Outlook Pendidikan Kedokteran Tahun 2015

Outlook Pendidikan Kedokteran Tahun 2015 :

Tantangan Internasional dan Rural dalam Penyediaan Tenaga Dokter

 

Tulisan ini memberikan gambaran outlook Pendidikan Kedokteran Tahun 2015. Outlook ini kami fokuskan pada tantangan menghadapi era globalisasi sektor jasa dan juga pemenuhan kebutuhan dokter di daerah terpencil.

Terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden RI untuk periode 2014-2019 menghadirkan suatu ideologi baru dalam bentuk Nawacita. Jika kita menilik Nawacita poin 3) Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan dan poin 6) Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, maka ada hal yang menarik yang dapat kita tarik kesimpulan dalam konteks pendidikan kedokteran.

Ada dua hal penting yang terlihat bertentangan: (1) Penguatan bangsa untuk menghadapi persaingan global dan (2) pemenuhan kebutuhan pembangunan daerah terpencil. Dua hal yang sangat sesuai dengan yang akan diulas dalam Outlook 2015 pendidikan tenaga kedokteran.

Tantangan di tahun 2015 dalam sektor kesehatan menjadi besar karena Indonesia memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Persaingan “jual-beli” jasa tenaga terampil menjadi topik utama dalam konteks ini. Migrasi tenaga kesehatan akan dibuka selebar-lebarnya. Jika kita tidak mau hanya menjadi penonton dalam era baru ini maka mau tidak mau pemerintah bekerjasama dengan stakeholder terkait harus bekerjasama untuk meningkatkan kualitas SDM Kesehatan Indonesia.

Namun tidak boleh diabaikan bahwa konteks Indonesia dan 2015 tidak hanya sekedar MEA saja. Banyak masyarakat di daerah pinggiran yang belum mendapatkan haknya dalam kesehatan. Sesuai dengan Nawacita (Poin 3), dalam upaya pemenuhan hak masyarakat maka perlu perhatian untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang adil dan paripurna di daerah-daerah terpencil. SDM Kesehatan yang dihasilkan harus juga berwawasan daerah dan mau mengabdi di daerah (atau mungkin lebih ekstrimnya pemerintah mempunyai strategi yang mampu “memaksa” untuk bekerja di daerah terpencil). Dengan demikian di sektor kesehatan ada 2 front ekstrim yang harus dihadapi yaitu: (1) menghadapi persaingan internasional; dan (2) memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di daerah terpencil. Penanganan 2 front ini tidaklah mudah.

Persaingan internasional

Persaingan tidak dapat lepas dari prediksi kebutuhan tenaga kesehatan di berbagai negara. Berikut ini adalah tabel estimasi kebutuhan tenaga kesehatan Indonesia dari luar negeri dengan sumber laporan Pemetaan Pekerja Terampil Indonesia dan Liberalisasi Jasa ASEAN, tahun 2013 (Kementerian Luar Negeri – ASC FISIP UI).

Tabel 1. Perkiraan Permintaan Tenaga Kesehatan Indonesia dari Luar Negeri

pk-1

Perawat menduduki peringkat pertama dalam tabel ini. Namun dalam konteks ini, mari kita lihat bahwa kebutuhan dokter spesialis dan sub-spesialis sangat tinggi bahkan di luar negeri. Hal yang patut dicermati, tren kebutuhan ini semakin lama semakin meningkat. Sementara, untuk dokter umum tidak terlalu tinggi. Jumlah 500 dapat dipenuhi oleh dua angkatan dalam satu FK akreditasi A, sedangkan Indonesia memiliki 75 fakultas kedokteran.

Pasar dokter spesialis dan dokter subspesialis-lah yang akan berkembang dalam era MEA ini. Jika Indonesia tidak menguatkan sektor ini maka dapat dipastikan bahwa kita akan menjadi penonton dalam hiruk-pikuk MEA 2015. Selain itu, upaya penguatan ini juga penting untuk pemenuhan dokter spesialis dan sub-spesialis di dalam negeri yang jumlahnya masih sangat kurang terutama di daerah-daerah terpencil. Berikut ini adalah rasio jumlah dokter spesialis tahun 2013 per-100.000 penduduk.

pk-2

Gambar 1. Rasio jumlah dokte spesialis per-100.000 penduduk di Indonesia tahun 2013 (Sumber : Profil Kesehatan Indonesia 2013)

Suatu langkah besar telah dimulai dengan dilaksanakannya Program Pengembangan Eksekutif (PPE) Dekan Fakultas Kedokteran oleh Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesian (AIPKI) bekerjasama dengan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) UGM. Kegiatan yang dilaksanakan tahun 2014 ini berhasil membentuk kelompok-kelompok kerja di dalam kelompok FK akreditasi A untuk dapat bersaing dengan dunia internasional yaitu Pokja Pengembangan Dokter Spesialis dan Sub-spesialis, Pokja Rumah Sakit Pendidikan (RSP) dan Pokja Dokter Layanan Primer (DLP). Namun, bagaimana kondisi pokja-pokja yang telah terbentuk ini? Diperlukan follow up dan pertemuan-pertemuan rutin dari pokja tersebut untuk memastikan perkembangannya.

Pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan di daerah terpencil

Pernyataan menarik muncul dari seorang dokter yang ditempatkan di Kepulauan Seribu, “Saya ditempatkan di sini tetapi tidak dibekali dengan pengetahuan maupun keterampilan kagawatdaruratan perairan”. Ada dua hal yang menjadi permasalahan dalam konteks ketersediaan dokter di wilayah terpencil. Bukan hanya masalah kuantitas saja yang masih kurang melainkan juga kualitas dokter itu sendiri, termasuk profil sosial-budayanya. Apakah dokter yang ditugaskan sudah sesuai dengan kondisi dan kekhasan wilayah tempat mereka ditugaskan? Apakah kurikulum yang diterapkan di fakultas kedokteran sudah meet the needs daerah tempatnya bernaung?

Indonesia merupakan negara yang penuh dengan keberagaman termasuk dalam hal permasalahan kesehatan. Pada November 2014, PKMK bekerjasama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana, NTT melakukan suatu langkah awal dalam pengembangan kurikulum “Semiringkai”. Kurikulum Semiringkai adalah kurikulum yang ditujukan untuk mencetak dokter lulusan FK Undana yang mampu mengatasi masalah-masalah kesehatan kepulauan. Hasil dari policy study ini adalah draft rancangan kurikulum kedokteran rural (Semiringkai) yang nantinya akan dimasukkan dalam kurikulum FK Undana.

Kegiatan positif ini harus terus dilanjutkan dengan mengikutsertakan FK-FK lain di Indonesia terutama yang berada di daerah-daerah terpencil (atau memiliki daerah yang masuk dalam kategori daerah terpencil, kepulauan dan perbatasan) yang bertanggung jawab untuk memastikan ketersediaan tenaga dokter di daerahnya. Harus ada program seperti PPE yang sudah dilaksanakan di FK akreditasi A, untuk pengembangan kedokteran terpencil ini. Jika tidak, masalah-masalah kesehatan khususnya di daerah terpencil akan sangat lambat penanganannya.

Apa yang bisa dilakukan di tahun 2015 menghadapi dua front yang berbeda ini?

Aktor dalam konteks outlook pendidikan kedokteran di tahun 2015 ini adalah Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI), Dekan-Dekan Fakultas Kedokteran, Medical Education Unit (MEU) di masing-masing FK, Kementerian Riset-Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Kolaborasi perlu dibangun dan dibina antar stakeholder-stakeholder tersebut.

Ada dua kelompok tindakan yang perlu dipertimbangkan:

  1. Pengembangan bersama antar Fakultas Kedokteran untuk peningkatan kapasitas institusi dalam mengembangkan SDM Kesehatan yang mampu bersaing di MEA 2015 terutama untuk SDM Dokter Spesialis dan Sub-spesialis.
  2. Inisiasi Program Pengembangan Eksekutif (PPE) Dekan Fakultas Kedokteran untuk FK-FK di daerah rural- perbatasan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas kepemimpinan dan manajerial dekan sebagai pemimpin tertinggi fakultas. Selain itu yang tak kalah penting adalah kerjasama untuk pengembangan kurikulum kedokteran rural (terpencil) di masing-masing daerah.

Kedua inisiatif tersebut harus didukung dengan semangat untuk mengembangkan bangsa Indonesia, fasilitas komunikasi jarak jauh yang terintegrasi untuk meningkatkan intensitas interaksi, adanya tenaga ahli termasuk dari luar negeri untuk mempercepat strategi lembaga-lembag a pendidikan kedokteran untuk menjawab tantangan di tahun 2015.

 

Penyusun :
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK), Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada
www.pendidikankedokteran.net
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD
dr Mushtofa Kamal (Email : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it., Telp: 087839847911)