UNIMED Kurangi Program Studi Pendidikan

Medan. Universitas Negeri Medan (Unimed) mengurangi calon mahasiswa baru yang memilih program studi pendidikan. Hal itu untuk mengimbangi jumlah program studi lain yang kurang diminati. "Kita sudah hati-hati. Artinya, semua kita lihat. Misalnya selama ini tiga kelas, kita kurangi. Cuma kita bermasalah dengan angka partisipasi kasar (APK) tadi. Kita dikejar-kejar pemerintah 20%," ungkap Rektor Unimed Prof Dr Ibnu Hajar MSi menjawab MedanBisnis, Selasa (27/1).

Menurut Ibnu, bagi jurusan yang dianggap tidak menjadi masalah, maka pihaknya mengambil titik keseimbangannya, seperti matematika. Meski demikian, Ibnu mengaku, untuk program studi pendidikan tidak menjadi permasalahan. "Kalau pendidikan tidak. Makanya guru, dosen tidak masuk moratorium penerimaan pegawai negeri sipil (PNS)," jelasnya.

Dikatakan, bidang pendidikan bisa dibilang tidak, walaupun dianggap rawan, tapi belum dianggap parah. Seperti kasus selama ini, pembukaan program studi dinilai terlalu mengikuti alunan gelombang permintaan pasar. Akibatnya, sejumlah program studi terlalu banyak dan jenuh. Mutu pendidikan pun rawan dikorbankan. "Ini untuk program studi kebidanan dan kedokteran gigi," ungkapnya.

Seperti program studi kebidanan, Ibnu mencontohkan, dimana-mana bisa ditemukan itu. "Bukan asal-asalan. Ini urusan bukan menamatkan saja. Tetapi, kompetensi orang yang ditamatkan itu untuk memenuhi tugas sebagai bidan dan sebagai dokter. Kebanyakan persoalannya di situ," terangnya.

Menurutnya, permasalahan ini bukan karena berlebihan saja. Ditegaskannya, mungkin persoalan berlebihan. Tetapi menjamin kompetensi tidak ada. "Mohon maaf, kalau dia di swasta untuk di kedokteran, tenaga dia (swasta, red) cukup tidak yang namanya memenuhi kebutuhan, yang namanya macam-macam kompetensi itu," sebutnya.

Dokter umum misalnya, kata Ibnu, semua dipelajari seperti, kulit, dalam, telinga hidung tenggorokan (THT). "Itu harus dipelajari semua. Kalau sekarang ini untuk membuka kedokteran, syaratnya minimal 11-12 dokternya harus sudah tersedia. Tidak seperti dulu lagi dua tiga orang saja," cetusnya.

Ibnu menambahkan, dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) lulusan pendidikan yang tidak dibekali dengan kompetensi yang cukup, dipastikan menjadi pengangguran. "Apa kemampuannya. Sudah pasti setelah lulus menjadi sampah saja ini," ketusnya.

Seperti diketahui, Direktur Kelembagaan dan Kerja Sama Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Hermawan Kresno Dipojono mengatakan, moratorium itu untuk program studi (prodi) kedokteran gigi dan pendidikan profesi dokter gigi. Penangguhan itu sejak 2011 hingga sekarang.

Prodi lain yang dimoratorium adalah keperawatan jenjang diploma tiga dan sarjana; program kebidanan jenjang diploma tiga, diploma empat, dan sarjana; bidan pendidik; serta ilmu kesehatan masyarakat jenjang sarjana. Pemerintah juga menangguhkan perubahan bentuk perguruan tinggi swasta menjadi perguruan tinggi negeri.

Berdasarkan data Ditjen Dikti, pada jenjang diploma (D-1 hingga D-3) di perguruan tinggi negeri dan swasta, prodi terbanyak di bidang kesehatan. Pada jenjang sarjana, prodi terbanyak ialah bidang pendidikan.

Data Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) juga menunjukkan, dari 291 prodi yang tidak terakreditasi, sebagian besar ialah prodi kebidanan, kesehatan, dan teknik untuk jenjang diploma tiga. Untuk jenjang sarjana, prodi terbanyak yang tak terakreditasi ialah teknik.

BAN-PT memiliki data lengkap mengenai prodi tidak terakreditasi itu, tetapi memutuskan tidak memublikasikan kepada masyarakat. "Sesuai kesepakatan Ditjen Dikti dan BAN-PT, mereka masih mau dibina oleh Ditjen Dikti. Jika kondisinya membaik, prodi bisa mengajukan lagi akreditasi," kata Ketua BAN-PT Mansyur Ramly. ( zahendra)

sumber: medanbisnins