Ahli Minta IDI dan Kolegium Kedokteran Dipisah

Category: Berita Nasional Written by Admin Hits: 5209

Guru Besar Fakultas Kedokteran UGM Laksono Trisnantoro ahli yang dihadirkan pihak Pemohon saat menyampaikan keahliannya dalam persidangan perkara Pengujian UU Praktik Kedokteran dan UU Pendidikan Dokter, Rabu (14/6) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Foto Humas/Ifa.

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) dan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Dokter (UU Pendidikan Dokter), Rabu (14/6). Agenda sidang perkara Nomor 10/PUU-XV/2017 tersebut yakni mendengar keterangan saksi dan ahli Pemohon.

Guru Besar Fakultas Kedokteran UGM Laksono Trisnantoro meminta adanya pemisahan antara koligium dan organisasi profesi. Seharusnya, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bertindak sebagai organisasi profesi, sedangkan Kolegium fokus dalam pengembangan keilmuan atau pendidikan. “Dengan penyatuan IDI dan Kolegium sekarang membuat monopoli dan penumpukan kekuasaan,” jelasnya.

Ia menyebut ujian kompetensi dokter idealnya terletak di tangan Kolegium. Sebab, ranah tersebut kaitannya dengan pembelajaran akademik. Adapun IDI lebih kepada sisi pelayanan para dokter di tengah masyarakat. Namun praktiknya selama ini, dua hal di atas menjadi kewenangan dari IDI.

Menurutnya, praktik penumpukan kekuasaan dan kewenangan tak terjadi di organisasi kedokteran di luar negeri. Ia mencontohkan di Amerika, kolegium dan organisasi profesi kedokteran dipisah. “Awalnya memang digabungkan, tetapi seiring berjalannya waktu lalu diubah. Hal tak jauh beda juga di Australia yang dibuat terpisah,” jelasnya.

Di sisi lain, penyatuan Kolegium dengan IDI membuat ranah keilmuan kedokteran dapat berjalan stagnan. Sebab, hakikat kolegium adalah menjadi pusat riset dan pengembangan keilmuan. Adapun IDI lebih pada ranah yang bersifat praktis.

Sementara saksi Yoni Fuadah Syukriani menjelaskan konflik dirinya dengan IDI. Masalahnya terkait IDI yang menolak kebijakan Dokter Layanan Primer (DLP). Yoni mengungkapkan dirinya dicopot dari jabatannya selaku Ketua IDI cabang Bandung karena dirinya terlibat dalam program DLP. Ia berperan selaku dekan FK Unpad yang ikut menelurkan kebijakan pembuatan jurusan DLP di kampusnya.

“Selain itu banyak intimidasi kepada dokter-dokter yang ikut program DLP. Bahkan di salah satu rumah sakit, ancaman dilakukan secara verbal dengan ditakuti tak akan mendapat surat ijin praktik,” jelasnya.

Menanggapi hal tersebut, Ketua MK mengaku kecewa mengetahui fakta IDI menolak program DLP. Sebab, MK pernah memutus perkara yang diajukan Persatuan Dokter Umum Indonesia (PDUI) yang mempermasalahkan terkait DLP. Isi putusan MK menyatakan DLP tidak melanggar Konstitusi. “Jika putusan MK tidak dipatuhi ya jelas aneh. Kita ini bernegara harus patuh pada putusan hukum,” jelasnya.

Arief menyatakan Presiden Jokowi sudah berucap agar semua pihak patuh pada putusan MK. Sebab MK satu satunya lembaga penafsir UUD 1945 yang sah di negeri ini. Dirinya tak habis pikir bagaimana organisasi IDI dapat tidak patuh pada hukum. Ditambah, MK juga masih menghormati IDI dengan membolehkan mereka sebagai Pihak Terkait yang terlibat dalam sidang ini. “Saya minta di sidang berikutnya Menteri Kesehatan hadir di MK untuk menjelaskan hal ini,” jelasnya

sumber: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=13825&menu=2#.WUITGlWGPb1