Category: Reportase Hits: 11442

Pendapat Hukum
Terhadap Perjanjian Antara Profesi Dokter
Dan Mitranya (Perusahaan Farmasi)

Oleh: Eddy OS Hiariej[1]


Kasus Posisi

  1. Bahwa terdapat kesepakatan bersama tanggal 11 Juni 2007 antara IDI dengan GP Farmasi yang berisi Ikatan Dokter Indonesia (termasuk organisasi seminat/spesialis dan organisasi lain di lingkungan IDI) harus menyusun dan memverifikasi berbagai kegiatan resmi organisasi, khususnya yang berkaitandengan sponsorship atau pendanaan dari anggota GP Farmasi Indonesia sertamelakukan koordinasi dengan GP Farmasi Indonesia untuk tindak lanjutnya.Hubungan antara GP Farmasi selaku produsen yang profit oriented dengandokter yang memiliki kewenangan dalam meresepkan obat dan kewajibanuntuk menambah pengetahuan, dari sudut pandang rezim undang-undang tindak pidana korupsi sangat berpotensi menimbulkan konflikkepentingan yang bersifat real dan potensial.
  2. Bahwa dengan dikeluarkannya Penerapan Peraturan Menteri Kesehatan RepublikIndonesia Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pengendalian Gratifikasi maka setiappenerimaan Gratifikasi yang diterima oleh aparatur Kementerian Kesehatanharus dilaporkan.
  3. Bahwa Permenkes No 14 Tahun 2014 mengatur aparatur Kementerian Kesehatan,yaitu semua orang yang bekerja di lingkungan Kementerian Kesehatan, termasuk profesi dokter.Sehingga untuk tenaga kesehatan diluar Kementerian Kesehatan tidaktercakup dalam aturan ini.
  4. Bahwa pada saat ini, perbincangan dikalangan profesi kedokteran diramaikan dengan isu gratifikasi pada profesional dokter, terlebih lagi dari beberapa media cetak dan elektronik mengangkat pemberitaan terkait issue gratifikasi di kalangan dokter yang pada akhirnya mendapatkan berbagai respon beragam baik dari kalangan dokter dan dokter gigi maupun masyarakat.
  5. Bahwa berdasarkan “KAJIAN HUKUM KERJASAMA DOKTER DENGAN MITRA, YANG TIDAK BERTENTANGAN DENGAN KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA DAN PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN”, dalam menjalankan profesi dan pekerjaannya, seorang dokter diwajibkan untuk meningkatkan pendidikan dan ilmu pengetahuan kedokteran secara berkelanjutan yang dilandasi dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) dan di atur dalam peraturan perundang – undangan yaitu:

Bahwa dengan mengikuti pendidikan dan pelatihan tersebut setiap dokter atau dokter gigi akan menerima Sertifikat Kompetensi ( Serkom ) oleh organisasi profesi sesuai pasal 27 Undang – Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dimana Sertifikat Kompetensi ( Serkom ) merupakan salah satu persyaratan untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi ( STR ) dokter atau dokter gigi dari Konsil Kedokteran Indonesia ( KKI ) yang masa berlaku selama 5 tahun sehingga dapat di gunakan untuk mendapatkan Surat Ijin Praktik ( SIP ) dari Dinas Kesehatan Kota / Kabupaten dan harus terpenuhinya kembali salah satu persyaratan tersebut dengan selalu mengikuti pendidikan dan pelatihan kedokteran dan kedokteran gigi berkelanjutan. (pasal 29 butir 3 huruf d dan butir 4 ), hal ini juga telah diatur dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia ( Perkonsil ) Nomor 6 tahun 2012 tentang Registrasi Dokter dan Dokter Gigi. Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Kedokteran Berkelanjutan tersebut selain dalam rangka memenuhi perintah dan kewajiban terhadap Undang-Undang dalam pemenuhan untuk mendapatkan Sertifikat Kompetensi ( Serkom ) Dokter dan Dokter Gigi tetapi juga dalam rangka untuk meningkatkan mutu pelayanan kedokteran kepada masyarakat.

Bahwa kerjasama dokter dengan mitranya juga diatur dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) Pasal 3: dalam melakukan pekerjaan ke-dokteran-nya seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi, dimana pada pejelasan Pasal 3 cakupan pasal (6): bahwa seorang dokter dapat menerima bantuan dari pihak sponsor untuk keperluan keikutsertaan dalam temu ilmiah mencakup pendaftaran, akomodasi dan transportasi sewajarnya sesuai kode etik masing – masing. Demikian pula pada penjelasan Pasal 3 cakupan pasal (11): bahwa pemberian sponsor kepada seorang dokter haruslah di batasi pada kewajaran dan dinyatakan jelas tujuan, jenis, waktu dan tempat kegiatan ilmiah tersebut serta kejelasan peruntukan pemberian dimaksud dan secara berkala dilaporkan kepada Pimpinan organisasi profesi setempat untuk di teruskan ke Pimpinan Besar Ikatan Dokter Indonesia.

Bahwa dalam rangka bekerja sama dengan mitra terkait seorang dokter wajib memenuhi ketentuan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) dan peraturan perundang-undang yang berlaku, sebagai berikut:

Permasalahan Yuridis

  1. Terkait pandangan hukum mengenai profesi dokter yang diangkat oleh instansi umum/kekuasaan umum/kekuasaan Negara.

Apakah dokter, baik dokter PNS, ataupun dokter swasta (non-PNS) masukdalam kualifikasi Pegawai Negeri sebagaimana diatur pada Pasal 1angka 2 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 92KUHP jo. Pasal 2 United Nation Convention Against Corruption (UNCAC)?

Perlu diingat bahwa pengertian pemangku jabatan umum sebagaimana diatur pada Pasal 92 KUHP.

    1. Mengacu pada pendapat R. Soesilo dan Arrest Hoge Raad tertanggal 30Januari 1911, W.9149 dan 25 Oktober 1915, NJ 195 halaman 1205W.9861, karakteristik Pasal 92 KUHP yang perlu diperhatikan untukmenjawab apakah sebuah jabatan masuk kualifikasi Pegawai Negeri, adalah:
      1. Apakah orang yang memegang jabatan atau profesi tersebutdiangkat oleh instansi umum/kekuasaan umum/kekuasaan Negara?
      2. Apakah orang tersebut memangku jabatan umum?
      3. Apakah orang tersebut melakukan sebagian tugas Negara? seperti:melakukan fungsi pelayanan publik?
      4. Apakah seorang dokter swasta dapat disebut memangku jabatan umumsebagaimana disebut di atas?
    1. Terkait pemberian sponsorship untuk peningkatan kompetensi kepada dokter:
      Apakah penerimaan dana atau fasilitas dalam bentuk sponsorship yangdiberikan perusahaan farmasi terhadap individu dokter dapatdikategorikan sebagai gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan danberlawanan dengan tugas dan kewajiban dokter?
    1. Bagaimanakah mekanisme ideal terkait pemberian Corporate Social Responsibility perusahaan farmasi untukpeningkatan kompetensi kedokteran?

Analisis Yuridis

  1. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tentunya harus terlebih dahulu apa pengertian dari “pegawai negeri”. Dengan menggunakan interpretasi sistematis[2], sebagaimana termaktub dalam Ketentuan Umum Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dimaksud dengan “pegawai negeri” adalah: Pertama, Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Tentang Kepegawaian, yaitu setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Definisi tersebut di atas adalah berdasarkan bunyi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Adapun pengaturan yang terbaru, yaitu berdasarkan Undang - Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Pada pasal 1 butir 2 disebutkan “Pegawai Aparatur Sipil Negara“ yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dan yang dimaksud pegawai negeri sipil adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. Kedua, Pegawai Negeri yang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana disebut dengan istilah “pejabat”sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) KUHP , yaitu orang-orang dipilih berdasarkan aturan-aturan umum. Ketiga, Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah. Keempat, Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah. Kelima, Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.Adapun berdasarkan doktrin Ahli, Lilik Mulyadi mendefinisikan yang bisa dikualifikasikan sebagai pegawai negeri adalah:Pertama, Pegawai pada Mahkamah Agung RI dan Mahkamah Konstitusi.Kedua, Pegawai pada Kementerian/Departemen dan Lembaga Pemerintah Non-Departemen.Ketiga, Pegawai pada Kejaksaan Agung RI. Keempat, Pimpinan dan pegawai pada Sekretariat MPR, DPR, DPD, DPRD Propinsi/Daerah Tingkat II. Kelima, Pegawai pada Perguruan Tinggi Negeri. Keenam, Pegawai pada Komisi atau Badan yang dibentuk berdasarkan undang-undang, keputusan presiden, sekretaris kabinet, dan sekretaris militer. Ketujuh, Pegawai pada BUMN dan BUMD.Kedelapan, Pegawai pada badan peradilan (peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara). Kesembilan, Anggota TNI dan POLRI serta Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan TNI dan POLRI. Kesepuluh, Pimpinan dan Pegawai di Lingkungan Pemerintah Daerah DATI I dan DATI II.

Adapun dalam rezim United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)[3], istilah pegawai negeri dalam sudut pandang rezim tindak pidana korupsi dapat dipersamakan istilah public official atau pejabat publik. Pasal 2 huruf (a) UNCAC menyatakan: “ “Public Official” shall mean: (i) any person holding a legislative, executive, administrative or judicial office of a State Party, whether appointed or elected, whether permanent or temporary, whether paid or unpaid, irrespective of that person’s seniority; (ii) any other person who performs a public function, including for a public agency or public enterprise, or provides a public service, as defined in the domestic law of the State Party and as applied in the pertinent area of law of that State Party; (iii) any other person defined as a “public official” in the domestic law of a State Party. However, for the purpose of some specific measures contained in chapter II of this Convention, “public official” may mean any person who performs a public function or provides a public service as defined in the domestic law of the State Party and as applied in the pertinent area of law of that State Party ”.Apabila diterjemahkan secara bebas, kiranya dapat diartikan bahwa: “ “Pejabat publik” berarti: (i) setiap orang yang memegang jabatan legislatif, eksekutif, administratif, atau yudikatif dari suatu Negara Pihak, baik diangkat atau dipilih, baik tetap atau sementara, baik dibayar atau tidak dibayar, tanpa memperhatikan senioritas orang itu; (ii) setiap orang yang melaksanakan fungsi publik, termasuk untuk suatu instansi publik atau perusahaan publik, atau memberikan layanan umum, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang nasional Negara Pihak dan sebagaimana beraku di bidang hukum yang sesuai dari Negara Pihak tersebut; (iii) setiap orang yang dimaksud sebagai “pejabat publik” dalam undang-undang nasionalNegara Pihak. Namun demikian, untuk tujuan upaya-upaya tertentu yang tercantumdalam bab II Konvensi ini, “pejabat publik” dapat berarti setiap orang yangmelaksanakan fungsi publik atau menyediakan layanan umum sebagaimana dimaksuddalam undang-undang nasional Negara Pihak dan sebagaimana berlaku di bidanghukum yang sesuai dari Negara Pihak tersebut “.

Dengan berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka profesi dokter, baik dokter yang berstatus sebagai PNS maupun dokter swasta (non-PNS) dapat dikualifikasikan sebagai pegawai negeri. Setidaknya ada 3 alasan yang dapat menjadi dasar pernyataan tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, profesi dokter diatur oleh suatu undang-undang (Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran) yang jelas dikualifikasikan sebagai suatu aturan yang bersifat umum yang menjadi payung hukum berlaku tidak hanya bagi dokter dan organisasi dokter, namun berlaku juga bagi pasien yang merupakan bagian dari masyarakat umum. Kedua, bahwa dokter dapat berpraktik karena mendapatkan STR(Surat Tanda Registrasi) dokter dari Konsil Kedokteran Indonesia,yang mana keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia tersebut ditetapkan oleh Presiden atas usulan Menteri Kesehatan (Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran). Artinya, berdasarkan undang-undang yang mengaturnya, ada campur tangan negara untuk dokter dapat berpraktik di Indonesia. Ketiga, dokter menjalankan profesi yang memberikan suatu fungsi publik atau layanan umumbagi masyarakat sebagai pasiennya. Keempat, selain karena diatur oleh undang-undang yang bersifat umum sebagaimana penjelasan tersebut di atas, dokter juga dapat dikualifikasikan sebagai salah satu pemegang jabatan umum karena dapat dikatakan bahwa profesi dokter adalah suatu profesi dan juga jabatan yang menjalankan tugas negara dalam bidang kesehatan, atau secara sederhana profesi dokter adalah kepanjangan tangan negara dalam bidang kesehatan. Keempat alasan tersebut dari sisi hukum pidana, sudah lebih dari cukup untuk dapat memasukkan profesi dokter sebagai bagian dari terminologi “pegawai negeri”.

  1. Apa yang dimaksud dengan gratifikasi? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, gratifikasi diartikan sebagai pemberian hadiah uang kepada pegawai di luar gaji yang ditentukan[4]. Sedangkan dalam kamus hukum, gratifikasi – yang berasal dari bahasa Belanda, gratificatie atau bahasa Inggrisnya, gratification – diartikan sebagai hadiah uang[5]. Berdasarkan kedua pengertian tersebut ada beberapa catatan Ahli:
    Pertama, baik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, maupun kamus hukum, gratifikasi diartikan sebagai pemberian hadiah berupa uang. Kedua, pengertian gratifikasi dalam kedua kamus tersebut bersifat netral. Artinya, tindakan gratifikasi bukanlah merupakan suatu perbuatan tercela atau makna suatu perbuatan yang negatif. Ketiga, objek gratifikasi dalam pengertian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia jelas ditujukan kepada pegawai, sementara dalam kamus hukum, objek gratifikasi tidak ditentukan.
    Dalam konteks hukum pidana, khususnya berkaitan dengan tindak pidana korupsi, pengertian gratifikasi tidak sama persis dengan apa yang tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia maupun Kamus Hukum. Istilah gratifikasi secara jelas dan gamblang kita temukan dalam Pasal 12B dan Pasal 12C Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
    Agar tidak bias, secara lengkap Ahli kutipkan ketentuan kedua pasal tersebut adalah sebagai berikut:

Pasal 12 B

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut :

  1. yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
  2. yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) pembuktian gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
  3. (2)Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 12C

(1)Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(2)Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

(3)Komisi Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.

(4)Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”

Dalam penjelasan undang-undang a quo, dinyatakan bahwa gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Masih menurut penjelasan tersebut, gratifikasi baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektornik atau tanpa sarana elektronik.

Berdasarkan konstruksi kedua pasal tersebut di atas, analisisnya adalah sebagai berikut: Pertama, bestandeel[6] dari gratifikasi menurut undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah :

  1. Pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya, baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektornik atau tanpa sarana elektronik.
  2. Penerima gratifikasi tersebut harus berstatus sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara.
  3. Berhubungan dengan jabatannya.
  4. Berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
  5. Tidak melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  6. Penyampaian laporan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

Kedua, keenam unsur tersebut bersifat kumulatif. Artinya, salah satu unsur saja tidak terpenuhi dari keenam unsur tersebut, maka perbuatan yang dimaksud tidak dapat dikualifikasikan sebagai gratifikasi. Ketiga, pembuktian dalam gratifikasi ada yang dibebankan kepada jaksa penuntut umum dan ada juga yang dibebankan kepada penerima gratifikasi atau omkering van beweijslast[7].

Adapun catatan terhadap konstruksi kedua pasal tersebut di atas adalah: Pertama, gratifikasi pada dasarnya bukanlah suatu tindak pidana. Kedua, gratifikasi baru dianggap sebagai tindak pidana, dalam hal ini dipersamakan dengan suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Tegasnya, jika gratifikasi tidak berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, maka gratifikasi tersebut adalah perbuatan yang sah menurut hukum. Sebagai misal, banyak pejabat negara di Indonesia yang berasal dari kalangan akademis. Ketika dia memberi kuliah atau sebagai pembicara dalam seminar yang tidak ada kaitannya dengan kewajiban atau tugasnya kemudian mendapatkan honor, maka penerimaan honor tersebut adalah gratifikasi yang sah menurut hukum pidana. Ketiga, semangat para pembentuk undang-undang perihal gratifikasi yang dianggap sebagai suap adalah kepada pejabat negara dengan kewajiban untuk melaporkan setiap pemberian yang dianggap ada kaitannya dengan jabatan atau yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya kepada KPK terlepas dari apakah pemberian tersebut akan dimiliki ataukah tidak.Keempat, terdapat alasan penghapus tuntutan pidana jika penerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan atau berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya melaporkan hal tersebut kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari. Kelima, salah satu kelemahan dalam pasal gratifikasi yang dipersamakan dengan suap ini adalah tidak ada ancaman pidana bagi yang memberi gratifikasi. Padahal, secara teori jika gratifikasi yang berkaitan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas atau kewajibannya dipersamakan dengan suap, maka tidak mungkin ada penerima suap tanpa ada pemberi suap. Menurut ajaran kausalitas dalam hukum pidana, pemberi suap adalah causa proxima (sebab mutlak) adanya penerima suap.

Berdasarkan kasus posisi di atas, sebagaimana permasalahan kedua dalam legal opini ini, apakah penerimaan dana atau fasilitas dalam bentuk sponsorship yang diberikan perusahaan farmasi terhadap individu dokter dapat dikategorikan sebagai gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas dan kewajiban dokter?Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka setiap fakta yang ada harus dianalisis berdasarkan ketentuan dalam undang-undang a quo. Adapun analisisnya adalah sebagai berikut:

Pertama, unsur gratifikasi. penerimaan dana atau fasilitas dalam bentuk sponsorship yang diberikan perusahaan farmasi terhadap individu dokteradalah bentuk gratifikasi sesuai dengan definisinya menurut undang-undang, yaitu pemberian uang, barang, rabat (discount) atau komisi dan seterusnya. penerimaan dana atau fasilitas dapat dimasukkan sebagai pemberian komisi, yang mana menurut undang-undangnya, seharusnya dokter hanya mendapatkan gaji dan biaya jasa atas pelayanan yang diberikannya. Dengan demikian unsur gratifikasi terpenuhi.

Kedua, unsur penerima gratifikasi. Adresat gratifikasi menurut undang-undang a quo adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara. Sebagaimana penjelasan Ahli di atas, bahwa profesi dokter dapat dikualifikasikan sebagai pegawai negeri. Dengan demikian unsur penerima gratifikasi juga terpenuhi.

Ketiga, berhubungan dengan jabatannya. Sebagaimana pula penjelasan Ahli di atas, bahwa dokter adalah suatu profesi dan juga jabatan yang menjalankan tugas negara dalam bidang kesehatan, atau secara sederhana profesi dokter adalah kepanjangan tangan negara dalam bidang kesehatan. Dengan demikian unsur ‘berhubungan dengan jabatannya’ menurut undang-undang a quo terpenuhi.

Keempat, unsur berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Dokter yang menerima dana atau fasilitas dalam bentuk sponsorship yang diberikan perusahaan farmasi terhadap individu dokter jelas tidak sesuai dengan kewajiban atau tugasnya dan tentunya di luar penghasilan yang seharusnya diterimanya, yang akan sangat mungkin akan menimbulkan konflik kepentingan, karena dokter bertugas untuk memberikan layanan publik dalam bidang kesehatan. Dan tentunya akibat lainnya akan sangat mungkin memberikan dampak bagi pihak lainnya, khususnya pasien. Karena untuk dapat membayar sponsorshhip tersebut, perusahaan farmasi akan sangat mungkin menjual obat-obatan yang dibutuhkan masyarakat sebagai pasien dokter dengan harga yang mahal untuk mensubsidi biaya sponsorshhip para dokter tersebut. Tegasnya, unsur ‘berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya’ menjadi terpenuhi.

Kelima, unsur “tidak melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. Unsur ini jelas terpenuhi karena dokter-dokter penerima gratifikasi tersebut selama ini tidak pernah memberikan laporan penerimaan gratifikasinya tersebut kepada komisi pemberantasan korupsi.

Keenam, dalam kaitannya dengan unsur kelima, maka unsur ‘penyampaian laporan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima’ juga terpenuhi.

Sebagaimana yang telah diutarakan di atas bahwa unsur-unsur dari tindak pidana korupsi dalam bentuk gratifikasi adalah bersifat kumulatif. Artinya, jika salah satu unsur saja tidak terpenuhi, maka bukan merupakan tindak pidana korupsi dalam bentuk gratifikasi. Namun, sebagaimana penjelasan Ahli tersebut di atas, bahwa penerimaan dana atau fasilitas dalam bentuk sponsorship yang diberikan perusahaan farmasi terhadap individu dokter tersebut telah terpenuhi unsur gratifikasinya, maka dengan demikian dapat Ahli tegaskan bahwa penerimaan dana atau fasilitas dalam bentuk sponsorship yang diberikan perusahaan farmasi terhadap individu dokter merupakan tindak pidana korupsi dalam bentuk gratifikasi.

  1. Menurut Ahli, tidak boleh lagi ada bentuk sponsorship (sebagai perwujudan CSR perusahaan farmasi) yang berbentuk penerimaan dana atau fasilitas. Usulan Ahli, CSR tersebut dapat berupa: Pertama, pengadaan pelatihan sebagai up grading pengetahuan dan kemampuan para dokter, tanpa adanya penerimaan lainnya yang bersifat ekonomis yang diterima oleh para dokter tersebut.Kedua, jikapun tetap akan diadakan pemberian dana dan fasilitas, harus disalurkan kepada institusi tempat dokter tersebut bekerja secara aktif, yang mana kemudian institusi tersebutlah yang akan menentukan dokter mana yang akan “disekolahkan” agar dapat ditingkatkan pengetahuan, kemampuan, dan profesionalismenya. Dan tentunya istitusi tersebut pula lah yang sudah menentukan parameter tersendiri untuk menentukan dokter yang akan “disekolahkan” tersebut, dapat berdasarkan usia, pengalaman kerja, dan tingkat kebutuhan institusi.

Diharapkan, dengan bentuk CSR yang demikian, para dokter tidak lagi bekerja “demi pamrih” terhadap para perusahaan farmasi dan justru termotivasi untuk dapat terus meningkatkan kinerja dan pelayanannya terhadap para pasiennya, dengan tujuan akhir tentunya pemberian layanan dan perlindungan kesehatan yang terbaik bagi masyarakat selaku pasien dari para dokter tersebut, sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam bidang kesehatan bagi rakyatnya.

Kesimpulan

  1. Profesi dokter dapat dikualifikasikan sebagai “pegawai negeri” yang termasuk dalam adresat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  2. Penerimaan dana atau fasilitas dalam bentuk sponsorship yang diberikan perusahaan farmasi terhadap individu dokter merupakan tindak pidana korupsi dalam bentuk gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  3. Pertama, up grading pengetahuan dan kemampuan para dokter.Kedua, pemberian dana dan fasilitas yang disalurkan kepada institusi tempat dokter tersebut bekerja agar para dokter tersebut “disekolahkan”.Jakarta, 29 April2015

Eddy O.S. Hiariej

 


[1]Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum.,Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

[2]Interpretasi sistematis atau logis yakni menafsirkan ketentuan perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum. Artinya, ketika akan melakukan interpretasi tidak hanya mengacu pada pasal yang akan ditafsirkan semata, tetapi juga harus melihat pasal-pasal lainnya dalam undang-undang yang sama atau undang-undang lain, bahkan sistem hukum secara keseluruhan sebagai satu kesatuan. Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, hlm. 67. Bandingkan dengan Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum, sebuah pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm. 58.

[3]Indonesia wajib mentaati ketentuan tersebut karena Indonesia telah melakukan ratifikasi terhadapnya. Semakin diperkuat dengan terbitnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption). Ratifikasi yang dilakukan Indonesia terhadap konvensi tersebut dilakukan tanpa reservasi. Artinya, semua kewajiban yang diatur dalam konvensi tersebut harus ditaati oleh state party (negara peserta) atau negara yang menandatangani konvensi tersebut. Lihat dalam Eddy O.S. Hiariej, “Disentralisasi Korupsi : Urgensi Pengadilan TIPIKOR dan KPK Di Daerah”,disampaikan dalam Diskusi Publik Disentralisasi Korupsi : Carut Marut Otonomi Daerah, Kerjasama Pusat Kajian AntiKorupsiFakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Republik Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 27 september 2008, hlm. 4.

[4]Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm.284.

[5]Yan Pramadya Puspa, 1977, Kamus Hukum ;Edisi Lengkap, Bahasa Belanda, Indonesia, Inggris, Aneka Ilmu, Semarang, hlm. 404.

[6]Elemen-elemen dalam suatu perbuatan pidana adalah unsur-unsur yang terdapat dalam suatu perbuatan pidana. Unsur tersebut baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Istilah ‘element’ ini harus dibedakan dengan istilah ‘bestandeel’ yang juga berarti unsur-unsur perbuatan pidana. Perbedaanya, bestandeel mengandung arti unsur-unsur perbuatan pidana yang secara expressis verbis tertuang dalam suatu rumusan delik atau perbuatan pidana. Dengan kata lain, ‘element’ perbuatan pidana meliputi unsur-unsur yang tertulis dan unsur-unsur yang tidak tertulis, sedangkan bestandeel hanya meliputi unsur-unsur perbuatan pidana yang tertulis saja. Konsekuensi lebih lanjut, yang harus dibuktikan oleh jaksa penuntut umum di pengadilan hanyalah ‘bestandeel’.

[7]Omkering van bewijslast adalah pembuktian terbalik. Artinya, terdakwa diembani kewajiban untuk membuktikan bahwa ia tidak korupsi. Apabila terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak korupsi, maka jaksa penuntut umum diembani kewajiban untuk membuktikan sebaliknya. Akan tetapi, jika terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa ia tidak korupsi, maka pengadilan dapat menjatuhkan putusan berupa pemidanaan.