Keadaan Pendidikan Kedokteran di Indonesia

Saat ini ada situasi yang memprihatinkan untuk pendidikan kedokteran di Indonesia. Ada 72(tujuh puluh dua) institusi pendidikan kedokteran dan 26 (dua puluh enam) institusi pendidikan kedokteran gigi milik pemerintah dan swasta yang menyelenggarakan pendidikan kedokteran di Indonesia (data PDPT 2012). Persebaran institusi pendidikan dokter dan dokter gigi dapat dilihat pada grafik di bawah ini.

Grafik 1.  Persebaran Institusi Pendidikan Dokter di Indonesia

gb1

Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa institusi pendidikan dokter terbanyak terdapat di Pulau Jawa dan diikuti oleh Pulau Sumatera.Sedangkan wilayah dengan jumlah institusi pendidikan dokter terkecil adalah Maluku dan Papua sejumlah 2 IPD, serta Kalimantan sejumlah 4 IPD.Akreditasi program studi kedokteran diklasifikasi berdasarkan jenjang pendidikan per pulau dan akreditasi untuk tiap bidang ilmu.

Grafik 2.  Persebaran Institusi Pendidikan Dokter Gigi di Indonesia

gb2Persebaran institusi pendidikan dokter gigi lebih ekstrim lagi karena 60 % berada di pulau Jawa. Sedangkan wilayah Makulu dan Papua belum memiliki IPDG.

Tabel 1. Akreditasi IPD Jenjang S1 di Beberapa Wilayah di Indonesia

tabel1

Sumber : Direktori SK Hasil Akreditasi Program Studi – September 2012
 (www.ban-pt.depdiknas.go.id)


Berdasarkan Tabel 1 di atas, akreditasi yang terbanyak adalah B di Pulau Jawa.Masih banyak program studi yang belum terakreditasi.Jumlah terbanyak yang belum diakreditasi terdapat di Pulau Sumatera. Di Pulau Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi serta Papua, jumlah program studi yang belum terakreditasi sama atau lebih besar dengan yang sudah terakreditasi. Untuk program studi dengan akreditasi A terbanyak terdapat di Pulau Jawa. Disparitas ini juga tampak IPDG, dan tergambar melalui tabel berikut:


Tabel 2. Akreditasi IPDG Jenjang S1 di Beberapa Wilayah di Indonesia

tabel2

Sumber : Direktori SK Hasil Akreditasi Program Studi – September 2012
 (www.ban-pt.depdiknas.go.id)

Dengan melihat data di atas maka kualitas 72 FK dan 26 IPDG ini sangat bervariasi sehingga ada sebutan institusi pembina dan ada yang disebut sebagai institusi yang dibina. Untuk itu nama besar Fakultas sebagai pembina dapat menjadi jaminan karena bila peminatnya banyak maka akan mendapat mahasiswa yang berkualitas. Akibatnya jurang pemisah antara institusi pembina dengan yang baru menjadi semakin besar. Dengan sebutan ini secara nyata diakui ada perbedaan mutu proses pendidikan antar IPD / IPDG di Indonesia. Hal ini merupakan hal buruk dalam konteks filosofi pendidikan dimana diharapkan kesetaraan dalam mutu pendidikan. Dengan demikian di berbagai daerah masyarakat mempunyai risiko ditangani tenaga kesehatan yang kurang baik akibat mutu pendidikan yang dialaminya rendah.

Dalam hal ini ada pertanyaan penting pula: Apakah FK Pembina perlu dibantu atau didukung. Ada kekawatiran bahwa FK Pembina akan terlalu banyak beban. Kegiatan pembinaan membutuhkan sumber daya yang dapat mengganggu pengembangan institusi pembina. Risikonya adalah penurunan kemampuan internal. Akibatnya mutu pendidikan FK Pembina juga akan turun. Dampak lebih lanjut: FK-FK Indonesia sulit bersaing di level dunia ataupun di Asia Tenggara.

Sebagaimana diketahui rangking perguruan tinggi Indonesia masih rendah dalam urutan perguruan terbaik di dunia. Keadaan ini memprihatinkan mengingat bahwa di Asia Tenggara akan segera dijalankan kebijakan terbuka mengenai migrasi tenaga dokter dan adanya kenyataan bahwa modal asing di pelayanan kesehatan sudah terbuka di Indonesia. Disamping itu UU Pendidikan Tinggi membuka peluang bagi perguruan tinggi asing untuk beroperasi di Indonesia dengan bermitra bersama PT Indonesia.