PENISTAAN DOKTER

IDI Ajukan Judicial Review UU No 36/2014

IDI

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bersama Perhimpunan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) dan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang (UU) No 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.

Sebab UU tersebut telah memuat pasal-pasal “siluman” yang memporakporandakan profesi dokter.

“Organisasi profesi dirugikan karena kewenangan organisasi profesi dalam me­rumuskan standar profesi dokter menjadi domain dan kewenangan pemerintah. Semua diatur pemerintah. Ini berbahaya,” kata Ketua Umum PB IDI, Zaenal Abidin kepada wartawan, di Jakarta, Selasa (7/7) petang.

Hadir dalam kesempatan itu, Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Bambang Suprihatno dan Ketua Umum PDGI, Frischa Hanum serta perwakilan dari organisasi kedokteran lainnya.

Zaenal menuturkan, pihaknya pernah ikut pembahasan dalam RUU No 36/2014 pada sekitar awal 2012. Dalam kesempatan itu ditegaskan agar tenaga medis tidak masuk dalam bahasan RUU tentang tenaga kesehatan tersebut.

“Pada 2013, pembahasan RUU No 36/2014 ini sempat vakum. Tiba-tiba pada Oktober 2014, telah disahkan UU No 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan yang isinya justru tenaga medis di dalamnya. Dan isinya jelas-jelas mencampuradukan profesi dokter dengan tenaga kesehatan,” ucapnya.

Padahal, lanjut Zaenal Abidin, tenaga medis yang terdiri dari dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis su­dah diatur dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

“Lembaga indenpenden Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) terkena imbasnya. Dengan adanya UU No 36/­2014, lembaga tersebut secara hukum dibubarkan. Padahal KKI merupakan lembaga penegakan disiplin dan kompetensi dokter,” ujarnya.

Ditambahkan, UU Tenaga Kesehatan juga mengandung banyak kerancuan. Karena pengaturan semua tenaga kesehatan disatukan, sehingga potensi bertentangan dengan UU yang ada, seperti UU Kesehatan dan UU Praktik Kedokteran.

“Padahal, kewenangan tenaga medis, paramedis, atau tenaga kesehatan itu berbeda. Jika digabung, menimbulkan kerancuan,” katanya.

UU Tenaga Kesehatan mengelompokkan tenaga kesehatan dalam 13 jenis, termasuk tenaga medis. Tenaga kesehatan lain di antaranya tenaga psikologi klinis, keperawatan, kebidanan, kefarmasian, kesehatan masyarakat, kesehatan lingkungan, dan gizi.

Selain itu ada tenaga keterapian fisik, keteknisian medis, teknik biomedika, kesehatan tradisional, dan tenaga kesehatan lain.

“Melalui UU ini pengobat tradisional (battra) menjadi sejajar dengan dokter. Begitupun tukang gigi dan praktik dokter gigi. Itu jelas merugikan masyarakat penerima layanan kesehatan,” katanya. (TW)