Topik Seri 1: Membahas Visi Pendidikan/Pelatihan Residen dalam UU Pendidikan Kedokteran 2013

Kebijakan Residen


Hari, tanggal: Kamis, 13 Agustus 2020
Waktu          : 13.00 – 14.30 WIB

Pembicara: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD (Tenaga Pendamping Ahli Penyusunan UU Pendidikan Kedokteran 2012-2013).


Unduh Materi Power Point

Pembahas:

  1. Pimpinan Badan PPSDM Kementerian Kesehatan: Prof.dr.Abdul Kadir SpTHT(K) MARS
  2. Ketua Asosiasi FK Negeri: Prof. Dr. Ova Emilia SpOG(K)
  3. Ketua Asosiasi RS Pendidikan Indonesia (ARSPI): Dr. Andi Wahyuni SpAn(K)
  4. Ketua Bidang Pengembangan Pendidikan Kedokteran IDI: Dr.Titi Savitri Prihartiningsih,M.Med Ed Ph.D

Abstrak

Dalam masa Pandemik Covid19 posisi dan peran residen dalam pelayanan dan pendidikan tenaga kesehatan menjadi sorotan. Diskusi ini bertujuan membahas  situasi Pendidikan Residen dan riwayat UU Pendidikan Kedokteran yang disahkan pada tahun 2013. Pertanyaan yang dibahas dalam diskusi ini: apakah visi UU Pendidikan Kedokteran dalam pendidikan residensi dapat terealisasi.  Sebagaimana tergambarkan dalam pasal-pasal, visi UU Pendidikan Kedokteran 2013 adalah menjadikan residen sebagai tenaga pelayanan kesehatan yang mempunyai kewajiban dan hak, bukan mahasiswa biasa. Juga ada visi mengenai Semi Hospital Based.  Dalam kurun waktu 7 tahun (2013-2020) dilakukan berbagai kegiatan penelitian dan diskusi mengenai pelaksanaanya. Hasil menunjukkan setelah 7 tahun ini adalah: (1) belum terjadi perubahan pendidikan residen menjadi semacam magang dimana residen bekerja sebagai pemberi pelayanan yang mempunyai kewajiban dan hak; (2) pengembangan Jaringan RS Pendidikan belum maksimal sehingga visi semi-hospital based belum berjalan; dan (3) peran Departemen-departemen Klinis di FK sebagai ujung tombak perubahan ini belum berjalan. Harapan yang ada untuk kebijakan pendidikan residen adalah: (1) Sebaiknya  UU Pendidikan Kedokteran 2013 dilaksanakan dengan sepenuhnya dengan berbagai aturan turunan; (1) para pelaku di pendidikan kedokteran dapat merubah cara pandang tentang pendidikan residen, termasuk merubah rekrutmen residen berdasarkan kebutuhan RS Pendidikan utama dan RS jaringan pendidikan.

Hasil Kegiatan Diskusi

Penyaji makalah Prof Laksono Trisnantoro MSc PhD menyatakan bahwa  visi UU Pendidikan Kedokteran dalam pendidikan residensi belum dapat terealisasi. Hasil menunjukkan setelah 7 tahun ini adalah: (1) belum terjadi perubahan pendidikan residen menjadi semacam magang dimana residen bekerja sebagai pemberi pelayanan yang mempunyai kewajiban dan hak; (2) pengembangan Jaringan RS Pendidikan belum maksimal sehingga visi semi-hospital based belum berjalan; dan (3) peran Departemen-departemen Klinis di FK sebagai ujung tombak perubahan ini belum berjalan.

Dalam diskusi dibahas kesesuaian pendapat dari Prof Ova dan Dr. Andi Wahyuni, Ketua Umum ARSPI. Terjadi diskusi yang menarik mengenai pendekatan Hospital-Based dan University Based dalam pendidikan residensi.  Prof. Abdul Kadir, Kepala Badan PPSDM menekankan mengenai pentingnya perubahan ke Hospital Based. Sementara visi UU Pendidikan Kedokteran adalah bagaimana pendidikan residen  menjadi Semi Hospital Based namun tetap berada dalam kerangka hukum university-based. Pembahas dari IDI Pusat, dr, Titi Savitiri menekankan mengenai perlunya penggantian UU Pendidikan Kedokteran 2013 seperti yang disampaikan oleh IDI bersama Partai NasDem.

Banyak pertanyaan yang belum terjawab atau belum dibahas dalam pertemuan Diskusi Seri 1 ini . Setelah dianalisis ada 5 kelompok pertanyaan yaitu: (1)  Tentang UU Pendidikan Kedokteran; (2) Hospital Based dan University Based; (3) SPP untuk Fakultas Kedokteran dan hubungannya dengan RS Pendidikan; (4) Sistem Pendidikan/Pelatihan Residen dan Tata Kelolanya: dan (5) Penambahan jumlah spesialis dan risiko dari Luar Negeri.Kelompok-kelompok Topik tersebut akan dibahas secara sistematis. Silahkan klik rinciannya:

Rincian Pertanyaan dan komentar

Pertanyaan dan isu yang masih belum terjawab akan dibahas satu persatu. Secara rinci berbagai pertanyaan dan isu ini dapat dilihat sebagai berikut:


  1. Tentang UU Pendidikan Kedokteran:
    1. Fauzan Illavi : Status PPDS sesuai UU Kedokteran tahun 2013 adalah mahasiswa, bukan pekerja. Hal ini menghambat pencairan insentif dan hak para PPDS untuk mendapatkan hak. Advokasi apa yang akan dilakukan IDI, ARSPI, FK se-Indonesia, dan organisasi profesi untuk menjamin hak PPDS terkait insentif di masa depan?
    2. Sabasdin Harahap: sebelum menyelesaikan secara komperehensif, kita harus mendifiniskan secara tegas apa itu “residen”? pekerjakah? mahasiswakah? atau barang baru yang khusus dan difiniskan secara khusus pula. jangan setengah2 sehingga saling lempar tanggung jawab.
    3. Titi Savitri: Indonesia adalah negara hukum.Jadi setiap alokasi dana APBN harus ada dasar hukumnya. Karena itu UU Dikdok perlu diganti. Karena di UU Dikdok 2013 disebutkan penyelenggara dikdok adalah Perguruan tinggi. Nah, tidak ada salahnya…bila kesempatann untuk berubah ada, kita lakukan perubahan UU Dikdok dan kita masukkan bahwa penyelenggara pendidikan tinggi adalah kemdikbud, kemkes, kemenhan, kemendagri, kemkeu, bappenas, dst. Di RUU Dikdok 2020 sdh ada pasal tentang road map pendidikan, dan ada pasal tentang penghitungan jumlah kebutuhan, serta ada pasal tentang informasi kesehatan (satu  pusat informasi tentang tenaga dokter.

  2. Hospital Based dan University Based:
    1. Gama Diswita Yudhi Hartawan: mohon ijin bertanya bagaimana dengan ketentuan dan skema untuk fellow (subspesialisasi) yang kedepan akan menjadi univesity based? Apakah akan sama seperti skema pendidikan residen?
    2. Fauzan Illavi: Mengapa sistem pendidikan PPDS tidak ada perubahan sejak dahulu kala? Mengingat Indonesia adalah sebagian kecil negara atau mungkin satu-satunya yang memaksa PPDS membayar SPP karena sistem University Based? Apakah karena negara tidak punya anggaran atau niat khusus untuk masalah krusial di dunia residen ini?
    3. Fauzan Illavi: Para panelis rata-rata mengharapkan jika program PPDS dialihkan menjadi Hospital Based untuk menyelesaikan masalah PPDS yang kronis ini, namun saya menangkap jika sistem kesehatan di Indonesia belum siap untuk beralih ke sistem tersebut. Langkah apa yang harus dilakukan untuk mempercepat perubahan ini?
    4. Darwito Suwito: sangat setuju dengan pola semi University based, akan tetapi dkombinasikan dengan kebutuhkan rumah sakit atau hospital based, sehingga perlu di tajamkan tentang AHS (academic health system). RS pendidikan Utama tetap menjadi pusat pendidikan utama …dg menggandeng Rs jejaring …
    5. Erta Priadi Wirawijaya: Memang tidak realistis meminta RS Pendidikan untuk membayarkan gaji dokter residen sebanyak itu. Satu RS pendidikan misalnya ada 1000 peserta didik. Kalau digaji 3 juta per bulan itu artinya sama dengan 3M per bulan. Beban luar biasa besar. Setuju pola rekrutmen di dasar kan pada kebutuhan RS pendidikan, tapi kalau seperti ini tanpa diperbanyak RS pendidikan nya bisa2 turun drastis jumlah kursi yg tersedia.
    6. Alvina Rubianti: Dengan adanya residen di RS selain membantu pelayanan RS juga merupakan beban bagi RS akan akan menyedot alkes dll menjadi lebih besar selain itu juga mengandung risiko bila terjadi kesalahan siapa yang bertanggung jawab
    7. florentina sustini: intensif unt PPDS sebaiknya dari RS karena memang mereka bekerja dan jaga di RS. Pembeayaan SPP yang diterina universitas adl untuk honorarium pendidik nya. Sedangkan mereka jaga dan kerja diRS pembeayaan adl dari RS. Pendidikan kedokteran ini adl  PT  base dan Hospital base.  Jangan lupa waktu istirahat PPDS juga harus diatur supaya mereka tidak kecapaian dan daya tahan  tubuhnya tidak menurun  shg mudah terjadi penykit untu PPDS.  Dari F. Sustini FK Widya Mandala Sby
    8. Vincent darmawan Tjiptadi: semua membahas universitas dan rumah sakit pendidikannya.. bagaimana dengan kontribusi universitas ke kolegium masing2? krn peran kolegium dan rumah sakit pendidikan lebih besar dibandingkan universitas. kolegium yg membuat kurikulum, pelatihan2, dan ujian dan mengeluarkan sertifikat kompetensi. hampir semua peran universitas ada di kolegium yg selama ini rasanya hampir tdk pernah ada bantuan dari universitas
    9. Erta Priadi Wirawijaya: Penyediaan dokter spesialis menurut saya ada urgensi nasionalnya. Hospital based cara mewujudkannya. Yang diuntungkan dengan sistem sekarang cuma Universitas saja… Jadi sistemnya harus dirubah.
    10. Giovanni van Empel: Manfaat hospital based juga secara tidak langsung bisa menjadi katrol untuk pengembangan riset klinis,non klinis. Hospital bisa menjadi pusat2 riset

  3. SPP untuk Fakultas Kedokteran dan hubungannya dengan RS Pendidikan:
    1. Fauzan Illavi: Untuk target jangka pendek, apakah bisa para PPDS dibebaskan dari biaya pendidikan dulu saja? Hal ini saya rasa agar ini tidak memberatkan para PPDS yang notabene sudah tidak memiliki penghasilan sebagai target jangka pendek
    2. Dwi Reno Pawarti: apa yang disampaikan oleh Prof Abdul Kadir ada benar nya, karena selama ini khususnya untuk alat2 operasi tidak di support oleh Unuversitas, padahal SPP resident masuk ke rek Rektor. belum lagi beaya lain2 : Listrik, air, bahan habis pakai
    3. Nico Lumintang: Berkaitan dgn Akreditasi tidak bisa Pendidikan PPDS disamakan dgn BANPT, yg murni akademik. borang2 membingunkan bahkan maaf rada2 memanipulasi data. Pendidikan Profesi Dokter Spesialis sepertinya harus ke kemenkes masakan AKABRI, POLRI, Keuangan, kemendagri, kementrian Agama bisa mendidik dan meluluskan tidak melalui Perguruan Tinggi. Padahal dokter dan dokter spesialis diharapkan oleh pemerintah dan masyarakat utk mengabdi. Makanya WKDS yg berubah PGDS sulit diterapkan karena mereka bayar mahal ke Universitas.

  4. Sistem Pendidikan/Pelatihan Residen dan Tata Kelolanya:
    1. Fauzan Illavi: Laksono tadi menyebutkan terkait tidak adanya data persebaran PPDS di Indonesia, apakah ini benar? Siapakah yang bertanggung jawab dalam menyediakan data penting ini? Apakah ada koordinasi antar lembaga dalam mengetahui permintaan kebutuhan dokter spesialis di Indonesia?
    2. Fauzan Illavi: Untuk insentif terkait Covid-19, PPDS prodi tertentu seperti PPDS Paru dan IPD sudah termasuk kategori dokter yang menangani Covid-19. Bagaimana pencairan insentif PPDS dalam kaitannya dengan masa pandemi? Apakah diajukan lewat rumah sakit pendidikan?
    3. Alida Lienawati: Karena sejak tahun 2012/2013 RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten tidak lagi menerima % dana dari SPP. Sejak UU Pendidikan Dokter diterbitkan, RSST Klaten sesuai ketentuan mengalokasikan dana bagi honor/insentif residen sesuai kemampuan RSST Klaten. Dan baru siang ini saya mendengar dari Prof Coco ttg tahun 2019 DPR (???) tdk setuju Residen mendapatkan honor/insentif. Mohon maaf karena saya mmg sdh memasuki Purna Tugas per 1 Mei 2018. Sehingga ada bbrp informasi yang tertinggal (tdk update informasi terkait Pendidikan profesi baik dokter maupun PPDS I atau PPDS II)
    4. Bambang Purwanto: Residen komunitas terdidik, sudah menyerahkan waktu 24 x 4/5 tahun, dianggap ” Sultan “, Vurnerable by system, kalau dikapitalisasi bisa menimbulkan konflik kepentingan. Saya sedih Ade Armando( penjaga ke Indonesiaan ) ikut bicara tentang residen.
    5. Niko Azhari Hidayat: Sebaiknya jg tdk dilupakan Peran ganda seorang Leader di Departemen dan Ka.SMF di satu Unit di RS… Disatu pihak berlaku sbg Dosen dilain Pihak sbg Medical Services.
    6. Anis Adhie: ijin menanyakan, untuk dokter internship dapat diakomodir penggajian/insentifnya, mengapa untuk ppds belum bisa mendapatkan insentif yang demikian? mengingat residen juga merupakan dokter umum yg melakukan pelayanan di bawah supervisi dan bimbingan dpjp untuk menjadi spesialis yg kompeten (sebagaimana atau bahkan memberikan layanan lebih besar dibanding dokter internship yang merupakan dokter umum fresh graduate yang berada di bawah supervisor).. Terimakasih🙏
    7. Alida Lienawati: Setuju Bu Titi Savitri, harus Duduk Bersama semua institusi yang terlibat dalam Pendidikan profesi baik Dokter, PPDS I maupun PPDS II untuk mengclearkan semua masalah shg dapat teralokasi dalam APBN masing2 Institusi yg terlibat
    8. Endah Wahjuningsih: perlu dipikirkan dengan matang supaya tidak ada peraturan yang tumpang tindih dan saling bertolak belakang
    9. Titi Savitri: internship bisa berjalan, karena di UU Dikdok 2020 disebutkan penyelenggara internship adalah kementerian kesehatan. Jadi kemkes bisa mengalokasikan dana.

  5. Penambahan jumlah spesialis dan risiko dari Luar Negeri:
    1. Christian Angkasa: selamat siang, Prof, dokter, apakah dokter spesialis lulusan Luar Negeri bisa membantu percepatan kebutuhan dokter spesialis?
    2. Tarmono djojodimedjo: sebelum kita mebatsi jumlah oleh rs perlu dipikirkan tentang kebutuhan dokter spesialis secara nasional,kalau tidak maka banjir dokter asing akan terjadi

Catatan:

Akan dilakukan pembahasan pertanyaan yang akan dikaitkan dengan hasil-hasil penelitian.  Untuk pembahasan pertama akan dilakukan pada hari Rabu 19 Agustus 2020, pukul 15.30 – 16.30.


Video rekaman silahkan klik link berikut: http://ugm.id/KebijakanPendidikanResiden

REPORTASE

 

Tinggalkan Balasan