Pengaturan Dokter Layanan Primer Dinilai Belum Jelas

Sidang lanjutan pengujian sejumlah pasal dalam UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran kembali digelar di Gedung MK. Sidang kali ini pemohon, Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) menghadirkan Wawang S Sukarya, ahli dari pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dokter umum Ardiansyah sebagai saksi.
 
Dalam paparannya, Wawang menilai pengaturan definisi Dokter Layanan Primer (DLP) dalam UU Pendidikan Kedokteran belum jelas apakah spesialis atau bukan. UU Pendidikan Kedokteran hanya menyebutkan DLP setara dengan dokter spesialis. Sementara surat tanda registrasi (STR) hanya diperuntukkan bagi dokter spesialis, tidak disebutkan untuk DLP.
 
“Kalau dia dokter (umum) atau dokter spesialis, biasanya tertera di ijazahnya. Sementara DLP belum tentu ada ijazahnya,” papar Wawang saat memberi keterangan dalam sidang lanjutan pengujian UU Pendidikan Kedokteran di ruang sidang MK, Kamis (15/1).
 
Wawang melanjutkan di sebagian negara DLP bertugas memberi pelayanan kesehatan pertama dan merawatnya. Kalau dokter yang merawatnya tidak sanggup menanganinya akan dirujuk ke rumah sakit lain. Di Inggris dan Amerika, DLP disebut general practice atau dokter umum.
 
“Itu sejalan dengan UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang hanya mengenal dokter umum, dokter spesialis, dokter gigi, dokter gigi spealis. Tidak ada DLP,” kata Wawang.
 
Wawang menjelaskan Peraturan Konsil Kedokteran (Perkonsil) No. 10 Tahun 2012 tentang Standar Pendidikan Profesi Dokter Indonesia dan Perkonsil No. 11 Tahun 2012 tentang Standar Kompetensi Dokter Indonesia yang di dalamnya termasuk mengatur kompetensi yang harus dikuasai DLP. “Sebenarnya aturan itu sudah lengkap dan sebagian telah dipraktekkan seperti adanya dokter ahli kesehatan anak, dokter ahli kandungan, dokter penyakit dalam di puskesmas,” kata dia.
 
Terbitnya perkonsil itu, lanjut Wawang, disebabkan distribusi dokter spesialis di daerah-daerah tertentu belum merata. Karenanya, IDI bersama kolegium terkait memberi pelatihan keahlian tertentu bagi dokter umum, sehingga dokter yang ditempatkan di daerah terpencil atau perbatasan. “Mereka diberi STR dengan kewenangan tambahan sesuai tingkatan levelnya,” ujar Wawang di hadapan majelis yang diketuai Arief Hidayat.
 
“Persoalannya terletak sertifikasi DLP hanya diselenggarakan oleh fakultas kedokteran yang terakreditasi. Keterangan seorang dokter menyatakan 80 persen tugas DLP sama dengan dokter umum, kenapa dokter umum harus berpendidikan lagi dengan biaya mahal, padahal pekerjaan yang dilakukan sama?”
    
Dinafikan
Ardiansyah merasa pengaturan DLP menafikkan dokter umum. Dokter yang bertugas bertahun-tahun di Gorontalo ini menuturkan DLP harus berpendidikan lagi minimal selama dua tahun. “Apalagi di tempat saya bertugas tidak ada fakultas kedokteran,” ujar Alumnus FK Unhas ini.
 
Faktanya umumnya tugas-tugas dokter umum hampir sama seperti yang dilakukan DLP. Terlebih, apabila dokter umum yang mengantongi STR berpraktik DLP bisa berujung dipidana karena tidak sesuai kompetensi. “Padahal, kegiatan yang dilakukan sama yang dilakukan di lapangan,” katanya.
 
Selain itu, menyangkut pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan ada aturan yang bisa bekerjasama dengan BPJS hanya DLP. “Kita, dokter umum tidak bisa apa-apa. Terus terang kami merasa dinafikan, tidak ada arti selama ini,” keluhnya.
 
Sebelumnya, Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) mempersoalkan sekitar 15 pasal dalam UU Pendidikan Kedokteran terkait uji kompetensi, sertifikasi kompetensi, dan dokter layanan primer. Pasal-pasal itu dinilai menghambat/melanggar akses pelayanan dokter (umum) atas pelayanan kesehatan masyarakat. Sebab, hanya dokter yang berstatus dokter layanan primer yang berhak berpraktik di masyarakat yang diwajibkan mengikuti pendidikan uji kompetensi lagi dengan biaya yang mahal.
 
Misalnya, Pasal 36 menyebutkan seorang dokter sebelum diangkat sumpah harus memiliki sertifikat uji kompetensi yang dikeluarkan perguruan tinggi kedokteran atau kedokteran gigi bekerjasama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan organisasi profesi. Aturan itu memunculkan dualisme lembaga penyelenggara uji kompetensi dokter. Uji kompetensi dokter dan sertifikasi kompetensi dokter sebenarnya wewenang Ikatan Dokter Indonesia (IDI) cq kolegium.