Kesiapan Dokter Subspesialis dalam Persaingan Pelayanan Kesehatan di Era Mayarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

Rangkuman:

Kesiapan Dokter Subspesialis dalam Persaingan Pelayanan Kesehatan di Era Mayarakat Ekonomi ASEAN (MEA): Bagaimana Posisi dan Peran IDI?


Yogyakarta – Sabtu, 20 Februari 2016.

PKMK FK UGM menyelenggarakan pertemuan diskusi kedua dari Seri Seminar Perhimpunan Profesi. Diskusi ini mengangkat tema Kesiapan Dokter Subspesialis dalam Persaingan Pelayanan Kesehatan di Era Mayarakat Ekonomi ASEAN (MEA): Bagaimana Posisi dan Peran IDI? Para pembicara dan pembahas berasal dari beragam kalangan, antara lain dari bagian PPSDM Kementerian Kesehatan, PKMK, POGI, KKI, IDI, dan PAPDI didatangkan dalam seminar ini.

Pengantar

Dalam konteks MEA ini ada potensi konflik antara Ikatan Profesi dengan keinginan masyarakat. Masyarakat ingin lebih banyak dokter agar akses lebih baik. Sementara itu, ada kemungkinan Ikatan Profesi berusaha menahan masuknya dokter asing, bahkan pimpinan IDI secara terbuka di media massa menyatakan penolakan. Bermula dari kekhawatiran inilah kemudian seminar ini diselenggarakan.

Pembicara

Diskusi dimulai dengan presentasi dari dr. Asjikin Iman H. Dachlan,MHA, Kepala Pusrengun PPSDM Kementerian Kesehatan dan Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM. Dr. Asjikin menjelaskan beberapa regulasi dan kesepakatan yang telah diatur dalam rangka MEA, sedangkan dr. Andreasta mengemukakan beberapa data mengenai kondisi lapangan tenaga kesehatan di beberapa negara.

Dipandang dari perspektif birokrasi, negara-negara ASEAN saat ini masih memproteksi tenaga kesehatan Warga Negara Asing dan bersepakat untuk hanya saling bertukar teknologi informasi. Disebutkan pula  bahwa Indonesia merupakan negara yang sangat diminati untuk kerja dokter spesialis dari asing, membangun Rumah Sakit dan mengekspor pasien ke luar negeri.

Meski sudah terdapat beberapa regulasi yang mengatur, namun Indonesia masih berpredikat soft door policy sehingga dibutuhkan strategi yang lebih matang dalam menghadapi MEA, apakah strategi bertahan atau penetrasi ke luar negeri, atau untuk menambah supply tenaga kesehatan yang kurang. Terutama adanya klausul bahwa jika adanya ketimpangan rasio tenaga kesehatan, maka aturan pelarangan masuknya tenaga kesehatan asing dapat ditembus.

Pembahasan

Setelah presentasi, dilanjutkan dengan diskusi bersama para pembahas yaitu DR. dr. Kiki Lukman, M(Med)Sc, Sp.B.KBD, FCSI (Wakil ketua MKKI) sebagai perwakilan IDI Pusat, Dr. Sukman Tulus Putra, Sp.A(K) (Ketua divisi pendidikan KK) dari Konsil kedokteran indonesia, dr. Nurdadi Saleh, SpOG dari POGI Pusat , dan DR. dr. Zulkifli Amin, SPPD-KP dari Kolegium PAPDI.

Diskusi yang berlangsung selama kurang lebih 2 jam ini membahas bahwa perhimpunan profesi tidak sepenuhnya menolak MEA. Beberapa perhimpunan profesi telah menyiapkan banyak hal dalam persiapan menghadapi MEA. Selain itu, para perhimpunan profesi menginginkan disusunnya suatu regulasi tentang masuknya tenaga kesehatan asing dalam rangka melindungi masyarakat Indonesia agar mendapatkan pelayanan yang benar, termasuk juga melindungi dokternya, jangan sampai dokter Indonesia justru tidak bisa mencari makan di tanah air sendiri.

Perhimpunan profesi mengharapkan ada dialog lebih lanjut tentang strategi MEA Indonesia. Saat ini yang aktif untuk melakukan perundingan adalah Konsil Kedokteran Indonesia dan Kementerian kesehatan. Namun demikian, Kolegium Bedah juga telah melakukan dialog strategis dengan mitra dari negara MEA. Informasi ini menunjukkan perlunya pembahasan khusus yang melibatkan berbagai pihak mengenai strategi sektor kesehatan Indonesia dalam menghadapi MEA. Salah satu faktor yang perlu segera dibangun adalah informasi tentang tenaga kesehatan, terutama dokter spesialis dan dokter sub spesialis. Pelayanan kedua jenis tenaga kesehatan strategis ini adalah pelayanan yang akan menjadi ujung tombak pelayanan antar negara MEA.

Diperlukan pula penelitian lebih lanjut tentang distribusi dokter serta akar masalah lambat dan kurangnya layanan kesehatan, apakah dari alat yang rusak atau penganggaran dana kesehatan yang kurang. Pada akhirnya diperlukan terobosan baru dari pihak perhimpunan profesi, kementerian kesehatan, institusi pendidikan kedokteran, dan berbagai pihak yang terkait untuk mengatasi masalah ketimpangan distribusi dokter dan dokter spesialis-subspesialis agar tidak menjadi justifikasi bagi masuknya dokter asing ke Indonesia.

Ringkasan

  1. Posisi IDI dan KKI tidak sepenuhnya menolak MEA. Berita-berita di media massa yang menyebutkan bahwa IDI menolak, tidak sepenuhnya tergambar dalam diskusi ini. Hal ini melegakan karena posisi menolak akan menyebabkan kesulitan menyusun strategi yang tepat untuk menghadapi MEA.
  2. Kerentaan Indonesia terutama dalam hal ketersediaan tenaga sub-spesialis dan spesialis. Perlu pula data yang lebih detail tentang spesialis dan sub-spesialis serta menjadikan residen sebagai pekerja dokter yang sedang magang melalui academic health system yang lebih baik.
  3. Perlu adanya kemampuan diplomasi yang baik untuk memenuhi kepentingan masyarakat Indonesia dan (sekaligus) melindungi kepentingan anggota perhimpunan profesi. Dalam konteks kebutuhan dokter spesialis dan sub-spesialis, jangan sampai IDI menjadi public enemy karena tidak mampu bekerja sama dengan stakeholder lain dan kurang mampu melakukan lobi dan diplomasi.
  4. Dengan menyusun strategi persiapan yang lebih matang dalam menghadapi MEA, diharapkan perhimpunan profesi mampu menjadikan MEA sebagai peluang untuk memperbaiki status kesehatan di Indonesia, bukan sebagai ancaman.

Pendapat Hukum Terhadap Perjanjian Antara Profesi Dokter Dan Mitranya

Pendapat Hukum
Terhadap Perjanjian Antara Profesi Dokter
Dan Mitranya (Perusahaan Farmasi)

Oleh: Eddy OS Hiariej[1]


Kasus Posisi

  1. Bahwa terdapat kesepakatan bersama tanggal 11 Juni 2007 antara IDI dengan GP Farmasi yang berisi Ikatan Dokter Indonesia (termasuk organisasi seminat/spesialis dan organisasi lain di lingkungan IDI) harus menyusun dan memverifikasi berbagai kegiatan resmi organisasi, khususnya yang berkaitandengan sponsorship atau pendanaan dari anggota GP Farmasi Indonesia sertamelakukan koordinasi dengan GP Farmasi Indonesia untuk tindak lanjutnya.Hubungan antara GP Farmasi selaku produsen yang profit oriented dengandokter yang memiliki kewenangan dalam meresepkan obat dan kewajibanuntuk menambah pengetahuan, dari sudut pandang rezim undang-undang tindak pidana korupsi sangat berpotensi menimbulkan konflikkepentingan yang bersifat real dan potensial.
  2. Bahwa dengan dikeluarkannya Penerapan Peraturan Menteri Kesehatan RepublikIndonesia Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pengendalian Gratifikasi maka setiappenerimaan Gratifikasi yang diterima oleh aparatur Kementerian Kesehatanharus dilaporkan.
  3. Bahwa Permenkes No 14 Tahun 2014 mengatur aparatur Kementerian Kesehatan,yaitu semua orang yang bekerja di lingkungan Kementerian Kesehatan, termasuk profesi dokter.Sehingga untuk tenaga kesehatan diluar Kementerian Kesehatan tidaktercakup dalam aturan ini.
  4. Bahwa pada saat ini, perbincangan dikalangan profesi kedokteran diramaikan dengan isu gratifikasi pada profesional dokter, terlebih lagi dari beberapa media cetak dan elektronik mengangkat pemberitaan terkait issue gratifikasi di kalangan dokter yang pada akhirnya mendapatkan berbagai respon beragam baik dari kalangan dokter dan dokter gigi maupun masyarakat.
  5. Bahwa berdasarkan “KAJIAN HUKUM KERJASAMA DOKTER DENGAN MITRA, YANG TIDAK BERTENTANGAN DENGAN KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA DAN PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN”, dalam menjalankan profesi dan pekerjaannya, seorang dokter diwajibkan untuk meningkatkan pendidikan dan ilmu pengetahuan kedokteran secara berkelanjutan yang dilandasi dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) dan di atur dalam peraturan perundang – undangan yaitu:
  • Undang–Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran:
    • Pasal 28 ayat (1): setiap dokter atau dokter gigi yang berpraktik wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi dalam rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran atau kedokteran gigi;
    • Pasal 51 huruf e: dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi;
    • Pasal 79 butir c: dipidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) , setiap dokter atau dokter gigiyang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dalam pasal 51 huruf e.

Bahwa dengan mengikuti pendidikan dan pelatihan tersebut setiap dokter atau dokter gigi akan menerima Sertifikat Kompetensi ( Serkom ) oleh organisasi profesi sesuai pasal 27 Undang – Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dimana Sertifikat Kompetensi ( Serkom ) merupakan salah satu persyaratan untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi ( STR ) dokter atau dokter gigi dari Konsil Kedokteran Indonesia ( KKI ) yang masa berlaku selama 5 tahun sehingga dapat di gunakan untuk mendapatkan Surat Ijin Praktik ( SIP ) dari Dinas Kesehatan Kota / Kabupaten dan harus terpenuhinya kembali salah satu persyaratan tersebut dengan selalu mengikuti pendidikan dan pelatihan kedokteran dan kedokteran gigi berkelanjutan. (pasal 29 butir 3 huruf d dan butir 4 ), hal ini juga telah diatur dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia ( Perkonsil ) Nomor 6 tahun 2012 tentang Registrasi Dokter dan Dokter Gigi. Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Kedokteran Berkelanjutan tersebut selain dalam rangka memenuhi perintah dan kewajiban terhadap Undang-Undang dalam pemenuhan untuk mendapatkan Sertifikat Kompetensi ( Serkom ) Dokter dan Dokter Gigi tetapi juga dalam rangka untuk meningkatkan mutu pelayanan kedokteran kepada masyarakat.

  • Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) Pasal 21 : bahwa setiap dokter wajib senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/ kesehatan, yang pada penjelasan pasal 21 tersebut, khususnya cakupan pasal ( 5 ) bahwa setiap dokter wajib mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran / kesehatan sebagaimana dimaksud, dilakukan dengan:
    • Membaca berbagai literatur dalam buku, majalah ilmiah , kepustakaan elektronik, brosur dan sebagainya:
    • Mengikuti kegiatan seminar, symposium, workshops/ lokakarya, kursus – kursus, pelatihan dan lain sebagainya, aga ilmu dan ketrampilan tetap diakui dan dipercaya:
    • Secara aktif melakukan penelitian kedokteran dan kesehatan.

Bahwa kerjasama dokter dengan mitranya juga diatur dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) Pasal 3: dalam melakukan pekerjaan ke-dokteran-nya seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi, dimana pada pejelasan Pasal 3 cakupan pasal (6): bahwa seorang dokter dapat menerima bantuan dari pihak sponsor untuk keperluan keikutsertaan dalam temu ilmiah mencakup pendaftaran, akomodasi dan transportasi sewajarnya sesuai kode etik masing – masing. Demikian pula pada penjelasan Pasal 3 cakupan pasal (11): bahwa pemberian sponsor kepada seorang dokter haruslah di batasi pada kewajaran dan dinyatakan jelas tujuan, jenis, waktu dan tempat kegiatan ilmiah tersebut serta kejelasan peruntukan pemberian dimaksud dan secara berkala dilaporkan kepada Pimpinan organisasi profesi setempat untuk di teruskan ke Pimpinan Besar Ikatan Dokter Indonesia.

Bahwa dalam rangka bekerja sama dengan mitra terkait seorang dokter wajib memenuhi ketentuan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) dan peraturan perundang-undang yang berlaku, sebagai berikut:

  • Seorang dokter dalam melakukan pekerjaan kedokterannya tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi (sesuai dengan KODEKI Pasal 3). Kaitannya dengan promosi obat adalah dokter dilarang menjuruskan pasien untuk membeli obat tertentu karena dokter yang bersangkutan telah menerima komisi dari perusahaan farmasi tertentu.
  • Dukungan apapun yang diberikan oleh mitra terkait kepada seorang dokter untuk menghadiri pertemuan ilmiah tidak boleh disyaratkan / dikaitkan dengan kewajiban untuk mempromosikan atau meresepkan suatu produk.
  • Mitra terkait boleh memberikan sponsor kepada seorang dokter secara individual dalam rangka pendidikan kedokteran berkelanjutan, yaitu hanya untuk biaya registrasi, akomodasi dan transportasi dari dan ke tempat acara pendidikan kedokteran berkelanjutan.
  • Mitra terkait dilarang memberikan honorarium dan atau uang saku kepada seorang dokter untuk menghadiri pendidikan kedokteran berkelanjutan, kecuali dokter tersebut berkedudukan sebagai pembicara atau menjadi moderator.
  • Dalam hal pemberian donasi kepada profesi kedokteran, mitra terkait tidak boleh menawarkan hadiah / penghargaan, insentif, donasi, financial dalam bentuk bentuk apapun juga, yang dikaitkan dengan penggunaan produk tertentu.
  • Pemberian donasi dan atau hadiah dari mitra terkait hanya diperbolehkan untuk organisasi profesi kedokteran dan tidak diberikan kepada dokter secara individual.

Permasalahan Yuridis

  1. Terkait pandangan hukum mengenai profesi dokter yang diangkat oleh instansi umum/kekuasaan umum/kekuasaan Negara.

Apakah dokter, baik dokter PNS, ataupun dokter swasta (non-PNS) masukdalam kualifikasi Pegawai Negeri sebagaimana diatur pada Pasal 1angka 2 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 92KUHP jo. Pasal 2 United Nation Convention Against Corruption (UNCAC)?

Perlu diingat bahwa pengertian pemangku jabatan umum sebagaimana diatur pada Pasal 92 KUHP.

    1. Mengacu pada pendapat R. Soesilo dan Arrest Hoge Raad tertanggal 30Januari 1911, W.9149 dan 25 Oktober 1915, NJ 195 halaman 1205W.9861, karakteristik Pasal 92 KUHP yang perlu diperhatikan untukmenjawab apakah sebuah jabatan masuk kualifikasi Pegawai Negeri, adalah:
      1. Apakah orang yang memegang jabatan atau profesi tersebutdiangkat oleh instansi umum/kekuasaan umum/kekuasaan Negara?
      2. Apakah orang tersebut memangku jabatan umum?
      3. Apakah orang tersebut melakukan sebagian tugas Negara? seperti:melakukan fungsi pelayanan publik?
      4. Apakah seorang dokter swasta dapat disebut memangku jabatan umumsebagaimana disebut di atas?
    1. Terkait pemberian sponsorship untuk peningkatan kompetensi kepada dokter:
      Apakah penerimaan dana atau fasilitas dalam bentuk sponsorship yangdiberikan perusahaan farmasi terhadap individu dokter dapatdikategorikan sebagai gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan danberlawanan dengan tugas dan kewajiban dokter?
    1. Bagaimanakah mekanisme ideal terkait pemberian Corporate Social Responsibility perusahaan farmasi untukpeningkatan kompetensi kedokteran?

Analisis Yuridis

  1. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tentunya harus terlebih dahulu apa pengertian dari “pegawai negeri”. Dengan menggunakan interpretasi sistematis[2], sebagaimana termaktub dalam Ketentuan Umum Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dimaksud dengan “pegawai negeri” adalah: Pertama, Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Tentang Kepegawaian, yaitu setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Definisi tersebut di atas adalah berdasarkan bunyi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Adapun pengaturan yang terbaru, yaitu berdasarkan Undang - Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Pada pasal 1 butir 2 disebutkan “Pegawai Aparatur Sipil Negara“ yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dan yang dimaksud pegawai negeri sipil adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. Kedua, Pegawai Negeri yang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana disebut dengan istilah “pejabat”sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) KUHP , yaitu orang-orang dipilih berdasarkan aturan-aturan umum. Ketiga, Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah. Keempat, Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah. Kelima, Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.Adapun berdasarkan doktrin Ahli, Lilik Mulyadi mendefinisikan yang bisa dikualifikasikan sebagai pegawai negeri adalah:Pertama, Pegawai pada Mahkamah Agung RI dan Mahkamah Konstitusi.Kedua, Pegawai pada Kementerian/Departemen dan Lembaga Pemerintah Non-Departemen.Ketiga, Pegawai pada Kejaksaan Agung RI. Keempat, Pimpinan dan pegawai pada Sekretariat MPR, DPR, DPD, DPRD Propinsi/Daerah Tingkat II. Kelima, Pegawai pada Perguruan Tinggi Negeri. Keenam, Pegawai pada Komisi atau Badan yang dibentuk berdasarkan undang-undang, keputusan presiden, sekretaris kabinet, dan sekretaris militer. Ketujuh, Pegawai pada BUMN dan BUMD.Kedelapan, Pegawai pada badan peradilan (peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara). Kesembilan, Anggota TNI dan POLRI serta Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan TNI dan POLRI. Kesepuluh, Pimpinan dan Pegawai di Lingkungan Pemerintah Daerah DATI I dan DATI II.

Adapun dalam rezim United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)[3], istilah pegawai negeri dalam sudut pandang rezim tindak pidana korupsi dapat dipersamakan istilah public official atau pejabat publik. Pasal 2 huruf (a) UNCAC menyatakan: “ “Public Official” shall mean: (i) any person holding a legislative, executive, administrative or judicial office of a State Party, whether appointed or elected, whether permanent or temporary, whether paid or unpaid, irrespective of that person’s seniority; (ii) any other person who performs a public function, including for a public agency or public enterprise, or provides a public service, as defined in the domestic law of the State Party and as applied in the pertinent area of law of that State Party; (iii) any other person defined as a “public official” in the domestic law of a State Party. However, for the purpose of some specific measures contained in chapter II of this Convention, “public official” may mean any person who performs a public function or provides a public service as defined in the domestic law of the State Party and as applied in the pertinent area of law of that State Party ”.Apabila diterjemahkan secara bebas, kiranya dapat diartikan bahwa: “ “Pejabat publik” berarti: (i) setiap orang yang memegang jabatan legislatif, eksekutif, administratif, atau yudikatif dari suatu Negara Pihak, baik diangkat atau dipilih, baik tetap atau sementara, baik dibayar atau tidak dibayar, tanpa memperhatikan senioritas orang itu; (ii) setiap orang yang melaksanakan fungsi publik, termasuk untuk suatu instansi publik atau perusahaan publik, atau memberikan layanan umum, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang nasional Negara Pihak dan sebagaimana beraku di bidang hukum yang sesuai dari Negara Pihak tersebut; (iii) setiap orang yang dimaksud sebagai “pejabat publik” dalam undang-undang nasionalNegara Pihak. Namun demikian, untuk tujuan upaya-upaya tertentu yang tercantumdalam bab II Konvensi ini, “pejabat publik” dapat berarti setiap orang yangmelaksanakan fungsi publik atau menyediakan layanan umum sebagaimana dimaksuddalam undang-undang nasional Negara Pihak dan sebagaimana berlaku di bidanghukum yang sesuai dari Negara Pihak tersebut “.

Dengan berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka profesi dokter, baik dokter yang berstatus sebagai PNS maupun dokter swasta (non-PNS) dapat dikualifikasikan sebagai pegawai negeri. Setidaknya ada 3 alasan yang dapat menjadi dasar pernyataan tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, profesi dokter diatur oleh suatu undang-undang (Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran) yang jelas dikualifikasikan sebagai suatu aturan yang bersifat umum yang menjadi payung hukum berlaku tidak hanya bagi dokter dan organisasi dokter, namun berlaku juga bagi pasien yang merupakan bagian dari masyarakat umum. Kedua, bahwa dokter dapat berpraktik karena mendapatkan STR(Surat Tanda Registrasi) dokter dari Konsil Kedokteran Indonesia,yang mana keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia tersebut ditetapkan oleh Presiden atas usulan Menteri Kesehatan (Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran). Artinya, berdasarkan undang-undang yang mengaturnya, ada campur tangan negara untuk dokter dapat berpraktik di Indonesia. Ketiga, dokter menjalankan profesi yang memberikan suatu fungsi publik atau layanan umumbagi masyarakat sebagai pasiennya. Keempat, selain karena diatur oleh undang-undang yang bersifat umum sebagaimana penjelasan tersebut di atas, dokter juga dapat dikualifikasikan sebagai salah satu pemegang jabatan umum karena dapat dikatakan bahwa profesi dokter adalah suatu profesi dan juga jabatan yang menjalankan tugas negara dalam bidang kesehatan, atau secara sederhana profesi dokter adalah kepanjangan tangan negara dalam bidang kesehatan. Keempat alasan tersebut dari sisi hukum pidana, sudah lebih dari cukup untuk dapat memasukkan profesi dokter sebagai bagian dari terminologi “pegawai negeri”.

  1. Apa yang dimaksud dengan gratifikasi? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, gratifikasi diartikan sebagai pemberian hadiah uang kepada pegawai di luar gaji yang ditentukan[4]. Sedangkan dalam kamus hukum, gratifikasi – yang berasal dari bahasa Belanda, gratificatie atau bahasa Inggrisnya, gratification – diartikan sebagai hadiah uang[5]. Berdasarkan kedua pengertian tersebut ada beberapa catatan Ahli:
    Pertama, baik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, maupun kamus hukum, gratifikasi diartikan sebagai pemberian hadiah berupa uang. Kedua, pengertian gratifikasi dalam kedua kamus tersebut bersifat netral. Artinya, tindakan gratifikasi bukanlah merupakan suatu perbuatan tercela atau makna suatu perbuatan yang negatif. Ketiga, objek gratifikasi dalam pengertian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia jelas ditujukan kepada pegawai, sementara dalam kamus hukum, objek gratifikasi tidak ditentukan.
    Dalam konteks hukum pidana, khususnya berkaitan dengan tindak pidana korupsi, pengertian gratifikasi tidak sama persis dengan apa yang tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia maupun Kamus Hukum. Istilah gratifikasi secara jelas dan gamblang kita temukan dalam Pasal 12B dan Pasal 12C Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
    Agar tidak bias, secara lengkap Ahli kutipkan ketentuan kedua pasal tersebut adalah sebagai berikut:

Pasal 12 B

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut :

  1. yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
  2. yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) pembuktian gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
  3. (2)Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 12C

(1)Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(2)Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

(3)Komisi Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.

(4)Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”

Dalam penjelasan undang-undang a quo, dinyatakan bahwa gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Masih menurut penjelasan tersebut, gratifikasi baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektornik atau tanpa sarana elektronik.

Berdasarkan konstruksi kedua pasal tersebut di atas, analisisnya adalah sebagai berikut: Pertama, bestandeel[6] dari gratifikasi menurut undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah :

  1. Pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya, baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektornik atau tanpa sarana elektronik.
  2. Penerima gratifikasi tersebut harus berstatus sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara.
  3. Berhubungan dengan jabatannya.
  4. Berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
  5. Tidak melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  6. Penyampaian laporan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

Kedua, keenam unsur tersebut bersifat kumulatif. Artinya, salah satu unsur saja tidak terpenuhi dari keenam unsur tersebut, maka perbuatan yang dimaksud tidak dapat dikualifikasikan sebagai gratifikasi. Ketiga, pembuktian dalam gratifikasi ada yang dibebankan kepada jaksa penuntut umum dan ada juga yang dibebankan kepada penerima gratifikasi atau omkering van beweijslast[7].

Adapun catatan terhadap konstruksi kedua pasal tersebut di atas adalah: Pertama, gratifikasi pada dasarnya bukanlah suatu tindak pidana. Kedua, gratifikasi baru dianggap sebagai tindak pidana, dalam hal ini dipersamakan dengan suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Tegasnya, jika gratifikasi tidak berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, maka gratifikasi tersebut adalah perbuatan yang sah menurut hukum. Sebagai misal, banyak pejabat negara di Indonesia yang berasal dari kalangan akademis. Ketika dia memberi kuliah atau sebagai pembicara dalam seminar yang tidak ada kaitannya dengan kewajiban atau tugasnya kemudian mendapatkan honor, maka penerimaan honor tersebut adalah gratifikasi yang sah menurut hukum pidana. Ketiga, semangat para pembentuk undang-undang perihal gratifikasi yang dianggap sebagai suap adalah kepada pejabat negara dengan kewajiban untuk melaporkan setiap pemberian yang dianggap ada kaitannya dengan jabatan atau yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya kepada KPK terlepas dari apakah pemberian tersebut akan dimiliki ataukah tidak.Keempat, terdapat alasan penghapus tuntutan pidana jika penerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan atau berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya melaporkan hal tersebut kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari. Kelima, salah satu kelemahan dalam pasal gratifikasi yang dipersamakan dengan suap ini adalah tidak ada ancaman pidana bagi yang memberi gratifikasi. Padahal, secara teori jika gratifikasi yang berkaitan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas atau kewajibannya dipersamakan dengan suap, maka tidak mungkin ada penerima suap tanpa ada pemberi suap. Menurut ajaran kausalitas dalam hukum pidana, pemberi suap adalah causa proxima (sebab mutlak) adanya penerima suap.

Berdasarkan kasus posisi di atas, sebagaimana permasalahan kedua dalam legal opini ini, apakah penerimaan dana atau fasilitas dalam bentuk sponsorship yang diberikan perusahaan farmasi terhadap individu dokter dapat dikategorikan sebagai gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas dan kewajiban dokter?Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka setiap fakta yang ada harus dianalisis berdasarkan ketentuan dalam undang-undang a quo. Adapun analisisnya adalah sebagai berikut:

Pertama, unsur gratifikasi. penerimaan dana atau fasilitas dalam bentuk sponsorship yang diberikan perusahaan farmasi terhadap individu dokteradalah bentuk gratifikasi sesuai dengan definisinya menurut undang-undang, yaitu pemberian uang, barang, rabat (discount) atau komisi dan seterusnya. penerimaan dana atau fasilitas dapat dimasukkan sebagai pemberian komisi, yang mana menurut undang-undangnya, seharusnya dokter hanya mendapatkan gaji dan biaya jasa atas pelayanan yang diberikannya. Dengan demikian unsur gratifikasi terpenuhi.

Kedua, unsur penerima gratifikasi. Adresat gratifikasi menurut undang-undang a quo adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara. Sebagaimana penjelasan Ahli di atas, bahwa profesi dokter dapat dikualifikasikan sebagai pegawai negeri. Dengan demikian unsur penerima gratifikasi juga terpenuhi.

Ketiga, berhubungan dengan jabatannya. Sebagaimana pula penjelasan Ahli di atas, bahwa dokter adalah suatu profesi dan juga jabatan yang menjalankan tugas negara dalam bidang kesehatan, atau secara sederhana profesi dokter adalah kepanjangan tangan negara dalam bidang kesehatan. Dengan demikian unsur ‘berhubungan dengan jabatannya’ menurut undang-undang a quo terpenuhi.

Keempat, unsur berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Dokter yang menerima dana atau fasilitas dalam bentuk sponsorship yang diberikan perusahaan farmasi terhadap individu dokter jelas tidak sesuai dengan kewajiban atau tugasnya dan tentunya di luar penghasilan yang seharusnya diterimanya, yang akan sangat mungkin akan menimbulkan konflik kepentingan, karena dokter bertugas untuk memberikan layanan publik dalam bidang kesehatan. Dan tentunya akibat lainnya akan sangat mungkin memberikan dampak bagi pihak lainnya, khususnya pasien. Karena untuk dapat membayar sponsorshhip tersebut, perusahaan farmasi akan sangat mungkin menjual obat-obatan yang dibutuhkan masyarakat sebagai pasien dokter dengan harga yang mahal untuk mensubsidi biaya sponsorshhip para dokter tersebut. Tegasnya, unsur ‘berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya’ menjadi terpenuhi.

Kelima, unsur “tidak melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. Unsur ini jelas terpenuhi karena dokter-dokter penerima gratifikasi tersebut selama ini tidak pernah memberikan laporan penerimaan gratifikasinya tersebut kepada komisi pemberantasan korupsi.

Keenam, dalam kaitannya dengan unsur kelima, maka unsur ‘penyampaian laporan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima’ juga terpenuhi.

Sebagaimana yang telah diutarakan di atas bahwa unsur-unsur dari tindak pidana korupsi dalam bentuk gratifikasi adalah bersifat kumulatif. Artinya, jika salah satu unsur saja tidak terpenuhi, maka bukan merupakan tindak pidana korupsi dalam bentuk gratifikasi. Namun, sebagaimana penjelasan Ahli tersebut di atas, bahwa penerimaan dana atau fasilitas dalam bentuk sponsorship yang diberikan perusahaan farmasi terhadap individu dokter tersebut telah terpenuhi unsur gratifikasinya, maka dengan demikian dapat Ahli tegaskan bahwa penerimaan dana atau fasilitas dalam bentuk sponsorship yang diberikan perusahaan farmasi terhadap individu dokter merupakan tindak pidana korupsi dalam bentuk gratifikasi.

  1. Menurut Ahli, tidak boleh lagi ada bentuk sponsorship (sebagai perwujudan CSR perusahaan farmasi) yang berbentuk penerimaan dana atau fasilitas. Usulan Ahli, CSR tersebut dapat berupa: Pertama, pengadaan pelatihan sebagai up grading pengetahuan dan kemampuan para dokter, tanpa adanya penerimaan lainnya yang bersifat ekonomis yang diterima oleh para dokter tersebut.Kedua, jikapun tetap akan diadakan pemberian dana dan fasilitas, harus disalurkan kepada institusi tempat dokter tersebut bekerja secara aktif, yang mana kemudian institusi tersebutlah yang akan menentukan dokter mana yang akan “disekolahkan” agar dapat ditingkatkan pengetahuan, kemampuan, dan profesionalismenya. Dan tentunya istitusi tersebut pula lah yang sudah menentukan parameter tersendiri untuk menentukan dokter yang akan “disekolahkan” tersebut, dapat berdasarkan usia, pengalaman kerja, dan tingkat kebutuhan institusi.

Diharapkan, dengan bentuk CSR yang demikian, para dokter tidak lagi bekerja “demi pamrih” terhadap para perusahaan farmasi dan justru termotivasi untuk dapat terus meningkatkan kinerja dan pelayanannya terhadap para pasiennya, dengan tujuan akhir tentunya pemberian layanan dan perlindungan kesehatan yang terbaik bagi masyarakat selaku pasien dari para dokter tersebut, sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam bidang kesehatan bagi rakyatnya.

Kesimpulan

  1. Profesi dokter dapat dikualifikasikan sebagai “pegawai negeri” yang termasuk dalam adresat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  2. Penerimaan dana atau fasilitas dalam bentuk sponsorship yang diberikan perusahaan farmasi terhadap individu dokter merupakan tindak pidana korupsi dalam bentuk gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  3. Pertama, up grading pengetahuan dan kemampuan para dokter.Kedua, pemberian dana dan fasilitas yang disalurkan kepada institusi tempat dokter tersebut bekerja agar para dokter tersebut “disekolahkan”.Jakarta, 29 April2015

Eddy O.S. Hiariej

 


[1]Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum.,Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

[2]Interpretasi sistematis atau logis yakni menafsirkan ketentuan perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum. Artinya, ketika akan melakukan interpretasi tidak hanya mengacu pada pasal yang akan ditafsirkan semata, tetapi juga harus melihat pasal-pasal lainnya dalam undang-undang yang sama atau undang-undang lain, bahkan sistem hukum secara keseluruhan sebagai satu kesatuan. Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, hlm. 67. Bandingkan dengan Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum, sebuah pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm. 58.

[3]Indonesia wajib mentaati ketentuan tersebut karena Indonesia telah melakukan ratifikasi terhadapnya. Semakin diperkuat dengan terbitnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption). Ratifikasi yang dilakukan Indonesia terhadap konvensi tersebut dilakukan tanpa reservasi. Artinya, semua kewajiban yang diatur dalam konvensi tersebut harus ditaati oleh state party (negara peserta) atau negara yang menandatangani konvensi tersebut. Lihat dalam Eddy O.S. Hiariej, “Disentralisasi Korupsi : Urgensi Pengadilan TIPIKOR dan KPK Di Daerah”,disampaikan dalam Diskusi Publik Disentralisasi Korupsi : Carut Marut Otonomi Daerah, Kerjasama Pusat Kajian AntiKorupsiFakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Republik Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 27 september 2008, hlm. 4.

[4]Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm.284.

[5]Yan Pramadya Puspa, 1977, Kamus Hukum ;Edisi Lengkap, Bahasa Belanda, Indonesia, Inggris, Aneka Ilmu, Semarang, hlm. 404.

[6]Elemen-elemen dalam suatu perbuatan pidana adalah unsur-unsur yang terdapat dalam suatu perbuatan pidana. Unsur tersebut baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Istilah ‘element’ ini harus dibedakan dengan istilah ‘bestandeel’ yang juga berarti unsur-unsur perbuatan pidana. Perbedaanya, bestandeel mengandung arti unsur-unsur perbuatan pidana yang secara expressis verbis tertuang dalam suatu rumusan delik atau perbuatan pidana. Dengan kata lain, ‘element’ perbuatan pidana meliputi unsur-unsur yang tertulis dan unsur-unsur yang tidak tertulis, sedangkan bestandeel hanya meliputi unsur-unsur perbuatan pidana yang tertulis saja. Konsekuensi lebih lanjut, yang harus dibuktikan oleh jaksa penuntut umum di pengadilan hanyalah ‘bestandeel’.

[7]Omkering van bewijslast adalah pembuktian terbalik. Artinya, terdakwa diembani kewajiban untuk membuktikan bahwa ia tidak korupsi. Apabila terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak korupsi, maka jaksa penuntut umum diembani kewajiban untuk membuktikan sebaliknya. Akan tetapi, jika terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa ia tidak korupsi, maka pengadilan dapat menjatuhkan putusan berupa pemidanaan.

Gratifkasi Dokter: Permasalahan etika atau Hukum ?

Reportase

Gratifkasi Dokter:
Permasalahan Etika atau Hukum?


prof.-edi-gratifikasi-dokter

Yogyakarta, 12 Desember 2015. Seiring dengan maraknya pemberitaan media terkait dengan gratifikasi dokter, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM bekerja sama dengan Center for Bioethics and Medical Humanities FK UGM dan KAGAMA Kedokteran menyelenggarakan seminar yang bertajuk “Gratifikasi Dokter, Permasalahan Hukum atau Etika?”. Kegiatan ini diselenggarakan di Ruang Senat Fakultas Kedokteran UGM dan diawali dengan sambutan oleh dr. M. Syafak Hanung, Sp.A selaku Wakil Ketua KAGAMA Kedokteran yang kemudian dilanjutkan sambutan dari dr. Ibnu Purwanto, Sp.PD, K-HOM selaku Wakil Dekan Bidang Keuangan, Aset dan SDM FK UGM.

Sebelum sesi diskusi yang dimoderatori oleh Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD., dipaparkan terlebih dahulu materi mengenai gratifikasi oleh wakil dari KPK: Widianto Eko Nugroho  dan Dion Hardika Sumarto. Tim KPK mengungkapkan bahwa profesi dokter merupakan pejabat publik sehingga bisa dikenakan UU yang mengatur gratifikasi dan suap. KPK juga mengungkapkan bahwa perbedaan antara gratifikasi dan suap adalah adanya “meeting of mind” antara pejabat publik dengan pihak yang bersangkutan pada suap. Pemaparan kedua disampaikan oleh dr. Budiono Santoso, PhD, Sp. FK mengenai etika dokter dengan perusahaan farmasi dan mengapa industri farmasi sangat vulnerable terhadap korupsi, yaitu karena highly market value, highly regulated, information judgement, conflict of interest.

Sesi diskusi diawali oleh pandangan dari pihak praktisi yang disampaikan oleh dr. Handoyo Pramusinto, Sp.BS, dan dr. Peter Manoppo Sp. B yang menyampaikan bahwa praktisi setuju mengenai pemaparan yang disampaikan oleh KPK bahwa pemberian “bonus” oleh perusahaan obat kepada individu dokter merupakan suatu bentuk gratifikasi dan tidak sesuai dengan etika praktik kedokteran. Parulian Simanjuntak sebagai direktur eksekutif International Pharmaceutical Manufacturer Group (IPMG) juga menyampaikan bahwa pihaknya sangat setuju dengan dimasukkannya pendidikan etika ke dalam pendidikan kedokteran. Akan tetapi pihaknya tidak menampik bahwa promosi obat kepada dokter itu perlu dengan alasan tertentu. Prof. Eddy O.S. Hiariej sebagai pakar hukum pidana juga menyampaikan bahwa dokter termasuk public official yang juga terikat dengan peraturan UU yang mengatur tentang gratifikasi dan suap. Prof. Laksono Trisnantoro sebagai moderator menekankan bahwa pembahasan diskusi  menyimpulkan perlu dibuat suatu negative list profesi dokter oleh Kementerian Kesehatan, IDI, dan KPK terkait dengan etika dan aspek hukum hubungan antara dokter dengan perusahaan obat.

Dalam kesempatan ini, Prof. Yati Soenarto juga menyampaikan bahwa diperlukan perbaikan sistemik secara meyeluruh baik di tingkat individu, institusi maupun asosiasi profesi kedokteran. Prof. Soenarto menyebutkan bahwa pelanggaran profesi dokter ada tiga tingkatan, yaitu etik, disiplin, dan yang terakhir hukum. Apabila profesi kedokteran dijalankan sesuai etika, maka tidak akan terjadi gratifikasi. Pendidikan etika diperlukan sejak pendidikan calon dokter di fakultas kedokteran.

Terkait dengan tindak lanjut dari kegiatan ini, Center for Bioethics and Medical Humanities (CBMH) FK UGM akan mengadakan serangkaian kegiatan di tahun 2016 dalam bentuk Masyarakat Praktisi untuk Pencegahan Gratifikasi Obat, yang berbasis di www.pendidikankedokteran.net. Target nyata adalah terbentuknya modul-modul pengajaran untuk S1, S2, dan PPDS serta negative list.

Kesimpulan Diskusi:

  1. Dokter merupakan pejabat publik yang terikat dengan peratuan UU yang mengatur gratifikasi dan suap.
  2. Perbedaan gratfikasi dan suap terletak pada adanya “meeting of mind” antara dua pihak yang memiliki kepentingan.
  3. Selayaknya dokter atau institusi melapor kepada KPK apabila mendapatkan “bonus” dari perusahaan obat. Setelah itu akan diputuskan apakah barang tersebut termasuk gratifikasi atau bukan? Apabila termasuk gratifikasi maka akan menjadi milik negara, tapi apabila bukan maka akan menjadi milik dokter tersebut.
  4. Perusahaan obat dapat memberikan “dukungan keuangan/hibah” kepada institusi,  perusahaan obat tidak diperbolehkan memberikan pada individu dokter sendiri. Nanti pihak institusi dapat membuat peraturan terkait kemana “bonus” tersebut didistribusikan.
  5. Kemenkes, KPK, IDI perlu membuat suatu negative list terkait dengan hal ini. Negative list dan berbagai hal ini harus dibahas pada setiap pertemuan nasional Perhimpunan Ahli/Dokter.
  6. Pendidikan etika perlu diberikan sejak pendidikan calon dokter di fakultas kedokteran.

Materi dan Video

Aktivitas dan Narasumber

Pembukaan dan sambutan

  • dr. Ibnu Purwanto, Sp.PD, K-HOM (Wakil Dekan Bidang keuangan, asset dan SDM
  • Ketua Kagama Kedokteran

icon-video Pembukaan dan Sambutan

Acara Inti:

Narasumber dengan model pemaparan singkat.

  1. Komisi Pemberantasan Korupsi (Direktorat Pencegahan Gratifikasi)
    -    Widianto Eko Nugroho
    -    Dion Hardika Sumarto
    pdf-icon Materi
    icon-video Vidio Presentasi
  2. dr. Budiono Santoso, PhD, Sp.FK. 
    pdf-icon Materi
    icon-video Vidio Presentasi

Pembahas:

Pembahasan akan dilakukan dengan cara Talkshow, dimana fokus pembahasan akan diarahkan oleh moderator sesuai dengan kapasitas masing-masing.
  1. Prof. Dr. dr. Soenarto Sastrowijoto, Sp.THT (K)
  2. Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, SH, MHum.
  3. dr. Handoyo Pramusinto, Sp.BS (K)
  4. Bpk. Parulian Simanjuntak – Direktur Eksekutif IPMG
  5. dr. Peter Manoppo (RS Darmo Surabaya)
  6. Kagama Regional Sulawesi Tengah (webinar)
  7. Kagama Regional Jawa Tengah (webinar)

    Moderator: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD
    icon-video Vidio Pembahasan & Diskusi Bagian 1
    icon-video Vidio Pembahasan & Diskusi Bagian 2
    icon-video Vidio Pembahasan & Diskusi Bagian 3
    icon-video Vidio Pembahasan & Diskusi Bagian 4

Diskusi:

Bersama peserta Tatap Muka dan Peserta Webinar

  • Konklusi sementara
  • Penjelasan mengenai Kegiatan Masyarakat Praktisi untuk Pencegahan Gratifikasi Obat, di tahun 2016: Center for Bioethics and Medical Humanities (CBMH) FK UGM
  • Penutupan

icon-video Vidio

Reportase: e-learning Forum 2015: Pertemuan Ketiga

Reportase:

e-learning Forum 2015: Pertemuan Ketiga


e-learning Forum 2015 pertemuan ketiga diisi dengan pameran web-web Menara Air (sesi pagi) dan Diskusi Potensi Website untuk Menguatkan Peran UGM Sebagai Sumber Pengetahuan untuk Bangsa (sesi siang). Pameran dibuka pada Selasa pagi hari (1/12/2015) dan Diskusi Potensi Website dalam Pengembangan Ilmu dilaksanakan pada siang hari di Balai Senat, UGM. Acara tersebut menghadirkan sejumlah pembicara, antara lain: Cristofforo Schiaffino (Oxford University Press), Prof. Adi Utarini (Fakultas Kedokteran UGM), Dr. Erwan Agus Purwanto (Dekan FISIPOL UGM), Dr. Ardhya Nareswari (Fakultas Teknik UGM) dan Dr. Sri Suning Kusumawardhani (Fakultas Teknik UGM). Sesi Diskusi berlangsung pada pukul 13.00-16.30 Wib, arah diskusi secara keseluruhan yaitu lebih pada kontribusi apa saja dari UGM untuk perkembangan pengetahuan di Indonesia, khususnya melalui e-learning?

icon-video Pembukaan Kegiatan Pameran Web-Web Menara Air

icon-video Pengantar Diskusi

 

Diskusi Sesi 1

sesi-1-menara-air-ugm

Pembicara sesi 1 ialah Prof. Adi Utarini (Fakultas Kedokteran UGM) dan Dr. Erwan Agus Purwanto (Dekan FISIPOL UGM). Saat sesi diskusi sejumlah pertanyaan menarik muncul.

Drg. Ika Dewi Ana, PhD mempertanyakan dukungan apa yang dibutuhkan dari pejabat/pimpinan universitas? Apakah perlu melakukan benchmark ke lembaga lain?

Dr. Erwan menegaskan saat ini Fisipol memerlukan dukungan adanya insentif untuk dosen agar bisa mempersiapkan materi lebih baik. Agar silabus dan materi yang diberikan, mutunya lebih baik. Insentif bukan hanya material, bisa juga cum/prestasinya. FOCUS ini bagian dari kegiatan pengabdian kepada masyarakat (PKM). Lalu ke depan, jika kuliah dosen diikuti lebih banyak, maka dosennya akan diberi royalti. Poinnya, bagaimana mengapresiasi dosen yang menyiapkan hal tersebut? Ke depan, perlu dukungan infrastruktur, misal studio, alat produksi. Lalu dialog dengan mahasiswa apa yang dibutuhkan dan agar tidak monoton.

Prof. Adi menegaskan berbagai inovasi terkadang terbentur aturan yang sudah ada, maka universitas diharapkan dapat memberi ruang bebas untuk berinovasi. Ini sangat penting dan membuka banyak jalan. Inovasi ini tidak terlepas dari infrastruktur misalnya bandwith. Ketika inovasi ini dikembangkan dan mendapat sambutan positif, maka demand untuk hal tersebut sangat tinggi. Saat ini di FK ada banyak kegiatan  cluster yang didokumentasikan. Ke depan, barangkali harus ada yang diberi mandat mengembangkan ini. Benchmark sangat penting, apakah pimpinan universitas mengarah kesana juga? Benchmark sebaiknya lintas level yaitu universitas, fakultas dan lain-lain.

Kemudian, melalui dana BOPTN, bisa diturunkan untuk dana hibah, sehingga pembelajaran melalui audio visual akan menarik dan berkembang, ungkap Adi. Dosen muda akan senang, ketika pulang S3, lalu difasilitasi dan menceritakan penelitiannya dalam video 3 menit, maka akan mudah dikenal.

dr. Yodi Mahendradhata, PhD (Fakultas Kedokteran UGM) menyatakan minggu lalu FK baru saja menandatangani hibah dari WHO untuk penguatan fasilitas pembelajaran online selama 1 tahun.  Dari Swiss Technology yang sudah mengembangkan MOOC ini di Eropa, semoga bisa dimanfaatkan oleh fakultas-fakultas. Selama periode itu, FK akan mendapat technical Assistance dan magang 1-2 bulan disana. Jika perlu, benchmark bisa dilakukan ke Coursera, Stanford University dan lain-lain.

Dr. Andreasta Meliala (Fakultas Kedokteran UGM), melalui kegiatan peluncuran website Menara Air ini satu website bisa mengalirkan ilmunya ke banyak arah. Sejalan dengan hal ini, kegiatan pembelajaran online ini sudah menjadi core business kita namun ini dipertanyakan oleh auditor. Bagaimana dengan  hal ini? Terkait struktur regulasinya?

Prof. Laksono menyatakan regulasi yang digunakan tahun 2009 untuk e-learningnya dan peraturan dari Kemendikbud, maka perlu dicermati lagi.

drg. Ika Dewi Ana, PhD, terkait pernyataan dr. Andre, kita perlu untuk membentuk gugus tugas untuk memetakan dan merumuskan lalu menyusun referensi apa yang perlu kita tempuh bersama.  Jika bisa dibentuk, bisa jadi kebijakan yang berlaku untuk kita semua.  Simak Video nya dibawah ini

icon-video Pengembangan Dari Oxford - Cristoforo Schiaffino    
icon-video Kegiatan Fisipol Serta Sumber Dana kegiatan    
icon-video Kegiatan FK UGM Serta Sumber Dana Kegiatan   pdf-icon Materi
icon-video Diskusi    

 

 

Sesi Diskusi 2

pembicara-mwnara-air

Sesi 2 menghadirkan dua pembicara dari Fakultas Teknik UGM, yaitu Dr. Ardhya Nareswari dan Dr. Sri Suning Kusumawardhani.

Dr. Dwita  Rahmi (Fakultas Teknik) mempertanyakan sejauh ini pengetahuan saya tentang Menara Air itu semakin banyak, saya tahu menara ada airnya, namun saya belum pernah melihat menara gading.   Apa target e-learning, apakah pembisnisan e-learning? Apa yang didapat universitas? Apakah keuntungan?

Dr. Nareswari menyatakan MOOC ini lebih dari e-learning, ini sudah ada kursus massif, tidak ada tatap muka. Suning menegaskan pada dasarnya dosen mengurus bisnis itu bagaimana? Motivasi terbesar itu berbagi ilmu, bisnis itu melihat ada peluang bisnis.

Prof. Laksono memaparkan bisnis itu kita lebih ke pengguna, ada yang kaya dan miskin, kita harus menggunakan standar mutu. Jika tidak gunakan konsep bisnis, kita hanya akan seperti kembang api atau cepat usai. Bisnis itu lebih ke sustainability dimana pengguna itu akan merasa puas.  Sehingga ada donor yang memberi biaya untuk e-learning kita, sehingga bisa terus jalan. Apa yang diperoleh UGM? Website yang bermutu ini berbasis mutu, maka ini bisa menjadi tes apakah penelitian kita berjalan. Jadi, website atau e-learning bisa mengawal proses penelitian bahkan hingga ke daerah terpencil. Proyek yang kami kerjakan banyak yang di daerah, yaitu NTT dan Papua, jadi e-learning ini sangat membantu kami.

icon-video Pengembangan Lanjutan Untuk Web-Web Menara Air   pdf-icon Materi 
icon-video Pengembangan MOOC di UGM dalam Web UGM   pdf-icon Materi 
icon-video Rencana Masyarakat e-Learning di Tahun 2016   pdf-icon Materi 
icon-video Diskusi 'Potensi Web Untuk Menguatkan Peran UGM'    


 

Penutup

Dua fakultas sudah mendeklarasikan e-learning bukan aktivitas individual, tapi kelembagaan. Ke depannya, harapannya banyak fakultas yang aktif di kegiatan ini. untuk PJ masing-masing website Menara Air segera komunikasikan dengan Dekan masing-masing. FK akan meluncurkan website Kanal Pengetahuan dan Informasi tahun depan, minimal ke internal UGM, dan para alumni, atau ke sekitar 30 ribu orang.

drg. Ika Dewi,  founding fathers kita mengamanatkan kita untuk memimpin dunia, ketika berhadapan dengan dunia digital,  kita harus mempersiapkan dan mengawal untuk kemaslahatan masyarakat. Kegiatan seperti apa yang harus kita dorong, perlu kita petakan bersama. Mudah-mudahan bermanfaat untuk ke depan.

icon-video Penutupan Diskusi

Reportase: Seminar Kedua e-Learning Forum 2015

Reportase:

Seminar Kedua  e-Learning Forum 2015

e-learning

Pada hari Senin, 16 November 2015, Pusat Inovasi Kebijakan Akademik (PIKA) UGM bersama dengan Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran UGM dan Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (Pusat KP-MAK) FK UGM melaksanakan seminar yang bertemakan “Seminar MOOC (Massive Open Online Course), Blended Learning, dan Knowlede Management” di Ruang Senat Fakultas Kedokteran UGM. Seminar ini merupakan rangkaian kedua dari UGM e-Learning Forum yang sebelumnya diadakan pada bulan Oktober dan akan dilanjutkan dengan pameran website Menara Air pada 1-2 Desember 2015 mendatang.

Seminar dibuka oleh pimpinan PKMK FK UGM, Prof. dr. Laksono Trisnantoro. Dalam sambutannya, beliau menyatakan bahwa tujuan akhir dari program ini adalah membangun teknologi untuk mengubah kelas-kelas menjadi studio dan broadcasting kuliah, atau populer dengan sebutan webinar atau online course. Forum e-learning juga dibutuhkan setiap tahunnya untuk monitor posisi UGM dalam teknologi e-learning, apakah UGM sebagai early user atau late user. Sambutan kedua, oleh PIKA, Akhmad Akbar Susamto, M.Phil, Ph.D, menekankan bahwa Statuta UGM memiliki visi sebagai pelopor perguruan tinggi nasional berkelas dunia yang unggul dan inovatif, salah satunya adalah dalam penggunaan teknologi informasi untuk proses pengajaran. Sambutan ketiga dari Ketua Dies Natalis ke 66 UGM, Prof. Ali Agus dari Fakultas Peternakan, menyatakan bahwa saat ini banyak sumber pembelajaran yang berserakan di UGM, sehingga dibutuhkan e-learning dengan filosofi Menara Air untuk memanfaatkan potensi sumber pembelajaran dengan efektif.

Sesi pertama dimulai dengan presentasi 4 kasus. Kasus pertama dipresentasikan oleh Prof Laksono mengenai pengembangan e-learning di Fakultas Kedokteran UGM. Pengalaman FK UGM dalam mengembangkan e-learning dimulai 5 tahun yang lalu, pada awalnya hanya penggunaan portal sebagai media penyebaran ilmu. Namun, dalam perkembangannya, terdapat 2 jenis pengguna portal, antara lain masyarakat praktisi dan peminat ilmu. Setiap portal harus dapat mengidentifikasi siapa masyarakat praktisinya, kemudian menyesuaikan materi yang diunggah dan menyiapkan media untuk mendiskusikan masalah yang akan dibahas oleh masyarakat praktisi tersebut. Prof Laksono juga membahas mengenai blended learning, yaitu paduan antara kuliah tatap muka dan e-learning. Berbagai macam paduan antara lain webinar yang diikuti dengan kuliah tatap muka atau sebaliknya, dan synchronized learning, dan dapat menyesuaikan dengan anggaran dan pendanaan yang dimiliki oleh masing-masing institusi yang menyelenggarakannya.

Presentasi kasus kedua oleh Erwan Agus Purwanto, Ph.D, Dekan Fisipol UGM. Pada tahun 2014, Fisipol UGM meluncurkan portal FOCUS (Fisipol Open Online Course) yang berisikan rekaman-rekaman kuliah dan materi pembelajaran. Pada pengembangan tahap pertama, telah terunggah 10 mata kuliah, masing-masing terdapat 4-6 sesi video kuliah berdurasi 15-20 menit. Tujuan dari pengembangan tahap pertama adalah sebagai preview bagi mahasiswa Fisipol mengenai mata kuliah yang akan diambil, menjadi kelas umum bagi masyarakat, dan sebagai marketing terhadap calon mahasiswa baru Fisipol. Pengembangan tahap kedua adalah menambah jumlah mata kuliah, memperkaya referensi, membuat aplikasi mobile, dan membangun learning community untuk masyarakat agar dapat aktif belajar secara mandiri. Pengembangan ini juga bermaksud untuk menciptakan interaksi antara Fisipol dan masyarakat sebagai laboratorium sosial. Pengembangan tahap ketiga adalah komersialisasi FOCUS dan menggandeng investor. Tujuannya adalah menjadikan FOCUS sebagai role model social enterpreneurship. Pada pengembangan tahap keempat, FOCUS diharapkan dapat memberikan kontribusinya dalam penyelesaian masalah di tingkat regional dan internasional. Selain mendapatkan pengakuan internasional, Focus juga diharapkan dapat menggandeng MNC dunia untuk menggarap proyek-proyek sosial internasional.

Presentasi kasus ketiga adalah penjelasan mengenai MOOC yang telah ada di Indonesia dan Dunia, Dr. Sri Suning Kusumawardhani, ST, MT.  Massive Open Online Course merupakan kursus online yang bertujuan untuk mengajarkan materi ke peserta yang jumlahnya tidak terbatas dengan berbasis web. Contoh pertama adalah TED Talks (Technology, Entertainment, Design), didirikan oleh Sapling Foundation yang bertujuan untuk mengumpulkan tokoh-tokoh inspiratif dunia dari berbagai bidang dan membicarakan sesuai dengan bidangnya. Contoh kedua adalah Coursera, yang didirikan oleh Stanford University pada tahun 2012. Saat ini telah terdapat 16 juta orang learner dari seluruh dunia, 1471 course, dan memiliki 136 partner. Contoh ketiga adalah IndonesiaX, yang diinisiasi oleh mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh. IndonesiaX saat ini bekerjasama dengan UI, ITB serta lembaga lain seperti Rumah Perubahan, BEI, BI, dan Net TV dalam meberikan kuliah kepada masyarakat. Saat ini telah memiliki 10.000 pembelajar dari seluruh Indonesia. MOOC memiliki potensi yang besar di Indonesia, karena MOOC dapat menjembatani masalah geografis dan demografis, pengguna internet yang semakin meningkat, dapat menjadi alternatif pembelajaran dan proses pembelajaran yang fleksibel. MOOC juga dapat menekan biaya kuliah tatap muka, menjadi sarana bagi peneliti untuk memublikasikan penelitiannya, menambah daftar pengetahuan & skill di CV pada course yang tersertifikasi, dan penekanan biaya sertifikasi industri yang mahal.

Presentasi kasus keempat adalah Pembelajaran Daring Indonesia Terbuka dan Terpadu (PDITT) oleh Warsun Najib, ST, M.Sc, dari Fakultas Teknik. Beliau menyatakan bahwa saat ini ada berbagai macam kendala pendidikan tinggi di Indonesia, antara lain kapasitas atau daya tampung perguruan tinggi, sebaran perguruan tinggi yang tidak merata, terbatasnya sumber daya pendidikan yang berkualitas, belum setaranya perguruan tinggu dalam memberikan layanan perguruan tinggi yang bermutu, dan belum terjaminnya semua permintaan pendidikan tinggi yang bermutu. PDITT memiliki konsep yang terbuka, yang bertujuan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan tinggi yang bermutu dan merata. Saat ini UGM telah membuka 5 kelas di PDITT dan diikuti berbagai mahasiswa dari universitas lainnya dari seluruh Indonesia.

Pada sesi kedua, peserta dibagi dalam 3 working group dan mendiskusikan masalah-masalah yang ada di UGM. Group pertama, difasilitasi oleh Ibu Suning, membahas mengenai kebijakan makro UGM terhadap proses e-learning dan masalah-masalah yang kemungkinan akan dihadapi serta penyelesaiannya. Group kedua, difasilitasi oleh Bapak Warsun Najib, membahas mengenai masalah-masalah teknis penyelenggaraan e-learning, seperti pemanfaatan teknologi dan sumber daya. Group ketiga, difasilitasi oleh Ibu Bella Donna dari PKMK dan Bapak David sebagai narasumber dari MMTC, membahas mengenai e-learning dari aspek multimedia dan broadcasting.

Seminar diakhiri dengan sambutan dari Wakil Rektor bidang Akademik dan Kemahasiswaan UGM, Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc., Ph.D. Beliau menyatakan bahwa UGM sebagai knowledge storage harus mengupgrade pengetahuan masyarakat Indonesia, karena pengetahuan adalah hak seluruh masyarakat, salah satunya dengan e-learning. Selain pemberdayaan dosen, mahasiswa juga dapat dimanfaatkan untuk membuat proses e-learning ini, dimulai dengan diwajibkannya membuat blog bagi mahasiswa. Prof Iwan juga menyatakan komitmen rektorat dalam membangun e-learning di UGM.

Arsip Video :