Latar Belakang

Category: JKN Written by Super User Hits: 7707

Jaminan Kesehatan Nasional dimulai sejak 1 Januari tahun 2014 yang secara bertahap menuju Universal Health Coverage. Tujuan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) secara umum yaitu mempermudah masyarakat untuk mengakses pelayanan kesehatan dan mendapatkan layanan kesehatan yang bermutu. Perubahan sistem pembiayaan menuju Universal Coverage adalah hal yang baik namun mempunyai dampak dan risiko sampingan. Ketidakmerataan ketersediaan fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan dan kondisi geografis, menimbulkan permasalahan baru berupa ketidakadilan antara kelompok masyarakat. Sebagai gambaran di Indonesia timur[1]: Di daerah kawasan timur yang jumlah providernya terbatas dan akses-nya kurang menyebabkan kurangnya supply (penyediaan pelayanan oleh Pemerintah dan pihak lain), sehingga akan muncul kesulitan terhadap akses ke fasilitas kesehatan. Hal ini berimbas pada masyarakat di wilayah Indonesia bagian timur yang tidak memiliki banyak pilihan untuk berobat di fasilitas kesehatan. Sementara di wilayah Indonesia bagian barat dimana ketersediaan providernya banyak, diperkirakaan pemanfaatan provider akan lebih banyak disertai benefit package yang tidak terbatas. Hal yang mengkawatirkan adalah tanpa adanya peningkatan supply di Indonesia bagian timur, dana BPJS Kesehatan akan banyak dimanfaatkan di daerah-daerah perkotaan dan wilayah Indonesia Barat sehingga membutuhkan kegiatan monitoring yang seksama.

Masalah lain adalah ketimpangan manfaat BPJS untuk rumah sakit yang diatur dalam Permenkes mengenai INA-CBG. Fasilitas yang berbeda di Regional I sampai V menyebabkan daerah tertentu hanya mendapat manfaat yang relatif lebih kecil dibanding regional lainnya.

Lingkup monitoring dan evaluasi kebijakan SJSN dan BPJS dapat dibedakan dalam dua area besar : (1) Penyediaan Pelayanan Kesehatan; dan (2) Pembiayaan Kesehatan secara menyeluruh[2]. Penyediaan pelayanan kesehatan tergantung pada infrastruktur di masyarakat. Tanpa ada perbaikan infrastruktur maka dikawatirkan  pemerataan pelayanan kesehatan jadi sulit dan jaminan kesehatan bagi masyarakat merupakan hal yang tidak riil.

Pembiayaan kesehatan secara menyeluruh berhubungan erat dengan strategi kebijakan pembiayaan yang tidak melalui skema BPJS. Seperti diketahui saat ini anggaran kesehatan pemerintah pusat terbagi atas 3 kelompok besar: (1) anggaran yang berada di BPJS; (2)  anggaran yang berada di Kementerian Kesehatan; dan (3) anggaran yang berada di berbagai Kementerian dan badan di luar Kemenkes.  Berdasarkan data dari Kemenkeu, sampai tahun 2012 dana sektor kesehatan yang dikelola oleh Kemenkes dan  Kementerian lain adalah sebagai berikut:

 

 

 

 

 

Pada tahun 2014, sebagian anggaran Kemenkes berpindah ke BPJS. Pemindahan ini tentunya merubah pola perencanaan angaran. Penggunaan anggaran BPJS tergantung pada klaim yang tidak memperhitungkan alokasi perencanaan. Sementara itu untuk anggaran Kemenkes dan yang lain ditentukan dalam proses perencanaan yang teknokratis dan mempunyai berbagai kriteria dengan landasan ideologi. Kedua jenis alokasi penggunaaan anggaran tersebut berbeda pola.

Ketika sistem claim di BPJS dilakukan pertanyaan yang akan menjadi isu penting dalam penelitian ini adalah: bagaimana dengan program pembangunan fasilitas dan SDM di daerah yang belum lengkap. Pertanyaan pentingnya adalah apakah ada anggaran investasi dari Kementerian Kesehatan dan sumber lain untuk menyeimbangkan fasilitas dan SDM kesehatan di seluruh wilayah Indonesia. Dalam hal ini, pembiayaan investasi dan berbagai tindakan medik yang mungkin belum terkover oleh BPJS memangmerupakan tanggung-jawab Kementerian Kesehatan.  Di samping itu, peranan Pemerintah Daerah yang mampu untuk mengalokasikan pembiayaan kesehatan menjadi hal kunci.

Dengan demikian permasalahan yang muncul dalam konteks monitoring dan evaluasi kebijakan adalah: (1) Apakah kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional oleh BPJS Kesehatan ini dapat meningkatkan akses pelayanan kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermutu kepada seluruh warga Indonesia dengan asas keadilan; (2) Jika terjadi ketidak seimbangan fasilitas dan SDM, apakah dalam waktu 5 tahun ke depan (2014 -2019)  akan tersedia anggaran investasi.



[1] Data dari Kementerian Kesehatan

[2] Prof. dr. Bhisma Murti