Pengantar

MANAJEMEN RESIDEN DALAM ERA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL:

Apakah Residen dapat menjadi
Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP)?
Bagaimana sistem kompensasinya?

Blended Learning di bulan Maret 2014
Seminar di tanggal 16 April 2014 di Yogyakarta


 Latar Belakang

Tanggal 1 Januari 2014, BPJS sudah beroperasi dan Jaminan Kesehatan Nasional memulai era baru.

Dalam konteks tenaga kesehatan yang melayani, di berbagai negara lain misal Amerika Serikat dan Australia, residen merupakan tulang punggung pelayanan yang didanai oleh jaminan kesehatan. Sementara itu di Indonesia, peran residen masih belum jelas, apakah sebagai siswa atau sebagai pekerja (hasil diskusi ASM 2013). Pertanyaan yang sangat sering dikemukakan adalah:

    • Apakah jumlah dokter spesialis cukup untuk menangani pelayanan kesehatan di layanan sekunder dan tersier?
    • Bagaimana posisi dan peran Residen dalam program Jaminan Kesehatan Nasional?
    • Bagaimanakah hak dan kewajiban residen, termasuk hak untuk dibayar?
    • Bagaimanakah posisi hukum seorang residen?

Pada ASM 2013 (bulan Maret 2013) telah diselenggarakan pertemuan awal mengenai peran dan posisi residen, yang kemudian dilanjutkan dengan pertemuan di FK UI. Ada beberapa hal yang dapat dicatat dari pertemuan tersebut dan perkembangan terbaru yang terkait, termasuk kasus residen dr A yang dihukum pidana 10 bulan oleh Mahkamah Agung.

A. Fakta-fakta yang terjadi saat ini.

    1. Pendidikan residen cenderung menempatkan residen sebagai peserta didik. Pelaksanaan program pendidikan dokter spesialis di Indonesia saat ini dilakukan di RS pendidikan dan RS jejaring di bawah koordinasi fakultas kedokteran. Penerapan pendidikan dan pelatihan residen dilakukan berdasarkan UU Pendidikan Nasional sehingga disebut sebagai 'university based'. Pendekatan lain yang banyak diterapkan di beberapa negara adalah pendekatan 'hospital based' yaitu pendidikan dokter spesialis diserahkan pengelolaannya kepada rumah sakit dengan koordinasi dari kolegium spesialis terkait. Dengan penerapan program pendidikan dokter spesialis 'university based', sejarah pendidikan residen lebih kuat penekanan sebagai peserta didik (mahasiswa), bukan sebagai pekerja rumahsakit. Residen dalam hal ini harus membayar SPP ke universitas, dan belum mendapat hak sebagai pekerja khususnya pembayaran yang jelas dari rumahsakit pendidikan utama/jaringan tempat bekerja kecuali pelayanan di berbagai rumahsakit yang memang membutuhkan residen.
    2. Dalam konteks pendidikan ini, jumlah residen yang masuk ke RS Pendidikan tidak dihitung berdasarkan kebutuhan. Akibatnya terjadi keadaan dimana tidak ada hubungan antara jumlah pasien di RS Pendidikan utama dengan jumlah residen. Hal ini menyebabkan tidak berfungsinya residen sebagai tenaga kerja rumahsakit yang ditetapkan berdasarkan kebutuhan.
    3. Hubungan dengan Fakultas Kedokteran, dengan penerapan program pendidikan dokter spesialis yang 'university based' di Indonesia, peran RS pendidikan tetap sangat besar walaupun tidak bertanggung jawab langsung pada mutu pendidikan. Saat ini, tanggung jawab langsung berada di universitas (Fakultas Kedokteran). Dengan demikian situasi yang terjadi adalah residen dapat dilihat dari dua sisi yaitu universitas (FK) dan RS Pendidikan. Telah banyak dilakukan pengembangan di dalam proses pendidikan di FK. Namun di lain sisi, di RS Pendidikan penataan residen belum banyak ditangani. Residen tetap dianggap sebagai siswa, bukan staf medis RS. Sementara itu, kebutuhan residen (yang sudah kompeten) sebagai pekerja RS semakin tinggi, termasuk untuk BPJS dan usaha pemerataan pelayanan rumahsakit. Di negara lain, residen dianggap sebagai tenaga medis di RS dengan hak dan kewajibannya.
    4. Walaupun masih banyak dianggap sebagai mahasiswa, secara de-facto residen telah bekerja. Sebagai gambaran di RS Pendidikan, operasi yang membutuhkan tenaga dokter spesialis anestesi, dikerjakan oleh residen anestesi tanpa kehadiran dosen pendidik di ruang operasi. Demikian juga berbagai pendidikan residen menempatkan residen sebagai pelaku utama pelayanan.
    5. Selain dalam pelayanan, para residen selama ini juga berperan dalam pendidikan dokter di RS pendidikan dan RS jejaring, yaitu melalui pembimbingan untuk mahasiswa kedokteran yang sedang menjalankan rotasi pendidikan klinik di RS. Tugas pembimbingan ini memang menjadi tugas utama para staf pengajar konsultan di masing-masing tempat. Residen berperan besar dalam pendidikan dokter karena berkesempatan untuk berinteraksi dengan para ko asisten dalam kegiatan sehari-hari.
    6. Posisi penting residen dalam pelayanan ini ternyata belum diimbangi dengan kejelasan aspek hukum. Dalam kasus dr. A yang dituntut dan dihukum secara pidana posisi residen sangat memprihatinkan. Terlepas dari tepat atau tidak tepatnya penuntutan pidana, dr. A dan dua orang residen lain dihukum, sementara itu dosen penanggung-jawabnya dapat memperoleh SP3, dan mampu menghentikan penyidikan. Pihak Fakultas Kedokteran dan RS Pendidikan yang terkait dengan dr. A juga tidak terlihat bertanggung-jawab atas kejadian tersebut. Setelah mengalami proses panjang, dr. A dan rekan bebas dari tuntutan hukum. Kasus ini menjadi pembelajaran menarik untuk kita semua.

 

B. Bagaimana penanganan residen ke depannya?

Sehubungan dengan penerapan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan penetapan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di Indonesia, kebutuhan akan kuantitas dan kualitas pelayanan kesehatan yang terstandarisasi meningkat. Jumlah spesialis di Indonesia tidak cukup untuk melayani pasien yang dibayar oleh BPJS dan non-BPJS. Oleh karena itu residen semakin dibutuhkan untuk pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional. Mengingat peran residen dalam pelayanan kesehatan selama ini, ada beberapa hal yang harus dipikirkan di masa mendatang, yaitu:

    1. Perlunya residen dimasukkan dalam penyedia layanan kesehatan dalam Jaminan Kesehatan Nasional;
    2. Perlunya proses penjaminan kualitas yang terjaga melalui credential residen yang berasal dari FK untuk dinilai di RS Pendidikan secara personal dan supervisi yang sistematis, serta kepastian posisi hukum;
    3. Residen perlu untuk mendapatkan renumerasi dari pendanaan oleh BPJS.

Berbagai hal tersebut telah didukung secara hukum oleh UU Pendidikan Kedokteran. Dalam UU tersebut, residen bukan mahasiswa biasa namun mahasiswa khusus yang berhak mendapat hak, termasuk insentif, namun juga mempunyai kewajiban layaknya seorang pekerja profesional. Kewajiban dan tanggung jawab residen dalam pendidikan dokter dan pelayanan kesehatan di rumah sakit juga perlu disertai diskursus tentang hak para residen yaitu hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan hak untuk mendapatkan imbal jasa (renumerasi). Posisi residen di fungsi pendidikan dan pelayanan serta hak dan kewajibannya, perlu ditelaah. Apakah credential di RS diperlukan bagi residen? Bagaimana prosesnya dapat dilakukan? Apakah residen berhak mendapatkan renumerasi dalam pelaksanaan perannya sebagai pendidik dan penyedia pelayanan kesehatan? Sejauh mana tanggung jawab residen saat terjadi medical mishaps dari kasus yang dikelola? Akankan dokter spesialis konsultan bebas dari pertanggungjawaban atas tindakan yang dilakukan residen?

C. Pertanyaan praktis yang timbul: Apakah Residen dapat menjadi Dokter Penanggung Jawab Pasien?

Dokter spesialis konsultan adalah dokter penanggung jawab pasien (DPJP), termasuk di RS Pendidikan. Berdasarkan Permenkes, seluruh tanggung jawab termasuk tanggung jawab hukum akan berada di tangan RS dan DPJP. Dalam hal ini ada beberapa rumahsakit yang menjadi tempat residen bekerja, yaitu:

    1. RS Pendidikan Utama
    2. RS Pendidikan Jaringan
    3. RS yang membutuhkan

Beberapa pertanyaan:

1. Apakah Residen dapat menjadi DPJP di RS Pendidikan Utama?

Secara konseptual, DPJP di RS Pendidikan Utama adalah para spesialis. Namun faktanya, tidak semua spesialis berada di bangsal, di ruang periksa, ataupun di ruang operasi. Sebagai gambaran jumlah dokter spesialis anestesi ataupun bedah tidak mampu menangani seluruh operasi yang dilakukan. Dokter spesialis pendidik sering merangkap bekerja di luar RS Pendidikan. Sebagai catatan, UU Praktek Kedokteran memperbolehkan dokter spesialis praktek di tiga tempat. Salah satu pertanyaan praktisnya: apakah residen anestesi di ruang operasi yang tidak didampingi secara fisik oleh spesialis anestesi merupakan DPJP? Jika bukan DPJP, apakah dokter spesialis anestesi yang DPJP namun tidak berada di ruangan akan bertanggung-jawab secara keseluruhan termasuk aspek hukum pidana dan perdata, serta administratifnya? Bagaimana dengan jasa profesi yang ada di dalam INA-CBG. Apakah akan diberikan penuh ke residen, atau sebagian besar, atau sebagian kecil, atau tidak sama sekali?

2. Apakah Residen dapat menjadi DPJP di RS Pendidikan Jaringan dan di RS yang membutuhkan?

Selain berada di RS Pendidikan Utama, residen juga mendapatkan penugasan ke RS jejaring atau RS lain pada suatu tahap tertentu, terutama pada saat tahap mandiri. Dalam kerangka penugasan ini, residen dianggap sebagai tenaga dokter spesialis yang dapat membantu secara penuh proses pelayanan di RS tersebut. Meskipun residen melaksanakan peran pelayanan kesehatan yang besar, proses pelayanan tersebut merupakan bagian dari proses pendidikan. Dalam proses pendidikan yang umumnya terdiri dari tahap awal, tahap menengah dan tahap mandiri, residen memperoleh supervisi secara bertingkat dari para dokter spesialis konsultan di RS pendidikan. Apakah residen ini yang berada di tempat jauh dapat menjadi DPJP? Dalam konteks ini, memang residen dapat memiliki tanggung jawab penuh dalam pengelolaan pasien sesuai dengan penugasan yang diterimanya (clinical appointment) dari RS. Kemudian, hal yang masih dipertanyakan yaitu apakah residen dapat bertanggung jawab penuh secara hukum bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (medical mishaps).

Catatan penting tentang Standar Rumah Sakit Pendidikan Utama

Saat ini berbagai RS Pendidikan sedang bekerja keras untuk memenuhi standar CI sebagai rumahsakit akademik. Dalam standar tersebut, pendidikan kedokteran dan penelitian klinis sangat penting untuk upaya organisasi dalam meningkatkan kualitas dan keselamatan pasien (JCI 2013). Dengan demikian standar JCI perlu diperhitungkan dalam diskusi mengenai bisa tidaknya DPJP untuk residen.

   Tujuan Workshop


 Berdasarkan latar belakang tersebut, ada beberapa tujuan Workshop, diantaranya:

    1. Tercapainya pemahaman tentang predikat DPJP dan implikasi hukumnya untuk residen yang bekerja di RS Pendidikan Utama dan RS Pendidikan Jaringan/yang membutuhkan;
    2. Tercapainya pemahaman tentang kewajiban Residen di RS Pendidikan Utama dan Jaringan, termasuk credential dan clinical appointment-nya;
    3. Tercapainya pemahaman tentang hal residen dalam penerimaan jasa profesi di sistem Jaminan Kesehatan Nasional.
    4. Menyusun Rencana Tindak Lanjut dan Usulan Kebijakan bagi pemerintah untuk Pengembangan Residen dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien.

Siapa yang diharapkan menjadi peserta dalam Workshop ini? Diharapkan peserta workshop adalah kelompok yang mewakili:

    • RS Pendidikan Utama
    • RS Pendidikan Jaringan
    • RS tempat bekerja Residen
    • Kantor Regional BPJS
    • Pejabat Dinas Kesehatan/Kementrian Kesehatan
    • Tim Konsultan

Siapa yang diharapkan menjadi peserta dalam Workshop ini? Diharapkan peserta workshop adalah kelompok yang mewakili:

    • RS Pendidikan Utama
    • RS Pendidikan Jaringan
    • RS tempat bekerja residen
    • Kantor Regional BPJS
    • Pejabat Dinas Kesehatan/Kementrian Kesehatan
    • Tim Konsultan

Peserta  diharapkan secara berkelompok mendaftarkan diri untuk mengikuti secara jarak-jauh. Kelompok ini harus menyiapkan diri dengan perangkat teleconference yang spesifikasinya dapat dilihat disini 

Bagi yang hanya ingin  mengikuti untuk Tatap Mukasaja, dipersilakan mengikuti selama satu hari.

 Bentuk Kegiatan


 Kegiatan Workshop ini diselenggarakan dalam  waktu 4 minggu dengan menggunakan pendekatan campuran (blended) antara jarak-jauh dan tatap muka. Para peserta diharapkan mendaftar secara berkelompok.

  • 7 Maret 2014: Seminar Pembukaan. Silahkan 
  • 7 maret- 15 April 2014: Sesi awal dengan menggunakan Pendekatan Jarak-Jauh: Penyampaian Materi awal mengenai fakta-fakta dan pemahaman-pemahaman konseptual.
  • 16 April 2014: Sesi akhir dengan tatap muka selama 1 hari: Membahas diskusi mengenai bisa tidaknya menjadi DPJP dan hak serta kewajiban residen, serta usulan kebijakan mengenai manajemen residen di era JKN.

Tatacara:

    1. Peserta bekerja secara kelompok.
    2. Peserta menyiapkan teknologi teleconference-nya pada tanggal 10-14 Maret 2014. Persiapan peralatan teleconference ini diharapkan agar dapat diikuti oleh satu tim.
    3. Peserta diharapkan mengikuti kegiatan per minggu yang diberikan setiap Selasa pagi.
    4. Peserta kelompok mempelajari materi dan membahas secara mandiri mengenai apa yang menjadi tugas mingguan.
    5. Di beberapa kesempatan, akan ada webinar dengan peserta.
    6. Pada saat tatap muka terakhir (16 April 2014) diharapkan para peserta dapat hadir di UGM atau menggunakan webbinar.

committeeDetil Blended Learning


   MINGGU 0 (10 – 14 Maret 2014)

  MINGGU 1 (17 - 22 Maret 2014)

  MINGGU 2 (24 - 28 Maret 2014)

  MINGGU 3 (31 Maret - 4 April 2014)

  MINGGU 4 (7 - 11 April 2014)

  Tatap Muka dan Live Streaming (16 April 2014)

 

   Biaya Registrasi


 Mengikuti Workshop selama 1 bulan melalui tele-training: Rp 5.000.000,- untuk satu tim, disarankan tim di RS Pendidikan bersama dengan FK. Harapannya anggota tim adalah:

    1. Dekanat FK dan Direksi RS (sekitar 4 orang)
    2. Anggota Bakordik
    3. Kepala Diklit
    4. Bagian atau Konsultan Hukum RS
    5. Ka PPDS.
    6. ....
    Jumlah ideal sekitar 10 orang yang akan membahas berbagai hal.
  1. Jika tidak mengikuti Workshop selama 1 bulan, maka untuk menghadiri pertemuan tatap muka selama 1 hari pada tanggal 16 April 2014 adalah sebesar Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah) per orang dan mendapatkan fasilitas konsumsi selama meeting, dan sertifikat.

Pendaftaran pada:

Intan Farida Yasmin
Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Gedung IKM Sayap Utara Lt. 2, Fakultas Kedokteran UGM
Jl. Farmako, Sekip Utara, Yogyakarta 55281
Ph. /Fax : +62274-549425 (hunting)
Mobile : +628129017065
Email : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. 
Website : www.kebijakankesehatanindonesia.net / www.pendidikankedokteran.net 

Pembayaran dilakukan melalui Virtual Account FK UGM nomor:

Nomor : 9888807171130003 
Nama : Online Course/Blended Learning FK UGM 
Bank : BNI 46


Catatan:

Proses pembayaran melalui Virtual Account:

    1. Peserta melakukan pembayaran ke Virtual Account resmi Blended Learning FK UGM (Bank BNI Nomor : 9888807171130003)
    2. Pembayaran yang telah dilakukan oleh peserta disertai dengan bukti transfer.  Mohon peserta dapat mengirimkan bukti transfer melalui email ke Sdri. Intan (This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. ) atau dapat di-upload langsung melalui website dan kemudian akan diterima oleh admin.

Minggu 5 : Penutup

Blended Learning Pengembangan Kebijakan Residen

Minggu Penutup: 14 - 16 April 2014

Penanggung-jawab: Sri Mulatsih dan Laksono Trisnantoro


Pengantar

pengantarProgram Pengembangan Residen dalam rangka PPE (Program Pengembangan Eksekutif)

Dekan Fakultas Kedokteran akan berakhir besok pada tanggal 16 April 2014

Minggu ini merupakan minggu terakhir BL mengenai residen yang sudah dimulai sejak tanggal 6 maret 2014. Sudah lebih dari sebulan, dan akan diakhiri pada hari Rabu tanggal 16 Maret 2014 dengan pertemuan tatap muka atau melalui Webinar bagi yang para peserta yang tidak berkesempatan hadir.

Berdasarkan diskusi sebelumnya, beberapa poin yang bisa ditarik adalah:

  1. Residen dapat menjadi DPJP di RS yang membutuhkan karena tidak ada tenaga spesialisnya. Residen dapat juga menjadi DPJP di RS pendidikan tergantung dari kecukupan tenaga spesialis di RS Pendidikan tersebut. Hal ini diutamakan untuk residen tingkat mandiri.
  2. Residen berhak mendapat insentif dari jasa pelayanan yang dilakukan sesuai kompetensinya.

Bagaimana masa depan manajemen residen sangat tergantung dengan kebijakan publik, yaitu UU Pendidikan Kedokteran (klik untuk download) yang mengatur tentang residen apakah dapat dijalankan atau tidak. Pelaksanaan UU Pendidikan Kedokteran ini tergantung kemauan Fakultas Kedokteran dan RS Pendidikan termasuk kolegium /perhimpunan ahli.
Ada 2 macam skenario yang mungkin terjadi terkait pelaksanaan UU Pendidikan Kedokteran yaitu,

  1. UU dijalankan dan diterapkan oleh Fakultas Kedokteran, RS pendidikan , dan kolegium. Implikasi dari skenario ini adalah harus ada perubahan budaya. Perubahan ini haruslah detail dan menjadi tugas utama bakordik. Perubahan ini akan sesuai dengan JCI yang menyaratkan adanya kebijakan jelas pengelolaan residen antara FK dan RS Pendidikan.
  2. UU Pendidikan Kedokteran tidak dijalankan karena keengganan seluruh stakeholder untuk menjalankan. Akan terjadi situasi UU yang hanya di atas kertas. Apa akibatnya? Sistem JKN tidak akan berjalan maksimal karena kurang tenaga spesialis. Kasus seperti di Manado mungkin dapat terulang. Indonesia akan dikenal sebagai negara aneh karena di negara- negara Asia lain dan di negara maju residen sudah dianggap sebagai staf pekerja dan bukan siswa saja. Ada kemungkinan terjadi kesulitan dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan patient safety di RS Pendidikan.

Sebagai catatan:
Untuk mendukung pelaksanaan UU Pendidikan Kedokteran ini, perlu melakukan penelitian operasional mengenai residen dengan dana RS pendidikan. Penelitian yang diharapkan adalah berhubungan dengan pengembangan mutu dan keselamatan pasien dalam pelayanan kesehatan termasuk di dalamnya manajemen residen.

Jalannya Diskusi :

diskusi-1

dr. Budi Siswanto Sp.OG(K) RSSA Malang
Apakah pelaksanaan UU Pendidikan Kedokteran ini bisa diterapkan bersama dengan UU lain yang dikeluarkan oleh pemerintah (Kemendikbud dan DPR)?

Tanggapan Prof. Laksono
Dalam kebijakan publik ada UU yang kemudian perlu dioperasionalisasikan dengan PP dan Permendikbud. Saat ini memang belum ada turunan dari UU Pendidikan Kedokteran yang terkait dengan manajemen residen. UU lain tidak ada yang mengatur mengenai residen. Meskipun belum ada aturan turunan, sebaikanya fakultas kedokteran dan RS Pendidikan jangan menunggu PP serta Permendikbud untuk menerapkan UU Pendidikan Kedokteran ini. FK, RS Pendidikan, dan kolegium harus sigap jika mau merespon UU Pendidikan Kedokteran, termasuk menyusun naskah akademiknya yang kemudian diusulkan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

diskusi-2dr. Kanadi SpOG RSCM
Menanggapi tentang pengiriman residen ke RS yg membutuhkan, meskipun belum ada peraturan menteri tentang hal tersebut, sudah ada upaya contoh perjanjian bersama antara FK UI dengan RSCM – RS Natuna- Dinkes Kepulauan Riau. MoU tersebut untuk mengirim residen Obsgin ke RS Natuna dan juga termasuk pengaturan insentif bagi residen tersebut sebagai seorang dokter DPJP di RS tersebut.Hal ini sudah terlaksana dan belum ada masalah hingga saat ini.

Tanggapan Prof. Laksono
Memang benar pak, sudah banyak RS Pendidikan-FK yang berkerja sama dengan RS terpencil. Hal ini penting mengingat tanpa kehadiran tenaga spesialis maka klaim INA-CBG tidak bisa didapatkan RS tersebut. Artinya tidak ada akses. Dengan adanya kontrak pengiriman residen, maka akan menjadi solusi untuk mendapatkan klaim INA-CBG di RS tersebut.
Dalam hal ini perlu disiapkan dukungan aspek hukumnya termasuk kontrak dan pembayaran pengiriman residen ke RS yang membutuhkan. Diharapkan di setiap FK ataupun RS Pendidikan, sebaiknya ada unit khusus pengiriman residen ke berbagai daerah yang akan mengurusi perlindungan hukum, pembayaran bagi residen tersebut, sampai ke berbagai aspek logistic dan telekomunikasi. Hal ini penting agar pengiriman residen dapat terjamin dan berlangsung kelanjutannya.

Dr. dr. Sri Mulatsih Sp.A(K)
Di RSUP Sardjito juga ada program pengiriman dokter ke Bajawa NTT berdasar kontrak dengan pemda setempat (Program Sister Hospital) Dengan program ini juga diharapkan ada pengembangan mutu pelayanan di RS daerah terpencil tersebut. Saya sependapat dengan Prof Laksono bahwa untuk keberlanjutan dan pengembangan program ini, diperlukan pengelola yang full time untuk mengurusnya. Pengembangan kerja sama juga sudah dilakukan selain dengan NTT, yaitu dengan Papua berupa rencana pengiriman dokter residen bedah syaraf. Dalam perkembangannya, RSUP Dr. Sardjito perlu mengembangkan Unit khusus yang mengurus kerjasama dengan rumah sakit atau institusi lain baik yang lebih maju, sejajar, maupun rumah sakit-rumah sakit binaan di Indonesia.

diskusi-3Dr. dr. Ratna Sitompul SpM , Dekan FK UI/staf RSCM
Sangat diharapkan di setiap FK ada unit pengiriman residen yg mengelola residen tahap mandiri ke RS yg membutuhkan yang dipayungi suatu MOU. Dalam pelaksanaan unit ini dapat bekerja dibawah wadek 1 atau wadek 2 secara struktur organisasi.MoU ini termasuk untuk perlindungan hukum.

Tanggapan Prof. Laksono Trisnantoro
Perlindungan secara hukum residen yang dikirim ke RS yang membutuhkan memang tidak hanya berupa MoU. Dalam hal ini diperlukan sebuah kontrak yang jelas termasuk aspek hukumnya. Berikut ini Pak Dwi sebagai ahli sistem kontrak kerja silahkan membahasnya.

Dr. dr.Dwi Handono, MKes

Untuk perlindungan residen yang bertugas di RS perifer, dibutuhkan kontrak antar lembaga dan bukan kontrak individu. Salah satu contoh adalah dengan pembentukan Sister Hospital. Hal ini sesuai dengan Permenkes 2052 / 204 ps 6(3). Meskipun demikian, tak menutup kemungkinan dibuat dasar hukum lain untuk memperkuat penugasan residen ke RS perifer ini.

Dr. Ratna Sitompul
Menanggapi tentang penelitian, di RSCM sudah tersedia dana untuk melaksanakan operasional research dengan tujuan pengembangan pelayanan kesehatan di RS pendidikan. Penelitian ini dilaksanakan bersama-sama antara staf dan juga residen

Prof. Laksono Trisnantoro
Kami sangat berharap RS-RS Pendidikan dan fakultas kedokteran dapat mengalokasikan anggaran untuk meneliti mengenai kebijakan dan manajemen residen di tempat masing-masing. Penelitian ini penting untuk pengembangan mutu pelayanan dan keselamatan pasien yang terkait dengan residen.

diskusi-4Dr. Tonang RS Moewardi
Berdasarkan pertemuan dengan teman–teman hukum minggu lalu di FK UNS didapatkan hasil bahwa sebagai dokter spesialis harus tetap berhati-hati dalam hal pendelegasian wewenang ke residen karena jika delegasi tersebut diluar kompetensi residen, maka bisa menjadi permasalahan hukum. Apakah aman jika residen menjadi DPJP di RS yang masih ada tenaga spesialisnya?

Tanggapan Prof. Laksono
Kunci dari pendelegasian adalah, berdasar pertemuan minggu lalu, harus tertulis. Mengenai residen menjadi DPJP di RS Pendidikan Utama haruslah ditengok dari cukup tidaknya jumlah spesialis di RS. Dan kecukupan ini haruslah berdasar dan ditunjang dengan penelitian yang valid dan bukannya hanya dengan asumsi saja. Karena jika memang tidak mencukupi, maka untuk memastikan bahwa pelayanan berjalan dengan pengawasan yang baik diperlukan residen yang telah mandiri untuk menjadi DPJP. Ada bukti bahwa pelayanan di RS pendidikan pun, residenlah yang melakukan. Dalam hal ini sering tidak didampingi oleh supervisor. Namun sekali lagi hal ini harus diteliti dengan cermat.

Tanggapan Dr. dr. Sri Mulatsih Sp.A(K)
Ada beberapa standar yang harus dipenuhi terkait dengan akreditasi JCI RS pendidikan yaitu komponen research dan pendidikan. Secara de facto, staf spesialis tidak bisa terus-menerus on site untuk mendampingi residen dalam melayani pasien karena kewajiban staf sebagai pendidik, manajer, dan peneliti. Namun tetap harus ada kebijakan tertulis mengenai hubungan antara dokter spesialis dan residen di RS pendidikan.

diskusi 5dr. Eko RSSA
Harus ditinjau kembali mengenai pengiriman residen ke RS perifer terkait dengan patient safety karena meskipun residen tersebut sudah dalam tahap mandiri tetap saja ada perbedaan dengan dokter spesialis. Selain itu, akan sampai kapan pengiriman residen ini di RS perifer tersebut jika bahkan tenaga spesialis saja tidak mau ditempatkan di daerah tersebut.

Tanggapan Prof. Laksono
Pengiriman residen ke berbagai RS perifer bukanlah untuk jangka panjang. Seperti yang terjadi di Sister Hospital, program jangka panjangnya adalah adanya beasiswa dan lesempatan untuk dokter umum setempat sehingga dapat menjadi residen dan menjadi tenaga spesialis permanen di RS tersebut. Namun juga disadari untuk berbagai rumahsakit yang sangat terpencil, jalan yang bisa ditempuh adalah pengiriman residen untuk sementara, atau spesialis dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Sebagai penutup diskusi disimpulkan bahwa memang di berbagai fakultas kedokteran dan RS pendidikan telah ada berbagai inovasi yang sebenarnya sesuai dengan apa yang dimaksud dalam UU Pendidikan Kedokteran. Hal inovatif ini perlu dipertahankan agar akses masyarakat untuk pelayanan spesialistik dapat semakin seimbang antar daerah.

Apa yang akan dikerjakan besok pagi sebagai penutup?


timeRabu tanggal 16 April 2014
Diskusi Tatap Muka dan Penutupan Blended Learning Residen.

 

Klik daftar acaranya .

KLIK DISINI

Video Diskusi Webinar Residen sebagai DPJP

Video Rekaman Webinar Blended Learning Pengembangan Residen

Residen sebagai DPJP

Narasumber : Dr.dr Sri Mulatsih, Sp.A(K) dan Rimawati, SH, MHum


 Berikut ini adalah video hasil webinar tentang Residen sebagai DPJP (4 part video)

Video 1. Pengantar Dr.dr Dwi Handono

Video 2. Materi dari Rimawati, SH.,MHum

Video 3. Materi dari Dr.dr. Sri Mulatsih, Sp.A(K)

Video 4. Sesi Diskusi dan Kesimpulan Webinar

Pertemuan Penutup Residen

asm-residen

Website : www.kebijakankesehatanindonesia.net dan www.pendidikankedokteran.net


 

pengantar

Latar Belakang

Tanggal 1 Januari 2014, BPJS sudah beroperasi dan Jaminan Kesehatan Nasional memulai era baru.

Dalam konteks tenaga kesehatan yang melayani, di berbagai negara lain misal Amerika Serikat dan  Australia, residen merupakan tulang punggung pelayanan yang didanai oleh jaminan kesehatan. Sementara itu di Indonesia, peran residen masih belum jelas, apakah sebagai siswa atau sebagai pekerja (hasil diskusi ASM 2013). Pertanyaan yang sangat sering dikemukakan adalah:

  • Apakah jumlah dokter spesialis cukup untuk menangani pelayanan kesehatan di layanan sekunder dan tertier?
  • Bagaimana posisi dan peran Residen dalam program Jaminan Kesehatan Nasional?
  • Bagaimanakah hak dan kewajiban residen, termasuk hak untuk dibayar?
  • Bagaimanakah posisi hukum seorang residen?

Pada ASM 2013 (bulan Maret 2013) telah diselenggarakan pertemuan awal mengenai peran dan posisi residen, yang kemudian dilanjutkan dengan pertemuan di FK UI. Ada beberapa hal yang dapat dicatat dari pertemuan tersebut dan perkembangan terbaru yang terkait, termasuk kasus residen dr A yang dihukum pidana 10 bulan oleh Mahkamah Agung.

Berikut ini juga kami lampirkan hasil diskusi Blended Learning Residen dari Minggu 1 - Minggu 5 : Silakan KLIK DISINI


tujuan

Tujuan Workshop:
dengan pendekatan Blended Learning

Berdasarkan latar belakang tersebut, ada beberapa tujuan Workshop sebagai berikut:

  1. Tercapainya pemahaman tentang predikat DPJP dan implikasi hukumnya untuk residen yang bekerja di RS Pendidikan Utama dan RS Pendidikan Jaringan/yang membutuhkan;
  2. Tercapainya pemahaman tentang kewajiban Residen  di RS Pendidikan Utama dan Jaringan, termasuk credential dan clinical appointmentnya;
  3. Tercapainya pemahaman  tentang hal residen dalam penerimaan jasa profesi di sistem Jaminan Kesehatan Nasional.
  4. Menyusun Rencana Tindak Lanjut dan Usulan Kebijakan bagi pemerintah untuk Pengembangan Residen dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien.

Tatap Muka dan Live Streaming

Setelah sekitar 5 minggu melakukan workshop, akan dilakukan pertemuan tatap muka untuk mengakhiri kegiatan Blended Learning. Kegiatan dilakukan  di Yogyakarta, 16 April 2014 di Kampus Fakultas Kedokteran UGM. Para peserta dapat hadir di Yogyakarta atau menggunakan Webinar.

Jadual Acara:

 

Waktu

Keterangan

Moderator/Narasumber

08.00-08.30

Registrasi

 

08.30-09.00

Pembukaan

Sambutan-sambutan

icon-pdfPengantar dari penanggung jawab Program

dr. Ibnu Purwanto, Sp.PD, K-HOM (Wakil Dekan Bidang Keuangan, Aset dan Sumber Daya Manusia)

 

09.00-10.30

Laporan Proses Blended Learning

 

 

Apakah Residen dapat menjadi DPJP di:

  • RS Pendidikan Utama,
  • RS Pendidikan Jaringan, dan
  • RS yang membutuhkan?

Analisis berdasarkan UU Pendidikan Kedokteran, UU Praktek Kedokteran, 

Standar RS Pendidikan Utama (AMC), situasi pelayanan Jaminan Kesehatan di negara lain,  dan Permenkes mengenai DPJP.

 

Fasilitator :

Prof.dr Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

 

Narasumber:

icon-pdfDr. dr. Srimulatsih Sp.A(K)

Pembahas:

  1. dr. Ponco Birowo, PhD. SpU (Wakil Dekan II FK UI)
  2. Dr. Darwito, SH, Sp.B. Sp.B(K)Onk (Direktur Operasional RS Kariadi Semarang)

Moderator:
Prof. dr. Laksono Trisnantoro MSc,PhD

10.30-12.00

Break

 

 

Alur Proses Credential dan Clinical Appointment Residen di RS Pendidikan Utama, dan RS yang membutuhkan.

 

“Dulu, sekarang, dan usulan mendatang”

 

Narasumber:

dr. Ibnu Purwanto, Sp.PD, K-HOM (Wakil Dekan Bidang Keuangan, Aset dan Sumber Daya Manusia)

Dicon-pdfr. M. Syafak Hanung, Sp.A
(Direktur RSUP Dr. Sardjito)

drg. Maria Wea Betu, MPH
(Direktur RS Bajawa)

Moderator:

DR. dr. Dwi Handono, MKes

12.00-13.00

ISHOMA

 

13.00-14.30

Pertanggung-jawaban Hukum Residen dan DPJP:

Pertanggungjawaban hukum pidana-perdata / medical liability system dikaitkan dengan peran residen (sebagai DPJP atau bukan), fakultas kedokteran dan RS pendidikan. Bagaimana konsep tanggung-renteng dipergunakan dalam kasus pidana dan perdata? 

 

Pembicara:

  1. Rima (Fakultas Hukum UGM)
  2. Dr. Darwito, SH, Sp.B. Sp.B(K)Onk (Direktur Operasional RS Kariadi Semarang)

 

Moderator:
Dr. dr. Sri Mulatsih SpA (K)

14.30-15.45

Pembayaran untuk Residen oleh BPJS: Mungkinkah?

Pembicara;

1. Andayani Budi Lestari (Kepala BPJS Div. Regional VI)

2. Ketua AIPKI

3. Abidin Widjanarko

Asosiasi RS Pendidikan (ARSPI)

Moderator:

Dr. Andreasta Meliala MKes

15.45-16.00

Penutupan

Rumusan Rekomendasi kebijakan mengenai  fungsi DPJP  dan remunerasi untuk PPDS

  • Residen di IGD
  • Residen di luar RS Pendidikan Utama
  • RS di RS Pendidikan Utama

Dr.dr Sri Mulatsih, Sp.A(K)

DR. dr. Dwi Handono, MKes

 

registrasiBiaya Registrasi

  1. Mengikuti Workshop selama 1 bulan melalui tele-training: Rp 5.000.000,- untuk satu tim.  Disarankan tim di RS Pendidikan bersama dengan FK. Harapannya anggota tim adalah:

a.    Dekanat FK dan Direksi RS (sekitar 4 orang)
b.    Anggota Bakordik
c.    Kepala Diklit
d.    Bagian atau Konsultan Hukum RS
e.    Ka PPDS.
f.    ....

Jumlah ideal sekitar 10 orang yang akan membahas berbagai hal.

  1. Jika tidak mengikuti Workshop selama 1 bulan, maka untuk menghadiri pertemuan tatap muka selama 1 hari pada tanggal 16 April 2014 adalah sebesar Rp. 500.000 (lima ratus  ribu rupiah) per orang dan mendapatkan fasilitas konsumsi selama meeting, dan sertifikat.

Intan Farida Yasmin
Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Gedung IKM Sayap Utara Lt. 2, Fakultas Kedokteran UGM
Jl. Farmako, Sekip Utara, Yogyakarta 55281
Ph. /Fax : +62274-549425 (hunting)
Mobile : +628129017065
Email : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Website : www.kebijakankesehatanindonesia.net / www.pendidikankedokteran.net 

Pembayaran dilakukan melalui Virtual Account FK UGM nomor:
Nomor : 9888807171130003
Nama : Online Course/Blended Learning FK UGM
Bank : BNI 46

 

BL Residen Minggu 3

Minggu 3: 31 Maret – 4 APRIL 2014
Residen, dan DPJP

Penanggung-jawab:

Rimawati SH, M Hum dan Dr. dr. Sri Mulatsih, Sp.A(K)

pengantarPengantar


 Ada beberapa pertanyaan terkait dengan DPJP di awal Blended Learning ini:

1. Apakah Residen dapat menjadi DPJP di RS Pendidikan Utama?

Secara konsepsual, DPJP di RS Pendidikan Utama adalah para spesialis.Akan tetapi secara kenyataan, tidak semua spesialis berada di bangsal, di ruang periksa, ataupun di ruang operasi.Sebagai gambaran jumlah dokter spesialis anastesi ataupun bedah tidak mampu menangani seluruh operasi yang dilakukan.Dokter spesialis pendidik sering merangkap bekerja di luar RS Pendidikan.Sebagai catatan UU Praktek Kedokteran memperbolehkan dokter spesialis praktek di 3 tempat.

Pertanyaan praktisnya adalah:
Apakah residen anastesi di ruang operasi yang tidak didampingi secara fisik oleh spesialis anastesi merupakan DPJP?

Jika bukan DPJP, apakah dokter spesialis anastesi yang DPJP namun tidak berada di ruangan akan bertanggung-jawab secara keseluruhan termasuk aspek hukum pidana dan perdata, serta administratifnya jika ada masalah yang terkait dengan hukum? Kasus yang terjadi pada Dokter A di Manado perlu menjadi pembelajaran bagi kita semua.

2. Apakah Residen dapat menjadi DPJP di RS Pendidikan Jaringan dan
    di RS yang membutuhkan?

Selain berada di RS Pendidikan Utama, residen juga mendapatkan penugasan ke RS jejaring atau RS lain pada suatu tahap tertentu, terutama pada saat tahap mandiri. Dalam kerangka penugasan ini, residen dianggap sebagai tenaga dokter spesialis yang dapat membantu secara penuh proses pelayanan di RS tersebut Meskipun residen melaksanakan peran pelayanan kesehatan yang besar, proses pelayanan tersebut merupakan bagian dari proses pendidikan. Dalam proses pendidikan yang umumnya terdiri dari tahap awal, tahap menengah dan tahap mandiri, residen memperoleh supervisi secara bertingkat dari para dokter spesialis konsultan di RS pendidikan.

Pertanyaan praktis:
Apakah residen ini yang berada di tempat jauh dapat menjadi DPJP?

Dalam hal ini memang residen dapat memiliki tanggung jawab penuh dalam pengelolaan pasien sesuai dengan penugasan yang diterimanya (clinical appointment) dari RS.Dalam kondisi ini, masih dipertanyakan apakah residen dapat pula bertanggung jawab penuh secara hukum bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (medical mishaps).

3. Bagaimana pembayaran untuk residen?

Jika residen menjadi DPJP atau bukan DPJP, bagaimana dengan jasa profesi yang ada di dalam INA-CBG. Apakah akan diberikan ke residen: sebagian besar, atau sebagian kecil, atau tidak sama sekali,

Catatan minggu lalu


catatanBerikut ini ada berbagai tanggapan dari peserta diskusi Webinar minggu lalu sebagai berikut:

Prof Budi Mulyono, selaku mantan direktur RSUP Sardjito.
Menyatakan bahwa di Sardjito telah dibuat rancangan untuk memperlakukan residen seperti pekerja dengan memberi insentif sesuai tahapan/kompetensi residen tersebut dan juga memberikan jamina kesehatan. Namun, hal ini belum terlaksana karena masih banyak pihak yang menentang rancangan ini terutama dari perwakilan SMF masing-masing sehingga untuk bisa mewujudkan rancangan ini masih butuh perjuangan lebih lanjut terutama di RSUP Sardjito

dr Eko, RSSA Malang
Menurut dr Eko dari RSS Malang, mengubah sistem ini pastilah sulit. Hambatan terbesar adalah secara hukum, apakah ada status pengakuan residen ?karena selama ini status yang bisa dipekerjakan adalah dokter umum dan dokter spesialis. Residen itu sendiri adalah masih dokter umum yang melakukan keterampilan dokter spesialis. Jika memang residen dalam undang-undang Dikdok berhak mendapat insentif, bagaimana dengan undang2 lain seperti dari permenkes dan juga undang-undang daerah yang masih belum mendukung UU dikdok tersebut?

dr Kanadi, RSCM
dr Kanadi dari RSCM mengatakan bahwa dalam studi banding ke Singapore yang telah menerapkan sistem Hospital Based yang membayar jasa residen ternyata jumlah residennya sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah residen di RS pendidikan Indonesia yang mengambil sistem university based. Apakah tidak lebih baik jika memberikan subsidi biaya pendidikan saja kepada residen daripada memikirkan insentif jasa untuk residen karena akan lebih mudah daripada merombak sistem keseluruhan. Kesulitan menentukan insentif itu seperti bagaimana menentukan insentif residen yang akan berotasi ke RS jejaring untuk mencapai target kompetensi? Dan bagaimana bisa memberikan insentif jika residen bekerja dibawah supervisi DPJP?Akan lebih mudah pemberian insentif pada residen yang memang sudah tidak bekerja di bawah supervisi konsulen.

Dr Sudadi, RS Sardjito
Dr Sudadi dari RS Sardjito sangat mendukung dengan perubahan sistem ini. Pembayaran jasa residen harus disesuaikan sesuai kompetensi residen tersebut. hambatan utama adalah pelaksanaannya karena hingga kini saja dokter spesialis /konsulen saja belum jelas sistem renumerasinya.

Dr Anggi, RS Moewardi
Dr Anggi dari RS Moewardi sangat mendukung perubahan sistem ini. Di RS Moewardi pun telah diterapkan sistem insentif untuk residen yang meskipun jumlahnya kecil karena dana terbatas dan harus dibagi dengan jumlah total residen yaitu 800an orang.

Dr Budi, RSSA Malang
Menurut dr Budi RSSA Malang, secara normatif residen bisa dianggap sebagai pekerja dan dibayar.Masalah utama adalah bagaimana mengatur pembagian insentif tersebut.Sebaiknya ada kesepekatan dari komite medis dengan memberi kewenangan PPDS/residen oleh KPS dalam melakukan suatu tugas sesuai kompetensinya sehingga berhak mendapat insentif.

Dari berbagai jawaban ini terlihat bahwa hampir seluruh penanggap menyatakan bahwa memang harus ada perubahan, walaupun sulit. Oleh Prof Laksono Trisnantoro dijawab bahwa perubahan kebijakan dan manajemen residen di RS Pendidikan ini membutuhkan proses yang panjang dan tidak mudah. Mengapa?
Dalam perubahan ini, tidak hanya masalah perubahan operasional, namun juga perubahan kultural.Perubahan kultural membutuhkan perubahan cara pandang, filosofi, dan kemauan untuk membuang tradisi yang buruk.Mengenai dasar hukum perubahan sudah sangat kuat yaitu UU Pendidikan Kedokteran.

Salah satu hal kunci dan praktis dalam perubahan ini adalah masalah jumlah residen yang masuk ke RS Pendidikan. Sebagai gambaran praktis perubahan di RS Sardjito:
Kebutuhan residen masuk ke RS Pendidikan ditentukan secara bersama oleh RS Pendidikan dan FK.Hal ini merupakan bagian dari tuntutan AKreditas JICI RS Pendidikan mengenai kebijakan bersama. Oleh karena itu apabila misalnya RS Sardjito di tahun 2015 hanya butuh 5 residen Obsgin sesuai dengan beban pekerjaan dan anggaran untuk membiayainya maka hanya diterima 5. Apabila FK UGM mempunyai 8 residen yang harus masuk ke RS Pendidikan maka 3 residen lainnya harus masuk ke RS Pendidikan di luar RS Sardjito. Kasus ini tidak mudah karena membutuhkan perubahan operasional dan kultural di KPS FK UGM, Dekanat, dan Direksi RSS.Juga dalam hal ini perlu ada komunikasi dengan BPJS sebagai pembayar residen.

Tujuan Minggu ini:


tujuan

1. Memahami posisi hukum residen dalam kasus pidana dan perdata

2. Memahami makna DPJP untuk residen
3. Memahami situasi yang terjadi di tempat anda

 

 

Kegiatan yang dilakukan Minggu ini:


keyboardKegiatan 1:
Mencermati Isi Seminar tanggal 6 dan 7 Maret 2014 terutama sesi yang terkait dengan Residen sebagai DPJP. Prof Herkutanto SH MLM, Dr. Agung Sutiyoso SpBO, dan Rimawati SH MH. KLIK disini

 

Kegiatan 2:
Para peserta diharapkan aktif dalam diskusi Webinar dengan narasumber:
- Dr. Sri Mulatsih SpA(K)
- Rimawati SH, MHum
- Prof. dr. Budi Mulyono SpPK(K)

Pada hari Jum at tanggal 4 April pukul 10 sampai dengan 11 pagi.

Kegiatan 3:
Anda diharapkan menjawab pertanyaan di bawah ini.Tujuan untuk membahas pertanyaan ini adalah untuk memperdalam pemahaman anda mengenai kasus Dr.A sebagai Residen dan DPJP untuk residen.
- Kasus Dr.A: Mengapa residen tidak dihukum?
- Apa yang terjadi di RS di Indonesia; APakah memang benar kekurangan spesialis sehingga residen harus bekerja melayani pasien dan dapat berfungsi sebagai DPJP?
- Apakah sebagian residen di RS Pendidikan perllu menjadi DPJP, misal di PPDS Anastesiologi yang te-facto para residen yang melakukan kegiatan pelayanan.

Pengiriman tugas:


kotak posSetelah menuliskan jawaban atas pertanyaan tersebut, silahkan kirim email ke This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
dan fasilitator anda.
Jawaban anda attach dengan kode file:
Pokja1_M3_Residen_xxx

(xxx, nama pengirim dan asal)

 

 

Apa yang akan dikerjakan pada kegiatan mendatang?


timeMinggu Depan:

Membahas Usulan Kebijakan untuk Residen

sebagai DPJP dan Kompensasinya

 

 

 

 

Minggu depan akan dipergunakan untuk penyusunan kerangka kebijakan mengenai manajemen residen di lembaga pendidikan tinggi dan di rumahsakit pendidikan. Akan dilakukan webinar untuk membahas:

1. Bagaimana analisis kebijakan Residen sebagai DPJP dan kompensasinya.
2. Bagaimana usulan praktisnyua:
a. Untuk proses credentialing dan hubungan antara FK dengan RS Pendidikan Utama/Jaringan,
b. Dalam Credentialing apakah mungkin ada predikat DPJP untuk residen?
c. Bagaimana pembayaran untuk residen di RS Pendidikan? Apakah digaji bulanan atau fee-for-service? Darimana sumber dananya? Apakah dari dana klaim INA CBG yang berasal dari BPJS?
3. Bagaimana situasi masa depan? Apa yang harus diubah dalam manajemen residen di Indonesia dan di lembaga kita? Apakah termasuk perubahan kultural, disamping berbagai perubahan hukum, prosedural, dan berbagai hal lainnya?

Kemudian catatan Pentingnya:
Luangkan waktu anda dan lingkari tanggalnya untuk menghadiri,

Diskusi Penutup dengan para Pakar:
pada hari Rabu tanggal 16 April 2014
Acara dimulai pukul 08.30 diakhiri pukul 15.00.
Silahkan klik di sini untuk melihat acara detilnya