Reportase:Peran IDI dan Perhimpunan Profesi dalam Memperjuangkan Hak Residen dan Fellow dalam Proses Pendidikan

Reportase:

Peran IDI dan Perhimpunan Profesi dalam Memperjuangkan Hak Residen dan Fellow dalam Proses Pendidikan

4marx

Yogyakarta – Jum’at, 4 Maret 2016 Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan UGM bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran UGM telah menyelenggarakan Seminar Perhimpunan Profesi Diskusi yang ke-3 dengan judul “Peran IDI dan dan Perhimpunan Profesi dalam memperjuangkan hak residen dan fellow dalam proses pendidikan” di Ruang Theater, Gedung Perpustakaan FK UGM. Seminar ini terdiri dari 2 sesi dan mendatangkan berbagai pembicara serta pembahas dari AIPKI, ARSPI, PERSI, IDI, IKABI, Direktur RSUP dr. Sardjito, dan Kepala Pusat Pendidikan SDM Kesehatan.

Pengantar
Kegiatan yang juga diselenggarakan sebagai rangkaian dari Annual Scientific Meeting FK UGM 2016, dan kegiatan mengenai peran Peran Perhimpunan Profesi  dibuka oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D selaku ketua dewan PKMK UGM. Prof Laksono mengutarakan tujuan dari seminar ini adalah untuk membahas kemajuan proses pemenuhan hak residen dan fellow sesuai dengan UU Pendidikan Kedokteran; membahas peranan IDI dan Perhimpunan Dokter Ahli dalam pemenuhan hak residen dan fellow; serta membahas bentuk gabungan antara University-based dengan Hospital-Based training untuk residen dan fellow dalam Academic Health System. Berikut ini ringkasan dari berbagai sesi.

Sesi I - Pembicara
Sesi pertama membahas mengenai apakah residen dan fellow merupakan dokter yang bekerja dalam pendidikan ataukah seorang siswa? Dan apakah ada Kemajuan dalam pelaksanaan UU Pendidikan Kedokteran?. Sesi ini diawali dengan presentasi oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. (Powerpoin silahkan klik di sini). Pembicara memaparkan bahwa setelah 2 tahun UU Pendidikan Kedokteran disahkan, masih tampak sistem pendidikan kedokteran dan sistem pelayanan kesehatan masih berjalan secara terpisah. Diperlukan adanya integrasi antara 2 sistem tersebut untuk mencapai pelayanan kesehatan yang lebih baik. Ditekankan pula bahwa residen dan fellow bukan siswa biasa dan tidak dapat dipisahkan dengan SDM kesehatan lain di Rumah Sakit, di mana mereka juga memiliki hak sebagai perkerja seperti hak mendapatkan insentif, dan hak untuk beristirahat. Dukungan dari perhimpunan profesi seperti IDI sangat dibutuhkan dalam reformasi ini.

Sesi I – Pembahasan Tahap ke-1
Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan pembahasan ke-1 oleh beberapa pembahas yaitu Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Ph.D., Sp.OG(K) sebagai perwakilan ketua AIPKI dari Pokja Spesialis dan Subspesialis, Prof. dr. H. Abdul Khadir, Ph.D., Sp.THT/KL(K)., MARS selaku Ketua 1 ARSPI yang juga menjabat sebagai Direktur RS Dharmais, serta dr. Kuntjoro A. Purjanto, MMR sebagai ketua PERSI.
    Pada sesi pembahasan tahap ini Prof Ova mendukung reformasi ini dan mengusulkan misi dari reformasi adalah untuk meningkatkan bentuk tanggung jawab residen dari pendidikan tidak hanya dari pencapaian segi kompetensi saja, namun juga meningkatkan kinerja pelayanan kesehatan. Pihak ARSPI juga sangat mendukung dan menyatakan bahwa ke depannya harus ada reformasi serta diharapkan adanya penguatan Fakultas Kedokteran dan RS Pendidikan melalui Academic Health System. Prof Abdul Kadir juga menegaskan kembali tentang 3 hak residen yang harus dipenuhi berdasarkan UU Dikdok, yaitu hak untuk mendapatkan perlindungan hukum, hak untuk mendapatkan insentif, dan hak untuk mendapatkan istirahat. Ketua PERSI mengutarakan bahwa PERSI menunggu aplikasi rundown serta roadmap yang jelas dari reformasi ini, agar bersifat akuntabel dan jelas jalan eksekusinya. Selain itu dibutuhkan pula pemberdayaan masyarakat agar masyarakat tahu dan bisa memenuhi keadilan dan pemerataan kesehatan di seluruh Indonesia. Hal ini dapat terwujud jika adanya komitmen yang kuat dari semua pihak terkait.
Setelah pembahasan kemudian terdapat diskusi yang sangat menarik antara pembahas dengan peserta seminar. Salah satu peserta, dr. Endro Basuki, Sp. BS dari RSUP dr. Sardjito menyatakan bahwa residen harus dimanusiakan. Target utama adalah bagaimana residen selesai masa pendidikan dengan selamat, serta yang paling mudah selain pemberian insentif adalah residen tidak perlu membayar biaya PPDS karena sudah dibiayai oleh pemerintah atau instansi lain. Dari sesi ini dapat diambil kesimpulan bahwa semua pihak setuju bahwa residen perlu mendapatkan haknya, dan detail operasional tentang pemenuhan hak ini perlu dibicarakan lebih lanjut.

Sesi I – Pembahasan tahap ke-2

Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tahap ke-2. Prof. DR. Dr. David S Perdanakusuma, Sp.BP-RE(K) selaku Ketua MKKI – IDI menyatakan bahwa IDI perlu memprioritaskan status residen di Rumah Sakit sebagai pekerja, kemudian sumber alokasi dana insentif dari mana, serta dilaksanakan dalam jumlah yang memadai. Jangan sampai insentif hanya seadanya. IDI sebagai perhimpunan profesi mendukungeREsiden sebagai pekerja khusus sesuai dengan UU Pendidikan Kedokteran. IDI berharap bahwa ada dukungan dari pemerintah untuk dapat mencapai tujuan ini.
Ketua IKABI Pusat, yakni dr. R. Suhartono, Sp.BT-KV menekankan perlunya kesamaan persepsi tentang residen dari pihak fakultas, perhimpunan profesi, dan kementerian kesehatan (Kemenkes). Selain itu dalam penerimaan residen, harus disesuaikan dengan kebutuhan dari Kemenkes sehingga terdapat kesesuaian antara jumlah residen yang diterima oleh universitas dan kebutuhan di Rumah Sakit. Hal ini mengarah ke metode hospital-based.
dr. Achmad Soebagjo Tancarino, MARS daru Badan PPSDM Kemenkes mengutarakan tentang adanya pembentukan perencanaan yang disusun bersama oleh dinas kesehatan kabupaten di mana kini sedang konsolidasi peta kebutuhan SDM tenaga kesehatan selama 5 tahun mendatang. Perencanaan kebutuhan SDM kesehatan ini tidak hanya diperlukan di RS Pemerintah saja, namun juga RS Swasta.
Pada diskusi pembahasan tahap ini diutarakan beberapa pendapat, seperti harapan bahwa dosen klinis dari residen perlu dimanusiakan juga agar mendapatkan porsi yang sesuai. Suara dan aspirasi dari PERDOKDI (Persatuan Dokter Dosen Klinis) juga diharapkan untuk turut didengar dalam penyusunan PP dari UU Dikdok. Ditekankan pula perlu diciptakan iklim yang sehat dan kondusif tidak hanya untuk residen, namun juga untuk dokter senior. Sembari menunggu penyusunan PP, pihak-pihak yang bersangkutan juga mempersiapkan yang dibutuhkan sehingga ketika PP telah jadi bisa langsung dieksekusi.

Sesi II – Pembicara

Pada sesi kedua dilakukan pembahasan mengenai Harapan di masa mendatang tentang skenario Academic Health System di Indonesia berdasarkan PP RS Pendidikan dan harapan untuk badan PPSDM Kementerian Kesehatan. Pembicara sesi ini yaitu Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes, Dipl. PH sebagai ketia minat MMR FK UGM menyampaikan hasil data kajian pemberian insentif yang dilakukan di RSUP dr. Sardjito, RSUD dr. Moewardi, dan RSUP dr. Cipto Mangunkusumo.
Di Era JKN peningkatan jumlah pasien yang tidak diikuti oleh jumlah DPJP menyebabkan adanya pembagian beban kerja yang dibungkus oleh pendidikan. Dalam pembagian beban ini sudahkah ada pembagian beban kerja, kompensasi, dan keadilan yang jelas antara DPJP dan residen?
Dari hasil riset didapatkan bahwa ada beberapa bentuk pembagian insentif dari Rumah Sakit, namun dengan dasar acuan yang tidak jelas dan memiliki aturan masing-masing yang tergantung pada: status residen, regulasi yang mendukung, dan manajemen RS. Melalui riset, didapatkan pula bahwa residen sudah masuk dalam siklus manajemen, namun yang belum ada adalah sistem reward dan punishment bagi residen. Selain itu data jumlah residen, fellow, dan data kapasitas RS Pendidikan serta data dosen pendidik untuk pendidikan spesialis dan sub-spesialis masih sulit untuk ditemukan.
Prof. Laksono sebagai fasilitator menambahkan tentang Academic Health System di mana Fakultas Kedokteran sebagai pihak pengelola residen sehingga tetap dikenakan biaya SPP, namun yang membayar bukan pihak residen pribadi namun RS, Pemerintah daerah, atau kelompok tertentu yang membayar. Selain itu penetapan RS Pendidikan dan jejaring tidak bisa asal namun sesuai kebutuhan. Secara hukum, pendidikan spesialis menggunakan model university-based, tetapi secara defacto dapat dikombinasikan dengan hospital-based. Jika RS tidak membutuhkan adanya residen atau fellow, maka tidak perlu menjadi RS Pendidikan. Ijazah dan sistem kontrol mutu pendidikan yang mengeluarkan tetap universitas karena kondisi yang sulit keluar dari UU Sisdiknas.

Sesi II – Pembahas

Pembahasan sesi ke-2 kali ini diisi oleh dr. Achmad Soebagjo Tancarino, MARS (Kepala Pusat Pendidikan SDM Kesehatan), Prof. DR. dr. David S Perdanakusuma, Sp.BP-RE(K) (Ketua MKKI – IDI), dan dr. M. Syafak Hanung, Sp.A (Direktur Utama RSUP dr. Sardjito). Dari pembahasan kali ini didapatkan bahwa terdapat data mengenai residen yang melalui tugas belajar di Pusat Pendidikan SDM Kesehatan dan dapat diakses jika perlu. Ketua MKKI juga menyampaikan bahwa data-data di perhimpunan profesi juga ada dan tengah dirapikan, serta diharapkan minggu depan sudah dapat dirilis. Sedangkan dr. Syafak menyampaikan bahwa di RSUP dr. Sardjito telah membentuk tim ad hoc untuk membicarakan tentang bagaimana sistem pendidikan residen dapat diatur dengan lebih baik agar dapat memenuhi hak dan kewajiban dari residen terhadap RS Pendidikan.
    Dari diskusi pada sesi ini diungkapkan bahwa semua pihak telah sepakat bahwa residen itu juga termasuk pekerja pelayanan kesehatan sehingga hak insentif dan jam istirahat harus diperjuangkan. Tentang jam istirahat, ada kaidah kesehatan kerja yang seharusnya diimplementasikan pada residen yang tidak menghambat residen untuk meraih target kompetensi.

Penutup dan Kesimpulan

Seminar ditutup dengan pernyataan dan kesepakatan dari semua pihak:

  1. Wakil dari IDI menegaskan bahwa sebagai  Perhimpunan profesi mendukung diberlakukannya penanganan residen sebagai pekerja termasuk adanya hak dan kewajiban.  Tidak ada sikap penolakan terhadap UU Pendidikan Kedokteran secara keseluruhan. Pasal mengenai residen didukung oleh pihak IDI.
  2. Asosiasi RS Pendidikan (ARSPI), Asosiasi Fakultas Kedokteran (ARSPI), dan Kementerian Kesehatan akan bekerja lebih erat lagi dalam hal penanganan residen dan fellow sebagai  tenaga medis RS. Hubungan FK dengan RS Pendidikan perlu dikembangkan terus dengan menggunakan dasar hukum yang university-based, namun secara operasional akan dikombinasikan dengan pendekatan hospital-based.
  3. Berbagai RS Pendidikan bertekad terus mengembangkan pemberian insentif kepada reiden dan fellow. RSUP dr. Sardjito juga sedang menyiapkan tim ad hoc untuk teknis operasional ini.
  4. Ke depannya akan dibentuk kelompok kerja yang terdiri atas berbagai stakeholders yang membahas kelanjutan untuk pengguatan aspek hukum, hubunan kelembagaan, dan kegiatan  operasional. IDI menyatakan siap untuk menjadi anggota tim.
  5. Kemenkes (cq Badan PPSDM) bersedia menjadi fasilitator kelompok kerja dan bekerjasama dengan Kemenristek dikti serta seluruh stakeholders. Sebagai langkah jangka pendek Kemenkes berencana akan mengumpulkan dan melibatkan berbagai Kolegium, FK serta RS Pendidikan untuk pendidikan dokter spesialis dan subspesialis.

Dapat diambil kesimpulan bahwa semua pihak bertekad untuk terus menjalankan amanat UU dan PP mengena RS Pendidikan dan siap untuk memfasilitasi proses ini.

 

Unduh Materi