Uji Klinis Temuan Alkes dan Obat Bukan Penghambat Inovasi

Category: Berita Nasional Written by Super User Hits: 6322

Jakarta, Sering didengar keharusan uji klinis temuan alat kesehatan (alkes) maupun obat bisa menghambat inovasi. Namun peneliti menegaskan pendapat itu tidak benar.

Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) memang menfasilitasi aneka penelitian di Tanah Air. Namun ketika penelitian itu terkait dengan ranah kesehatan, yang notabene bersentuhan dengan pasien, maka Kemenkes merupakan regulator utama peredaran alat kesehatan.

Saat ada inovasi baru, kemudian memfasilitasi penelitian, memang benar itu di bidangnya Kemenristek Dikti. Tapi saat masuk ke uji klinis, harus badan independen yang melakukan," kata manajer riset dan pengabdian masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Dr dr Budi Wiweko SpOG(K).

Kepada detikHealth baru-baru ini, pria yang akrab disapa dr Iko ini mencontohkan badan independen misalnya saja FKUI atau fakultas kedokteran universitas lain yang memang punya lembaga uji klinis.

"Kita tidak menghambat inovasi, tapi justru mau membantu. Dan kita memang ingin mendesain lagi uji klinisnya dari in vitro dulu, dari nol lagi. Penting diingat, kita nggak menghambat inovasi, dan kita mau menyelamatkan pasien," tambah dr Iko.

Ia menambahkan misal ada alkes baru yang belum diuji klinis tapi sudah dikomersialisasi, sementara yang akan memakai adalah dokter untuk mengobati pasien, maka jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dokter yang akan mendapat tuntutan. Sebab dokterlah user-nya. Sementara penemu alat kesehatan itu umumnya tidak akan mendapat tuntutan.

dr Iko mengatakan, untuk melakukan uji klinis penting diingat bahwa peneliti tidak boleh terlibat di dalamnya. Justru jika memungkinkan, seharusnya si inventor atau penemu yang mendanai. Misalnya ada akademisi menemukan alat kesehatan dan ada badan independen, dia akan meminta alat temuannya diuji dengan biaya sendiri. Sebab, jika alat itu laku, dijual, maka keuntungan anak masuk ke kantong si penemu.

"Kecuali kalau pengembangannya dari universitas. UI misalnya mengembangkan alkes, kan pemerintah tuh, patennya pun sebagian ke pemerintah," kata dr Iko.

Temuan alat kesehatan yang belakangan ini menjadi perbincangan adalah ECCT temuan Dr Warsito. Kemenkes dan Kemenristek Dikti sudah melakukan review terkait penemuan tersebut. Plt Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) drg Tritarayati, SH, dalam hasil review mengatakan riset yang sebelumnya dilakukan Warsito perlu dilanjutkan dan difasilitasi oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) beserta Kemristek Dikti. Hal ini karena dari riset sebelumnya, keamanan dan efektivitas alat tersebut tak bisa disimpulkan.

Rencananya akan dilibatkan 8 rumah sakit pendidikan yang bekerja sama untuk mengembangkan alat. Selain itu akan dibentuk juga konsorsium yang terdiri dari ahli untuk mengawasi jalannya protokol dan mendorong agar riset cepat selesai.

Terkait ECCT, dr Iko mengatalan UI pernah menawarkan dan berkomunikasi dengan tim Warsito pada 19 Januari lalu ketika Warsito dan tim mengikuti kursus tentang pengembangan alkes yang diselenggarakan FKUI bersama Kemenkes. dr Iko menuturkan, FKUI juga pernah diundang ke laboratorium Warsito. Namun, kala itu dr Iko tidak bisa hadir dan pihak UI diwakilkan oleh salah satu profesor.

"Saat itu sempat dikatakan penelitiannya memang harus diulang lagi. Sekarang ini kita kan mau membuktikan alat ini efektif atau nggak. Kalau nggak ya dihentikan tapi kalau efektif kita teruskan. Justru kita mau meluruskan," tandas dr Iko.

sumber: detik