Ketika Suara Hati Dokter Turun ke Jalanan Istana

Unjuk rasa para dokter di depan Istana Merdeka. Foto: dok. JPNN.com

Tidak terbayang ‎bila kalangan dokter melakukan aksi unjuk rasa. Apalagi sampai menyewa metromini dan berdesak-desakan, bergelantungan di depan pintu angkutan umum tersebut. Mereka melupakan rasa malu bergelantungan seperti itu di bus, demi memperjuangkan hak masyarakat mendapatkan pengobatan layak.  Para dokter yang identik dengan penampilan rapi, wangi, cantik, tampan, dan elit pun rela melakukan aksi damai di depan Istana Negara.

Mesya Mohammad, JPNN

‎SENIN terakhir di Bulan Februari menjadi momen bersejarah bagi para dokter yang tergabung dalam Dokter Indonesia Bersatu (DIB). Dokter-dokter dari seluruh pelosok negeri, berbondong-bondong ke ibu kota negara membawa satu misi. Yaitu meminta perhatian pemerintah meningkatkan layanan kesehatan masyarakat di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Memakai jas putih kebesarannya, sekitar 250 dokter melakukan long march mulai dari bundaran Hotel Indonesia ke Monas, Gedung Mahkamah Konstitusi, dan berhenti depan Istana Negara. Hujan deras tidak menghalangi niat para dokter ini untuk melakukan aksi damai.

Memang demonya tidak seheroik honorer kategori dua (K2), bidan desa PTT mau pun para buruh. Namun, pesan dan kritikan yang disampaikan‎ kepada pemerintah sangat jelas, yakni minta anggaran kesehatan dinaikkan lima persen.

Dalam aksi kemarin, sejumlah dokter dari Jakarta, Wonosobo, Manado, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, NTT bergantian membawakan orasi. Salah satu dokter dari Jakarta, Eva Fridiana yang tengah hamil tua tampak semangat menyampaikan kritikan kepada pemerintah.

 Menurut dokter spesialis paru ini, di era JKN, para dokter  seluruh Indonesia bekerja dalam keadaan terjepit. Di satu sisi dokter harus bisa memberikan layanan sesuai standar layanan medis berbasis bukti terbaru (EBM = Evidence Base Medicene). Namun layanan yang bisa diberikan terbatasi oleh rendahnya kapitasi dan tarif InaCBGs.

"Bagaimana kami bisa memberikan layanan terbaik kalau ada batasan tarif. Pasiennya sakit A, yang ada obatnya hanya untuk penyakit B‎. Tolong Bapak Presiden dan Ibu Menkes, naikkan tarif InaCBGs," kata Eva.

Kondisi serupa terjadi di daerah-daerah. Yuniarti Saragih, dokter ahli penyakit dalam di Simalungun Sumatera Utara bahkan menyebutkan banyak pasien tidak bisa terlayani baik karena minimnya fasilitas rumah sakit‎. Program BPJS yang jadi andalan pemerintah nyatanya tidak bisa menyehatkan rakyat.

"Kami para dokter dituntut harus memberikan‎ pengobatan maksimal kepada pasien. Tapi obat-obatan serta fasilitas terbatas, bagaimana bisa sehat? Alhasil dokter yang harus berkorban. Tahukah pemerintah, saat ini masih ada dokter yang digaji Rp 2,7 juta?," serunya.

Danang, dokters spesialis paru asal Wonosobo terang-terangan menyebutkan program BPJS hanya membuat apes. Lantaran banyak pasien BPJS yang obat-obatannya tidak masuk katalog.

Menurut dia, program BPJS itu bikin ribet, pasien yang sudah gawat harus dirawat di rumah sakit tipe lebih tinggi. Kalau tidak lewat klinik, rumah sakit besar tidak bisa melayani.

 "Coba, apa jadinya pasien kalau dipimpong kayak itu. Bukan sehat yang didapat, tapi wassalam innalillahi wa innailaiho rojiun. Belum lagi standar obat  BPJS. Saya selaku dokter ngeri memberikan resepnya kepada pasien," tegasnya.

Lain lagi dengan pengalaman dokter Dewa Ayu. Spesialis kandungan ini pernah merasakan bagaimana dinginnya lantai penjara. Pengalaman pahit itu dia dapat lantaran digugat keluarga pasien meninggal yang ditanganinya.

"Sedih sekali ingat 10 bulan saya di tahanan. Saya adalah dokter, bukan pembunuh. Saya berusaha untuk menyelamatkan pasien. Namun,  kemudian pasien meninggal dan saya disalahkan," kenangnya.

Kejadian itu membuat Ayu yang bekerja pada salah satu rumah sakit di Manado ini sedikit trauma. Namun trauma itu cepat pulih karena semangat pengabdian yang tinggi. Dia pun meminta pemerintah memberikan kepastian hukum kepada para dokter agar kejadian yang dialaminya tidak menimpa rekan-rekan lainnya.

Dari ratusan pendemo, Profesor Ronny Mewengkang, 71, adalah dokter paling tua. Jauh-jauh dia datang dari Manado untuk‎ menyalurkan aspirasi dokter-dokter terutama di Sulawesi Utara. Dia pun rela meninggalkan tugasnya untuk menyampaikan suara hati para dokter.

"Kami ke Jakarta bukan untuk menolak JKN. Hanya kami minta bertambahnya peserta JKN harus diimbangi penambahan fasilitas dan jumlah tenaga kesehatan. Kalau tidak begitu, daftar antrean menjadi panjang dan berpotensi pada layanan kesehatan yang substandar," bebernya.

Keempat dokter itu meminta JKN dilepaskan dari kepentingan atau pencitraan politik penguasa dan harus dikembalikan pada tujuan awal yaitu untuk menyehatkan seluruh rakyat Indonesia.

"Saya sarankan, pemerintah ganti saja slogannya jadi Sehat..Sehat..Sehat. Dengan jiwa dan tubuh sehat, disuruh kerja..kerja..kerja pasti siap," seru dokter Danang lagi. (esy/jpnn)