adalah kegagalan investasi di NTT, peningkatan investasi pelayanan kesehatan di DIY, kegagalan distribusi dokter spesialis ke NTT, tidak terjadi kegotongroyongan (seperti yang diharapkan dalam JKN ini) dimana seharusnya orang kaya membantu orang miskin, pencegahan penyakit dan peningkatan gaya hidup gagal dijalankan).

Diskusi :

dr. Yuli (Kupang)

Terkait program sister hospital yang akan segera berakhir, bagaimana kelanjutan jika supporting (AusAid) ini berakhir? Karena program sister hospital ini sangat membantu di daerah kami di NTT.

dr.Supomo (tim pengelola PPDS UGM)

FK UGM ini sudah cukup maju, dimana kita mengirim secara kontinyu dan juga melakukan visitasi. Dari hasil pengamatan kami masyarakat disana hanya butuh pelayanan dasar dan spesialis dasar. Saran : dilengkapi sarana dan prasarana untuk pelayanan dasar dan spesialis dasar.

Dalam penugasan khusus residen harus benar-benar dipastikan terkait perlindungan hukum dan asuransi kesehatan. Selain itu juga masalah insentif terutama tentang jasa medis. Ada daerah yang memberikan jasa medis dan ada yang tidak sama sekali. Harus ada regulasi agar insentif ini bisa merata dan cukup.

Tanggapan

Dr. Kirana : secara teori perencanaan DIPA APBN ini mendukung, karena ada dana untuk DEKON KIA dan BUK. Namun harus ditentukan menu-nya apa, perlu dilakukan diskusi intensif untuk hal ini. Termasuk juga untuk program sister hospital, ada kemungkinan untuk dianggarkan dalam APBN.

Program visitasi ini sangat positif sekali. Namun belum semua FK melaksanakannya, umumnya hanya berpusat pada pelayanan saja, bukan untuk membantu mengembangkan rumah sakitnya, maka masih jauh dari konsep sister hospital.

Untuk masalah spesialisasi, saat ini memang masih berfokus pada pemenuhan kebetuhan dokter spesialis empat besar dan empat penunjang. Terkait STR-SIP untuk residen, saat ini masih dalam pembahasan.

Tambahan : Bu Wildan (biro kepegawaian Kemkes) menyatakan terkait penugasan khusus, pada awalnya hanya untuk daerah terpencil, DTPK, dan sebagainya, belum ada aturan tentang daerah yang kurang diminati dimana salah satu penyebabnya adalah insentif. Hal ini tidak bisa dipukul rata, karena ada daerah yang biaya hidupnya sangat mahal.  Ada kecenderungan mencari daerah dengan insentif yang tinggi, pusat juga tidak bisa memaksakan daerah untuk memberikan insentif yang memadai.

Harus tetap ada pendampingan dari FK, karena residen ini masih dalam tahap pendidikan. Dokter-dokter yang sudah selesai pendidikan spesialis, 60% yang berhasil dikembalikan ke daerahnya. Hal tersebut menjadi masalah sehingga saat ini kami akan bekerjasama dengan FK untuk sebelum diwisuda untuk melengkapi berkas pelaporan bagi residen tugas beelajar (tubel).

dr Bambang: Saat ini sedanga disusun terkait kewenangan rumah sakit termasuk didalamnya tentang pemberian jasa medik dan pembagiannya. Saat ini Kemkes total untuk perlindungan hukum. Perlu koordinasi terkait pengaturan jadwal secara bersama (perencanaan yang baik).

Prof Laksono: secara teoritis dana itu ada dan memungkinkan untuk digunakan. Bisa juga dipakai APBD, contohnya di Bajawa dimana exit-strategy-nya sudah benar. NTT ini termasuk daerah dengan kemampuan fiskal yang rendah. Apakah memungkinkan untuk mengumpulkan kepala dinas provinsi, terkait pemenuhan saran prasarana kesehatan ini. Hal ini tergantung kemampuan fiskal, misalnya Papua jika memangmampu untuk membangun RS kelas A, ya sebaiknya diakomodasi.

Dr. Makruf, residen orthopedic (Bangka)àpermasalahan pemerataan, dan sistem gaji di Indonesia. Jika dibiarkan maka dokter spesialis tidak akan ada di  daerah sulit, karena digaji PNS biasa dengan tambahan dari pasien. Dengan pengiriman residen mungkin belum cukup, harus melibatkan orang-orang asli daerah dan harus didukung, lebih dihargai dan dijamin terutama untuk daerah-daerah terpencil.

Kesimpulan : residen sangat diperlukan di lapangan di daerah sulit dan daerah kurang diminati, persoalan utama ada di manajemen seperti penyediaan sar-pras, pembiayaan, dan penjadwalan. Kemudian perlu adanya kepastian hukum. Bagaimana residen ini dihargai insentinya. Hal tersebut tentu bertujuan untuk mencapai UC, dan pemerataan utilitas BPJS.