UGM dan Kemenristek Siap Uji Metode Cuci Otak Dokter Terawan

Category: Berita Nasional Written by Admin Hits: 2199

Yogyakarta, - Kementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi (Kemeristekdikti) dan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FKMK UGM) siap menyediakan fasilitas pengujian untuk membuktikan secara empiris metode Digital Substraction Angiogram (DSA) atau lazim disebut cuci otak dari Dokter Terawan Agus Purwanto.
Direktur Jenderal Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan Tinggi Kemeristekdikti Ali Ghufron mengatakan pihaknya siap menyediakan fasilitas penelitian lebih lanjut untuk DSA guna mengakhiri pro kontra metode cuci otak itu.

“Metode cuci otak yang diterapkan Terawan sama sekali tak bermasalah. Kami menganggap itu adalah inovasi di bidang kesehatan. Namun masalahnya terkait etika kedokteran,” katanya usai menghadiri acara di kampus FKMK UGM, Sabtu (07/4).

Menurut Ali, inovasi terutama di bidang kedokteran sepenuhnya berorientasi pada keselamatan dan tidak merugikan pasien.

Untuk bisa diterapkan ke pasien, sebuah inovasi wajib melewati uji akademik guna melihat tinjauan sistematikanya (systematic review) dan basis bukti (evidence base).

Jika nanti diminta Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga oleh Dokter Terawan, Kemenristekdikti akan memberikan fasilitasi pengujian dengan menggandeng Kementerian Kesehatan dan perguruan tinggi untuk menguji metode itu.

“Pemerintah menghargai setiap inovasi di bidang kesehatan. Namun harus sesuai etika dan kajian akademik,” katanya.

Dekan FKMK UGM Ova Emilia mengatakan meski DSA dinilai berhasil, kajian mendalam dan objektif terhadap metode cuci otak itu kiranya lebih baik dilakukan.

“Menanggapi kasus ini, kami memilih mendiskusikan secara akademik dengan berbagai dokter ahli seperti ahli radiologi, ahli saraf dan bedah saraf, ahli bio etik, hingga ahli teknologi kesehatan. Jadi bukan pernyataan setuju atau tidak setuju,” katanya.

Ova menambahkan, sebuah inovasi di bidang kesehatan baik obat maupun teknik terapi seharusnya melewati tiga tahap pengujian sebelum diterapkan ke pasien.

“Diawali diuji coba dulu ke binatang kecil, uji klinis terbatas, uji klinis secara luas atau berbasis populasi, baru kemudian bisa diluncurkan," ujarnya.

Menurut Ova, meski secara pribadi seorang dokter mampu menangani penyakit yang bukan bidangnya dan berhasil menyembuhkan pasien, tindakan itu dinyatakan salah secara etika kedokteran.

Sebab suatu tindakan atas penyakit harus dilakukan dokter yang berkompetensi di bidangnya.

Sumber: https://www.gatra.com/