Kerangka Konsep

pengantar

Dalam usaha menjalankan fungsi sistem kesehatan ini peran Lembaga-lembaga Perguruan Tinggi yang menghasilkan tenaga kesehatan menjadi strategis. Kesalahan dalam rekrutmen mahasiswa, memilih kurikulum yang tepat, ketidak mampuan menyusun kurikulum dengan baik, dan kekurangan dalam mengelola sistem manajemennya akan membuat perguruan tinggi gagal menghasilkan lulusan yang tepat untuk mendukung berjalannya sistem kesehatan dengan baik.

 Akibatnya cakupan pelayanan kesehatan, mutu pelayanan kesehatan dan keamanan untuk pasien dapat berkurang akibat buruknya sistem pendidikan tenaga kesehatan dan manajemen perguruan tinggi. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pendidikan kedokteran adalah bagian penting dari sistem kesehatan.

 

Konsep dasar

Ada berbagai konsep yang dipergunakan di dalam program ini. Pertama adalah: (1) Pemahaman mengenai hakekat perguruan tinggi sebagai lembaga profesional; (2) Rantai nilai pendidikan tinggi; (3) academic leadership dan supportive leadership, (4) pemahaman mengenai rencana strategis di fakultas kedokteran/kesehatan; (5) siklus hidup kelembagaan.

Konsep 1: Lembaga Perguruan Tinggi sebagai organisasi professional akademik

Konsep pertama adalah adanya kenyataan bahwa lembaga perguruan tinggi bukan merupakan lembaga birokrasi. Konsep ini menyatakan bahwa perguruan tinggi merupakan lembaga para profesional khususnya dosen. Maju atau mundurnya kinerja perguruan tinggi merupakan hasil kinerja para dosen. Tanpa ada dosen yang mengajar, meneliti, menulis di jurnal, yang mampu menarik mahasiswa dalam negeri dan asing, memelihara kampus dengan komitmen tinggi maka sebuah perguruan tinggi sulit meningkatkan kinerjanya.

Dalam konsep ini, para dosen perguruan tinggi sama dengan dokter spesialis di rumahsakit, atau para pelawak di lembaga-lembaga humor seperti Srimulat. Dosen adalah profesional yang mempunyai independensi tinggi. Sebagai gambaran seorang dosen UGM dapat mempunyai pekerjaan sebagai dosen di universitas swasta, dosen terbang di Jakarta, menjadi konsultan untuk lembaga lain, menjadi peneliti sebuah perusahaan penelitian, sampai menjadi bagian dari birokrasi pemerintah. Independensi profesional ini membuat manajemen dosen oleh fakultas bukanlah dengan menggunakan model birokrasi namun menggunakan pendekatan profesional.

Sistem manajemen perguruan tinggi dengan demikian merupakan fasilitas yang mendukung kegiatan para dosen dan peneliti. Dekanat atau rektorat memimpin kelompok kerja yang salahsatu misi utamanya mendukung agar para dosen dapat bekerja dengan nyaman, namun memenuhi aturan yang ada. Sifat kepemimpinan yang supportive ini merupakan hal yang sulit dengan berlatar belakang independensi dosen.

Staf manajemen pendukung

 Gambar 1. Dekan sebagai Supportive Leader

 

Konsep 2: Rantai Nilai Pendidikan Tinggi

Konsep kedua menyatakan bahwa harus ada pertambahan nilai yang diberikan oleh perguruan tinggi untuk mahasiswa dan berbagai pihak yang menggunakan jasa perguruan tinggi.   Nilai bagi pengguna terutama dirasakan dari aktifitas pelayanan yang mencakup: pelayanan sebelum masuk kampus, pelayanan dikampus, sampai pada pelayanan setelah pengguna meninggalkan kampus. Nilai-nilai pengguna ini hanya dapat diperoleh apabila berbagai bagian akademik, program-program studi, dan unit-unit pendukung dapat bekerja sama secara lintas program. Gambar 2 menunjukkan konsep rantai nilai di Perguruan Tinggi.

Rantai Nilai

Gambar 2. Rantai Nilai Perguruan Tinggi 

Aktifitas pelayanan di perguruan tinggi mencakup pendidikan, penelitian,konsultasi, sampai ke pengabdian masyarakat. Setiap aktifitas pelayanan mempunyai benchmark internasional ataupun nasional. Untuk memenuhi benchmark tersebut produk pelayanan perguruan tinggi perlu didukung oleh berbagai aktifitas manajemen pendukung , antara lain:

    1. Peningkatan Kualitas dan Relevansi Program Pendidikan Sarjana dan Pascasarjana serta Peningkatan Kualitas dan Relevansi Penelitian dan Pelayanan Pada Masyarakat .
    2. Pengelolaan Fakultas yang Efisien dan Produktif.
    3. Penyediaan Sarana dan Prasarana yang mendukung mutu.
    4. Pengembangan Kemandirian Organisasi dan Jaringan

Disamping itu dibutuhkan budaya organisasi yang mendukung, dan struktur organisasi yang baik.

 

Konsep 3: Academic Leadership yang Supportive dan Leadership Keilmuan

Efektifitas perguruan tinggi merupakan tanggung jawab pemimpin perguruan tinggi (rektorat) atau fakultas (dekanat). Dalam konteks sistem manajemen yang terdiri para dosen yang independen, sifat pemimpin perguruan tinggi perlu mengacu ke ciri-ciri supportive leader. Para pemimpin universitas harus menjadi leader yang supportive: memimpin lembaga untuk meningkatkan efektifitas sistem manajemen sebagai support pada para dosen (scientist leaders) yang menjadi ujung tombak kemajuan perguruan tinggi. Kebutuhan ini berbeda dengan pemimpin dalam lembaga birokrasi atau militer. Dalam pemilihan rektor dan dekan diperlukan kriteria sebagai supportive leader yang harus mampu mengelola sistem manajemen perguruan tinggi.

Akan tetapi di Indonesia, kriteria ini dapat disampingkan dengan mudah karena proses pemilihan dekan atau rektor sering diwarnai dengan pertimbangan politis. Di berbagai universitas dan fakultas bahkan dilakukan pemilihan dengan model pilihan kepala daerah yang menggunakan sistem “one man/woman one vote”. Akibatnya terjadi politisasi fakultas yang terkait dengan pemilihan dekan. Atau politisasi perguruan tinggi dalam pemilihan rektor. Prinsip one-man one vote dalam demokrasi membawa pengaruh pada sifat primordialisme dalam pemilihan. Dalam jaman komunikasi canggih saat ini, dampak negatif dari pemilihan dekan dan rektor dengan menggunakan one man one vote adalah adanya black campaign, perusakan karakter, terjadinya blok-blok politik di kelompok dosen yang dapat menghancurkan sendi-sendi ilmiah di perguruan tinggi.

Di berbagai belahan dunia, di perguruan tinggi yang maju pendekatan yang dipilih bukanlah model pemilihan politik dengan asas demokrasi. Yang dipergunakan mirip dengan pemilihan CEO sebuah lembaga usaha. Dilakukan kegiatan berupa head-hunter dan meninggalkan pilihan one-man one vote.

Dengan meninggalkan model pemilihan one man one vote, diharapkan politisasi di dala kehidupan kampus dapat berkurang dan pimpinan fakultas dapat focus untuk menjadi pemimpin yang supportive untuk dosen di lembaganya.

Dalam hal ini menjadi pertanyaan; siapa pemimpin keilmuan? Para pemimpin ilmu (scientist leaders) adalah dosen yang memimpin kelompok ilmu, dihormati oleh peersnya, mempunyai follower keilmuan berupa mahasiswa, peneliti, ataupun masyarakat umum. Di sebuah fakultas pemimpin structural hanya satu, tapi pemimpin ilmu bisa banyak (puluhan).

Para scientist leaders ini yang bersama-sama akan meningkatkan kinerja universitas dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Scientist leader yang menemukan ilmu baru, memberikan pencerahan ke masyarakat, memperoleh hadiah Nobel, sampai ke membimbing calon pemimpin bangsa.

Agar para scientist leaders ini dapat bekerja dengan baik dan nyaman serta tidak anarkis, maka ada dekan atau rektor. Kalau dilihat dari pemikiran ini maka para pemimpin structural salah satu fungsi utamanya adalah mendukung para pemimpin ilmu. Bukan memerintah atau supresi. Walaupun demikian pemimpin structural juga mempunyai otoritas agar para pemimpin ilmu tidak melanggar batas-batas aturan, atau anarkis. Jadi inilah uniknya kepemimpinan di fakultas: seorang pejabat structural mempimpin para pemimpin lainnya yang mungkin lebih senior, lebih tinggi pangkatnya, dan bahkan mantan dekan/rector. Inilah salahsatu sifat yang membedakan universitas dengan kantor pemerintah biasa, atau partai politik.

Pengamatan di berbagai kampus di Indonesia, yang diperhatikan dan selalu menjadi ajang kegaduhan adalah pemimpin structural seperti dekan dan rector. Jabatan ini menjadi rebutan. Di sebuah universitas negeri di luar Jawa, boleh dikata tidak ada dosen yang menjadi scientist leaders. Yang dicari adalah bagaimana menjadi dekan. Scientist leaders adalah dunia yang tidak menarik dan sepi, walaupun sebenarnya dari merekalah kekuatan unversitas terbangun.

Konsep 4. Manajemen strategis di fakultas kedokteran/kesehatan.

Konsep keempat mengenai manajemen strategis dan rencana strategis dimana ada kenyataan bahwa proses penyusunan rencana strategis di perguruan tinggi bukan proses yang hanya dilakukan seseorang atau sekelompok kecil perencana. Proses ini merupakan kegiatan yang mencakup perencanaan berbagai Jurusan, Bagian, Pusat, Unit-unit pendukung dan tentunya melibatkan sebagian besar civitas akademika Fakultas Kedokteran/Kesehatan Masyarakat/Poltekes. Proses ini tidak hanya bertujuan untuk menghasilkan dokumen namun untuk meningkatkan komitmen dan kepemimpinan di perguruan tinggi. Proses perencanaan ini hanya dapat dijalankan oleh para pengelola yang memahami konsep manajemen strategis.

Konsep 5. Usia perguruan tinggi dan survival.

Dalam konteks perkembangan sebuah lembaga perguruan tinggi terdapat usia hidup yang perlu dicermati. Harvard University merupakan lembaga yang sudah berusia lebih dari 300 tahun dan terus berkembang. Sebagian besar perguruan tinggi di Indonesia masih banyak yang berusia di bawah 50 tahun. Usia yang masih muda ini menunjukkan bahwa perguruan tinggi di Indonesia masih banyak yang belum sampai pada tahap maturitas. Sebagian besar masih dalam tahap pertumbuhan yang membutuhkan sistem manajemen yang bekerja efektif untuk membangun organisasi yang mampu mengelola pertumbuhan. Berdasarkan teori, perkembangan sebuah perguruan tinggi dapat digambarkan melalui siklus kehidupan organisasi dengan gambar sebagai berikut:

 

siklus hidup PT

Gambar 3. Siklus Hidup Perguruan Tinggi

Perguruan Tinggi yang maju di Indonesia perlu memperhatikan konsep ini dengan sebaik-baiknya. Ada beberapa hal yang perlu dicermati dalam konsep ini:

  1. Waktu yang menjadi bentangan dua titik awal dan akhir dalam kurve dapat singkat atau lama. Ada perguruan tinggi yang berumur pendek dan tidak mengalami kemajuan, dan ada yang berumur panjang dengan perbaikan terus menerus.
  2. Ada kecenderungan pengelola perguruan tinggi mengalami disorientasi dengan waktu dengan menggunakan metafora ulang tahun ke 50 sebagai ulang tahun emas. Metafora ini mengambil siklus hidup manuska yang tidak cocok untuk diterapkan di dalam lembaga.
  3. Ketidak sadaran pengelola perguruan tinggi bahwa lembaganya ada kemungkinan sudah masuk dalam titik puncak perkembangan dan sudah mulai mundur.

[1] Ross, Bernard, and Clare Segal. 2002. Breakthrough Thinking for Nonprofit Organizations: Creative Strategies for Extraordinary Results. San Francisco: Jossey-Bass.